Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ketersendatan Produk Hukum

Foto : Koran Jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

OLEH DR AGUS RIEWANTO

Sepanjang tahun 2018, publik disuguhi anomali rendahnya produktivitas pembentukan undang-undang (UU). DPR menargetkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018 untuk merampungkan 50 RUU. Realitanya hanya selesai dan disahkan 4 RUU. Buruknya kinerja DPR tahun 2018 ini tak boleh terulang tahun depan. Untuk tahun 2019, DPR telah mencanangkan target pengesahkan 55 RUU menjadi UU. Padahal dari 55 target RUU itu hanya terdapat 12 RUU baru. Sisanya, 43 RUU merupakan RUU Prolegnas tahun 2018 yang tidak selesai.

Mengingat 2019 ada pemilu serentak, rasanya sulit mengharapkan DPR dapat menyelesaikan 55 RUU tahun 2019. Sepanjang tahun 2019 dipastikan sejumlah anggota DPR akan sibuk menyiapkan amunisi uang, membangun citra politik, dan merancang agenda kampanye Pemilu 2019. Hal ini membuat sangat mustahil DPR dapat lebih produktif. Mereka hanya akan lebih fokus pada fungsi anggaran dan pengawasan jalannya pemerintahan daripada fungsi legislasi.

Padahal fungsi DPR di sejumlah negara modern yang menganut sistem pemerintahan presidensial seperti Amerika Serikat, DPR justru lebih produktif dalam fungsi legislasi (pembuatan UU) daripada anggaran dan pengawasan. Sebab dinamika persoalan masyarakat begitu cepat menuntut penyesuaian UU.

Komponen utama penegakan hukum adalah adanya UU yang memadai. Bukan hanya prosedur teknis pembuatannya yang demokratis, akan tetapi juga substansi harus bermutu agar bisa dijadikan rujukan berbangsa, tanpa bertentangan dengan keinginan publik. Menurut Jeremy Benthem (1956), produk UU merupakan manifestasi kemampuan negara untuk menciptakan regulasi yang sehat, efektif dan berpihak pada kepentingan rakyat. Tujuannya untuk kebahagiaan sebanyak-banyaknya orang, bukan segelintir.

Sedangkan fungsi anggaran dan kontrol relatif tidak menonjol karena keduanya dapat dilakukan, bukan hanya oleh DPR, tetapi juga institusi-institusi internal pemerintah seperti inspektorat jenderal. Kontrol bahkan juga bisa dilakukan masyarakat sipil.

Realitas DPR menunjukkan secara politis menganggap lebih penting fungsi anggaran dan kontrol ketimbang legislasi. Sebab fungsi legislasi tak cukup mampu memberi keuntungan keuangan. Sebaliknya, fungsi anggaran dan kontrol lebih berpeluang memberi keuntungan ekonomi dan sumber keuangan untuk pembiayaan organisasi partai politik.

Itulah sebabnya, sepanjang tahun 2018 ketika DPR berhadapan dengan pemerintah membahas anggaran lehih serius dan garang. Pembahasannya nyaris tertutup. Kalaupun terbuka hanya terhadap persoalan politik yang akan memberi dampak citra positif DPR seperti penggunaan hak angket untuk KPK.

Korupsi Legislasi

Selain itu, praktik korupsi sistemik yang luput dari perhatian rakyat adalah korupsi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (legislasi). Aktor yang bermain dalam jenis korupsi ini adalah kelompok kepentingan (korporasi, pengusaha hitam, dan broker politik) dan DPR. Kelomok kepentingan memiliki misi mendorong agar produk peraturan yang akan dibuat DPR mengarah pada bentuk-bentuk perilaku monopolistik dan keuntungan ekonomi. Sedangkan pembuat peraturan mengharapkan uang atau keuntungan pribadi sebagai imbalan jasa yang telah disepakati.

