Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Megathrust

Ketika Dua Lempeng Raksasa Bertabrakan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Awal Maret 2018, berbagai media di Indonesia memberitakan potensi gempamegathrustdi Jakarta. Jika gempa megathrust selatan Jawa terjadi, guncangan akibat gempa di Jakarta bisa memporakporandakan semuanya.

Setelah gempa yang melanda area Jakarta beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan potensi gempa bermagnitudo 8,7 SR yang akan mengguncang Jakarta. Gempa ini berasal dari zona subduksi Selat Sunda atau biasa disebut dengan Sunda megathrust.

Gempa megathrust adalah gempa besar yang sangat berbahaya. Kekuatan gempa bisa mencapai 9 SR, bahkan bisa lebih. Gempa ini sering terjadi di zona penunjang atau wilayah geologis, saat satu lempeng tektonik bergeser ke bawah lempeng lainnya dan batas antara lempeng-lempeng tersebut patah.

Lempeng di Bumi itu ada beberapa jenis. Dua di antaranya adalah lempeng benua dan lempeng samudera. Lempeng benua lebih tebal daripada lempeng samudera.

Karena lebih tipis, lempeng samudera akan masuk ke lempeng benua saat bertabrakan. Lempeng samudera yang masuk ke lempeng benua itu bisa menimbulkan getaran kuat. Nah, getaran kuat inilah yang disebut dengan gempa megathrust.

Gempa di Aceh pada 2004, gempa di Jepang pada 2011, dan gempa di Chili pada 2012 adalah beberapa contoh dari gempa megathrust.

Menurut Profesor Phil Cummins, Pimpinan Ilmuwan Geoscience Australia dan Guru Besar Bencana Alam dari Research School Earth Sciences, Universitas Nasional Australia, potensi-potensi gempa Megathrust yang berskala antara 8-9 SR ada di Indonesia, tepatnya di selatan Selat Sunda.

"Namun, untuk memprediksi suatu gempa dan tsunami belum ada teknologinya. Baru sekadar memprediksi potensi-potensi gempa ada di setiap wilayah," katanya.

Misalnya, gempa Tohoku yang terjadi di Jepang pada 2011, pada saat itu, para ahli hanya memprediksi kekuatan gempa yang bisa terjadi adalah 8,5 SR, namun yang terjadi sebenarnya mencapai 9 SR. Itu bisa diartikan kekuatan gempa bumi sama sekali tidak bisa diprediksi.

Analisis tersebut juga telah dikonfirmasi Kepala BMKG Dwikorita Karnawati. Dwikorita menjelaskan belum ada cara ataupun teknologi untuk memprediksi secara tepat kapan suatu gempa akan terjadi, termasuk apakah akan terjadi gempa di suatu wilayah.

"Bangunan tahan gempa bukan berarti ketika terjadi gempa bangunan tidak rusak atau runtuh. Tapi bangunan tersebut tidak rusak atau runtuh seketika pada saat gempa terjadi," ujarnya.

Dwikorita menegaskan jarak yang jauh dari pusat gempa tidak menjamin kekuatan gempanya berkurang. Tergantung kondisi tanah setempat. Kondisi tanah dapat meningkatkan kekuatan gempa yang telah melemah karena jarak yang dilalui.

Karena itu perlunya melakukan kajian lebih mendalam terkait dengan kondisi tanah. Langkah konkret lain, perlunya audit bangunan, edukasi ke masyarakat, dan mitigasi lainnya.

Menurutnya, zona megathrust adalah wilayah patahan naik yang sebenarnya berada di dasar Samudera Hindia, tepatnya di sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa.

"Zona megathrust itu zona patahan yang mungkin bergerak dan berada di Samudera Hindia. Sedangkan zona rawan gempa itu tergantung di lokal setempat. Misal daerah kita ini secara lokal kalau ada gelombang gempa, ini bisa mengalami amplifikasi. Kalau ada gelombang masuk ke struktur tanah yang lebih keras akan terendam," katanya.

