Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kesejahteraan Masyarakat I Data Harus Aktual agar Kebijakan Bisa Lebih Tepat Sasaran

Klaim Penduduk Miskin Berkurang Bisa Menyesatkan

Foto : Sumber: BPS - kj/ones
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Klaim pemerintah kalau dengan berbagai program yang dicanangkan selama ini mampu menekan angka kemiskinan bisa menyesatkan. Hal itu karena Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung angka kelompok masyarakat yang miskin ekstrem masih menggunakan standar internasional yang lama. Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, mengakui kalau cara menghitung angka kemiskinan ekstrem masih menggunakan standar yang ditetapkan Bank Dunia yang lama, sebesar 1,9 dollar AS per kapita per hari.

Padahal, standar garis kemiskinan terbaru versi World Bank mengacu angka pendapatan baru sebesar 3,2 dollar AS per kapita per hari. Parameter itu telah diadopsi sejak 2022 melalui angka Purchasing Power Parity (PPP) 2017 dari sebelumnya PPP 2011.

Menurut Amalia, belum berubahnya ukuran kemiskinan ekstrem yang digunakan Indonesia untuk menjaga perbandingan jumlah orang miskin secara historis. "Kemiskinan ekstrem kita masih pakai 1,9 dollar AS supaya membandingkannya sama yang sebelumnya, supaya perbandingannya secara historisnya sama," kata Amalia di Jakarta, akhir pekan lalu. BPS, tegasnya, hingga kini belum ada rencana melakukan pengubahan metodologi pengukuran standar kelas miskin ekstrem sesuai standar baru Bank Dunia itu.

"Nanti kita bicarakan lagi. Jadi itu belum lah, kan ini masih proses metodologi kemiskinan yang baru," katanya. Dia mengatakan jika menggunakan standar lama maka jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia per Maret 2024, hanya 0,83 persen dari total penduduk atau turun ketimbang angka kemiskinan ekstrem pada Maret 2023 sebanyak 1,12 persen dari total penduduk. Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie Othniel Frederic Palit, mempermasalahkan perhitungan tersebut karena metodologi ini, hasilnya bisa menyesatkan.

Jangan-jangan kelas menengah atau atas, sejatinya masuk kelas bawah karena dihitung dengan standar rendah. Bank Dunia sendiri pada 2023, menggunakan ukuran paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP) senilai 3,1 dollar AS sehingga angka kemiskinan ekstrem mencapai 40 persen.

Pendekatan Komprehensif

Menanggapi metode perhitungan penduduk miskin ekstrem itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan sebenarnya tingkat kemiskinan selama 10 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi hanya menurun sekitar 2 persen dari sekitar 12 persen menjadi 9 persen. "Artinya, butuh pendekatan yang lebih komprehensif untuk mengentaskan kemiskinan," kata Esther.

Selama ini, terang Esther, berbagai upaya sudah dilakukan tidak hanya dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda), namun tingkat kemiskinan belum turun signifikan selama 10 tahun terakhir ini. Program dan capacity building untuk pengentasan kemiskinan sebaiknya dilakukan secara kontinu, bukan hanya by project.

"Treatment-nya harus dilakukan secara reguler dan harus dilakukan monitoring evaluasi. Jika program ini tidak berhasil, harus dicoba dengan program lain," katanya. Pentingnya program yang kontinu dan berkelanjutan karena kemiskinan adalah salah satu penyebabnya aspek sosial kultural di mana kebiasaan masyarakat miskin tidak hilang sekejap.

Pada kesempatan terpisah, Wakil Ketua Kadin Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Robby Kusumaharta, menekankan pentingnya menggunakan data kemiskinan yang akurat dan relevan. "Data kemiskinan yang akurat adalah fondasi bagi pembuatan kebijakan yang efektif.

Kita tidak bisa mengandalkan data yang usang karena akan berdampak pada efektivitas kebijakan yang diambil," ujar Robby. Jika data yang digunakan tidak mencerminkan kondisi aktual maka kebijakan yang diambil juga berisiko tidak tepat sasaran.

Dia juga menyoroti bahwa untuk mengatasi kemiskinan secara efektif, Indonesia harus memastikan arah industrinya tepat. "Salah satu kunci dalam mengurangi kemiskinan adalah dengan memperkuat industri padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Sayangnya, kita melihat bahwa industri padat karya kita terus tergerus oleh produk-produk impor, khususnya dari Tiongkok," katanya. Oleh sebab itu, pemerintah tidak boleh membiarkan industri padat karya mati karena persaingan yang tidak sehat dengan produk impor. "Pemerintah perlu membuat kebijakan yang dapat melindungi industri lokal kita, sekaligus meningkatkan daya saingnya di pasar internasional," kata Roby.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top