Korupsi ini sebagai perselingkuhan legislator dan pengusaha. Keduanya berkolusi demi uang dan produk regulasi yang diharapkan berpihak pada kepentingan pengusaha. Korupsi model tersebut sangat berbahaya karena akan berdampak pada produk perundangan yang tak adil dan sulit dieksekusi karena telah dipesan kelompok-kelompok kepentingan.

Korupsi legislasi karena memperdagangkan kewenangan dalam menyusun norma hukum. Akibatnya, produk hukum yang didesain secara koruptif menimbulkan korupsi sistemik dan berkelanjutan antara politisi dan pengusaha gelap.

DPR yang tak produktif dalam legislasi ini berakibat program pembangunan nasional tidak mendapat dukungan hukum. Ini menunjukan seolah-olah DPR tidak memiliki orientasi dan sensitifitas politik legislasi untuk membantu pembangunan nasional demi kemajuan masyarakat. Kondisi ini sangat mungkin karena terfragmentasinya kekuatan politik di DPR. Paling tidak, karena sistem multipartai yang berkonjungsi dengan sistem proporsional dalam pemilu.

Jumlah fraksi DPR yang begitu banyak juga mempersulit pengambilan keputusan dalam proses legislasi antara pemerintah dan DPR. Di sinilah ungkapan Giovanni Sartori, (1997:83) dalam Comparative Constitutional Enginering, terbukti. Katanya, sesungguhnya problem-problem sistem presidensial tidak terletak dalam arena eksekutif, tapi dalam arena legislatif, terutama saat mewujudkan produk-produk hukum.

Hasil amendemen UUD 1945 telah menempatkan fungsi dan kedudukan yang sama antara presiden dan DPR dalam proses pembahasan dan persetujuan RUU. Lihat saja Pasal 20 Ayat (2) dan (3) UUD 1945 setelah amendemen. Model ini mirip sistem parlementer karena DPR membagi kekuasaan fungsi legislasi dengan presiden. Bahkan, model tersebut telah memasukkan sebagian sistem parlementer seiring dengan pemurnian sistem presidensial.

Kini waktu tepat untuk mengingatkan DPR agar tahun depan lebih kian produktif, sehingga mampu menyelesaikan pembahasan 55 RUU dalam Prolegnas 2019. Maka, anggota DPR seharusnya didorong untuk dapat menguasai substansi isi, tujuan, maksud, asas, serta filosofi sebuah RUU agar lebih tertarik ambil bagian pembahasan setiap pasal dalam RUU secara serius dan inten.

Mereka jangan hanya mengandalkan para staf ahli. Selama ini yang tampak di mata masyarakat banyak naggota DPR tak memahami sebuah RUU. Ini membuat mereka tak peduli pentingnya UU. Begitu pula setiap anggota DPR wajib memahami ilmu legal drafting (perancangan UU) lebih rinci dan teknis. Fungsi legislasi berjalan lamban dan membutuhkan penguasaan substansi serta teknis tinggi.

Melalui Badan Legislasi (Baleg), DPR harus lebih fokus pada tujuan jangka panjang bagi kepentingan nasional. Hindari fokus kepentingan jangka pendek bagi partai dan golongan, termasuk faktor ekonomi. UU memang produk politik. Namun, bukan berarti harus mendulukan kepentingan pembuatnya (DPR dan pemerintah).

Fiona Haines (2008) dalam Problematizing Legitimacy and Authority in Law and Policy mengatakan, UU juga bagian dari produk kebijakan public. Seharusnya proses dan hasilnya dilakukan dengan lebih memperhatikan kepentingan bangsa, bukan kekuasaan atau politik.

Perilaku elite politik yang lebih mengedepankan kepentingan politik jangka pendek terutama untuk mengupayakan daya survival kepentingan partai daripada rakyat dalam memproduksi UU ini banyak sebabnya. Salah satunya karena cengkeraman pimpinan fraksi DPR yang begitu kuat dalam mengendalikan anggota. Ini melemahkan kemandirian sikap dan pikiran dalam menyikapi sebuah RUU.

Penulis Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarajana UNS

Komentar

Komentar
()

Top