Ia mencontohkan gempa-gempa yang terjadi di kota besar dunia seperti Los Angeles, San Fransisco, dan California. Daerah tersebut sudah sigap dan siap menghadapi gempa besar sejak 10 tahun sebelum gempa melanda.

"Apabila bangunan sudah telanjur terbangun, pemerintah harus memeriksa jalur evakuasinya. Apakah sudah tersedia atau belum? Di sini kita mengambil sikap meski kepastian besarnya gempa belum jelas," imbuhnya.

Dalam postingannya di Twitter, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo juga memastikan gempa berkekuatan 8,7 SR tidak akan terjadi di wilayah Jakarta. Tetapi potensi itu ada di Selat Sunda bagian selatan dan selatan Jawa.

BMKG mendesak ada langkah nyata dan tegas dari pemerintah. Pemerintah harus mulai memperketat regulasi terhadap bangunan, harus dilengkapi sarana tanggap gempa.

Kesaksian Dosen Unsoed

Berikut kesaksian Dr.Uyi Sulaeman,S.Si,M.Si. yang pernah merasakan gempa besar. Uyi adalah dosen Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah.

Saat tsunami dan gempa besar pada 2011, Uyi sedang menunggu graduation (wisuda) Program Doktor di Universitas Tohoku, Jepang.

Pada 11 September 2011, adalah pengalaman yang tak pernah terlupakan, ketika Uyi, pertama kalinya merasakan gempa yang hebat di Jepang, tepatnya di Sendai, Miyagi, Jepang.

Gempa berkekuatan 9.0 SR merupakan gempa terbesar sepanjang sejarah Jepang dalam 1.200 tahun terakhir, yang diikuti gelombang tsunami setinggi 10 m.

"Kali itu hari Jumat, setelah selesai melaksanakan salat Jumat di Masjid Islamic Cultural Centre of Sendai (ICCS), saya langsung ke lab dan buka komputer, tiba-tiba gempa datang, mulanya hanya kecil, namun lama-lama, gempa itu semakin hebat, dan saya tak punya kesempatan untuk keluar," tambahnya.

Dipertemukan dengan Keluarga

Setelah gempa mereda, Uyi bersama anggota lab keluar menuju lapangan dan berkumpul, memastikan tidak ada korban. Namun, gempa susulan datang, rasanya tanah ini telah bergerak bagaikan gelombang dan sulit untuk melangkah.

"Otomatis listrik dan sambungan telepon mati, saya tidak bisa mengontak isteri, lalu saya izin ke profesor, untuk pulang ke apartemen dengan sepeda. Sepanjang naik sepeda, hati saya gelisah dan bergetar," katanya.

Ketika sampai di apartemen, Uyi kaget, kunci kamar tergantung di pintu."Saya berfikir, mungkin anak-anak ke rumah sakit, karena tak ada orang yang bisa hubungi saya," lanjutnya.

Uyi akhirnya kembali ke lab dengan sepeda. "Kegalauan saya hilang, Allah mempertemukan saya dengan keluarga di depan jalan asrama mahasiswa dan semuanya selamat.

Setelah itu, lanjutnya, sekeluarga tidak tinggal di apartemen, tetapi di gedung SMP, karena bangunan sekolah dibuat kuat oleh pemerintah Jepang, dan dijadikan tempat untuk mengungsi apabila gempa datang.

Tak lama kemudian ada bencana yang tak terduga, bangunan SMP tempat Uyi mengungsi kebakaran. Semua pengungsi berkemas-kemas dan harus pindah dari tempat itu. Dan tak lama kemudian bantuan makanan datang dari Indonesia, setelah itu datang utusan dari KBRI Tokyo menawarkan untuk mengungsi ke Tokyo. Mulanya Uyi berfikir akan tinggal di Tokyo untuk sementara, tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, akhirnya dia dipulangkan ke Indonesia.

ukay/R-1

Komentar

Komentar
()

Top