Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kisah Jenderal Kopassus Merasa Dikhianati Mertuanya Sendiri

Foto : Istimewa

Letjen (Purn) Prabowo Subianto saat masih menjadi Danjen Kopassus.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Ini kisah jenderal Kopassus yang merasa dikhianati mertuanya sendiri. Ya, setegar apa pun orang, jika merasa dikhianati pasti akan merasa sakit pula. Biar pun dia jenderal, bila dikhianati, kecewa juga.

Toh, jenderal juga manusia biasa. Bukan dewa. Sama dengan orang biasa. Punya hati. Punya perasaan. Bisa senang, kecewa dan marah. Apalagi jika merasa dikhianati oleh orang terdekat pula.

Ini juga yang dirasakan Prabowo Subianto, ketika tahu siapa yang jadi aktor di balik pencopotannya dari dinas militer.Siapa pun tahu, Prabowo mantan Komandan Jenderal Komandan Pasukan Khusus itu diberhentikan dengan hormat dari dinas militer karena dianggap ikut bertanggung jawab atas kasus penculikan yang dilakukan Tim Mawar Kopassus.

Tim Mawar sendiri anggotanya semua prajurit Kopassus. Ketika penculikan itu terjadi, Prabowo masih menjadi Komandan Jenderal Kopassus.

Tak lama kemudian dia naik jabatan menjadi Pangkostrad. Sebuah jabatan prestisius di lingkungan angkatan bersenjata Indonesia.

Sebenarnya jika merujuk pada kebiasaan kenaikan pangkat di lingkungan militer saat itu, selangkah lagi Prabowo berpeluang menjadi Kasad atau orang nomor satu di TNI Angkatan Darat.

Dengan menggenggam jabatan kepala staf, kans untuk jadi panglima pun sangat besar. Terlebih ketika itu, zaman Pak Harto berkuasa, posisi panglima selalu diberikan kepada perwira tinggi dari TNI Angkatan Darat.

Pendek kata, dengan memegang jabatan Pangkostrad, Prabowo menjadi calon kuat sebagai Kasad, dan tentunya PanglimaTNI. Tapi gejolak pun terjadi tahun 1998. Ekonomi Indonesia didera krisis. Mata uang rupiah melorot jatuh. Demonstrasi marak dimana-mana.

Suara menuntut Pak Harto turun dari jabatannya sebagai Presiden pun kian kencang disuarakan. Terutama oleh para mahasiswa di berbagai kampus di seluruh Indonesia.

Sampai tragedi pun terjadi. Empat mahasiswa Universitas Trisakti jadi korban penembakan.Tragedi itu seakan jadi bensin. Api kerusuhan pun dengan cepat membakar Jakarta. Korban berjatuhan. Rumah-rumah terbakar.

Kantor-kantor hangus. Toko dan pusat perbelanjaan dijarah. Jakarta menangis. Indonesia berduka. Pak Harto pun lengser pada 21 Mei 1998. Lalu Wakil Presiden, BJ Habibie naik menjadi Presiden.

Banyak yang mengira, jalan karir Prabowo akan terkerek. Tapi yang terjadi sebalik. Alih-alih menjadi Kasad, Prabowo justru dihadapkan pada sidang Dewan Kehormatan Perwira (DKP).

Ia disidang karena kasus penculikan para aktivis yang dilakukan anak buahnya di Kopassus.Endingnya, Prabowo diberhentikan dengan hormat.

Sebelumnya, jabatannya sebagai Pangkostrad dicopot mendadak. Prabowo lalu digeser jadi Kepala Sesko ABRI, sebelum akhirnya dihadapkan pada sidang DKP. Karir Prabowo di militer pun tamat. Hubungan dengan Pak Harto, mertuanya juga memburuk.

Bahkan oleh anak-anak Pak Harto, Prabowo dicap sebagai pengkhianat. James Luhulima, dalam buku Hari-Hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan Beberapa Peristiwa Terkait (2006), banyak merekam detik-detik saat Pak Harto jatuh, dan makin memburuknya hubungan Prabowo dengan pemimpin rezim Orde Baru itu selepas lengser.

Menurut James, Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo dalam bukunya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, bercerita, malam setelah pengumuman Prabowo dicopot dari dinas militer, putranya itu sempat menelponnya.

Prabowo curhat dan merasa sedih. Kata Prabowo, dia akan disingkirkan. "Saya dikhianati," ujar Prabowo lewat sambungan telpon.

Tentu saja Sumitro kaget dan sedih mendengarnya. Lalu bertanya, siapa yang mengkhianati.

Di ujung gagang telepon, Prabowo menjawab, "Papi enggak percaya kalau saya bilang, saya dikhianati oleh mertua. Dia (Soeharto) bilang pada Wiranto, singkirkan saja Prabowo dari pasukan."

Ya begitulah politik. Dalam politik, tak ada kawan yang abadi.Yang ada hanya kepentingan. Mungkin kalimat itu yang tepat untuk menggambarkan apa yang dialami Prabowo Subianto.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top