Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - Butuh Perbaikan Struktural untuk Tingkatkan Kinerja Perdagangan

Kinerja Industri Belum Membaik, Defisit Perdagangan Berlanjut

Foto : Sumber: Badan Pusat Statistik – Litbang KJ/and -
A   A   A   Pengaturan Font

>> Pembangunan infrastruktur mesti terkoneksi dengan kebutuhan industri untuk ekspor.

>> Investasi di energi baru terbarukan mesti dipacu guna menekan tingginya impor migas.

JAKARTA - Sejumlah kalangan memperkirakan defisit neraca perdagangan masih berlanjut pada Januari 2019. Nilai ekspor dan impor diprediksi turun dibandingkan akhir tahun lalu, dan defisit perdagangan diproyeksikan lebih rendah dibandingkan Desember 2018 yang mencapai 1,1 miliar dollar AS.

Penurunan nilai ekspor dipicu oleh perlambatan ekspor nonmigas akibat penyusutan permintaan, terutama dari Tiongkok. Di sisi lain, penurunan impor didorong oleh berkurangnya impor nonmigas, sementara penurunan impor minyak dan gas (migas) relatif lebih lambat.

Guna memperbaiki kinerja perdagangan itu, pemerintah diharapkan mampu meningkatkan daya saing ekspor dengan mendorong kembali industri pengolahan sehingga nilai ekspor nonmigas meningkat. Di samping itu, investasi di energi baru terbarukan mesti dipacu untuk menekan gap supply-demand energi, khususnya minyak bumi, yang memicu tingginya impor migas.

Pengamat perdagangan internasional dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal, mengatakan tidak ada upaya lain untuk memperbaiki neraca perdagangan selain menggenjot ekspor. Sebab, kalau melihat komponen impor terbesarnya, bahkan 90 persen untuk kebutuhan industri.

"Sehingga kalau kita menahan impor, artinya sama juga melambatkan ekspor, karena impor itu sebagai bahan baku produk ekspor," kata Fithra, di Jakarta, Kamis (14/2).

Menurut Fithra, ekspor tidak bisa dilepaskan dari faktor produksi, yang terkait erat dengan kinerja industri. Persoalannya, kinerja industri memburuk. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun hingga tinggal 19 persen pada 2018.

"Padahal, pada tahun 2001 sempat menyentuh level 29-30 persen. Tapi, saat ini terjadi deindustrialiasi secara prematur, sehingga itulah yang menyebabkan kinerja ekspor kita tidak terlalu baik," jelas dia.

Makanya, untuk menggenjot pertumbuhan industri perlu ada sejumlah perbaikan, salah satunya dengan pembangunan infrastruktur. "Selama ini, infrastruktur belum mampu mendorong industri secara signifikan. Pertama, masih butuh waktu. Dan kedua, infrastruktur ke depan harus lebih banyak yang terkoneksi dengan industri. Nah, itu pekerjaan rumahnya," tukas Fithra.

Sementara itu, ekonom Indef, Bhima Yudhistira, menilai perbaikan dari sisi ekspor kuncinya adalah hilirisasi industri dan perluasan pasar non-tradisional. Semuanya memang membutuhkan waktu. "Tapi tanpa upaya struktural dan hanya tambal sulam maka urusan defisit bakal jadi hantu bagi ekonomi Indonesia 10 tahun ke depan," tukas dia.

Cara Praktis

Menurut Fithra, cara praktis memperbaiki neraca dagang dalam jangka pendek yaitu dengan mengurangi impor migas yang proporsinya masih besar. Besarnya impor migas tersebut disebabkan disparitas harga internasional dengan domestik, akibat adanya subsidi. "Nah, subsidi inilah yang harusnya dikurangi secara bertahap," tutur Fithra.

Dia mengungkapkan berdasarkan hasil simulasi, pemotongan subsidi sebesar 10 persen ternyata tidak mengerek inflasi terlalu tinggi. "Paling maksimal 0,4 persen. Tapi itu sangat efektif, karena langsung mengantisipasi dampak jangka pendek dari trade balance yang defisit," tandas dia.

Bhima menambahkan, besarnya impor di semua kelompok sepanjang 2018 berkontribusi terhadap pelebaran defisit perdagangan. Total impor naik 20,15 persen, sementara impor bahan baku naik 20,06 persen, dipengaruhi lonjakan impor untuk proyek infrastruktur pemerintah.

"Artinya, komitmen pemerintah untuk menunda proyek yang berkontribusi besar terhadap impor belum serius dilaksanakan," ungkap dia.

Selain itu, impor barang konsumsi dalam setahun naik tinggi sebesar 22 persen, padahal konsumsi rumah tangga hanya tumbuh di kisaran lima persen. Ini bisa diteliti apakah ada kontribusi dari maraknya e-commerce karena 93 persen produk e-commerce adalah barang impor. "Penerapan kenaikan PPh (Pajak Penghasilan) 21 untuk membendung impor barang konsumsi pun dampaknya bisa dikatakan nyaris tidak ada," tegas Bhima.

Impor migas, lanjut dia, juga mencatat rekor sebesar 29,8 miliar dollar AS atau naik 5,5 miliar dollar AS. Kebergantungan pada bahan bakar minyak (BBM) impor semakin besar ketika produksi dalam negeri turun dan harga minyak mentah rata-rata 70 dollar AS per barel untuk jenis brent. Kurs rupiah juga berkontribusi atas bengkaknya nilai impor migas. ahm/WP

Komentar

Komentar
()

Top