Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ketakutan Kaum Perempuan atas Masa Depan Pendidikan di Afghanistan

Foto : AFP/JEFF PACHOUD

BELAJAR DI SEKOLAH l Anak-anak di Afghanistan berlari menuju sekolah mereka pada September 2020 lalu. Seiring dengan penarikan pasukan AS dan NATO, kaum perempuan di Afghanistan merasa ketakutan akan masa depan pendidikan di negerinya.

A   A   A   Pengaturan Font

Ketika pasukan Amerika Serikat (AS) dan NATO menarik diri dari Afghanistan, tiga perempuan dari tiga generasi membagikan pendapat mereka tentang ketakutan akan masa depan. Mereka itu adalah seorang guru berpengalaman, lulusan universitas, dan siswa sekolah, yang semuanya menggambarkan bagaimana selama pandemi mereka tidak hanya harus berjuang melawan kesenjangan digital, tetapi juga ketidaksetaraan gender, dan konflik.

Ini bukan pertama kalinya Shahla Fareed mulai menyembunyikan buku. Ini juga bukan pertama kalinya dia mulai merencanakan sekolah rahasia. Bagi Shahla dan banyak perempuan lain di Afghanistan, pendidikan untuk putri mereka sekali lagi berada di bawah ancaman.

Shahla yang sebelumnya guru sekolah, sekarang mengajar di Universitas Kabul, di ibu kota negara itu. Selama lockdown, dia terus memberikan pelajaran virtual, tetapi mengatakan banyak muridnya berjuang untuk menempuh pendidikan secara daring.

"Sebagian besar mahasiswi saya tidak memiliki smartphone, dan keluarga mereka juga tidak mengizinkan mereka menggunakan internet," ucap Shahla.

Tapi, bukan hanya kesenjangan digital yang menghambat perempuan. Konflik Afghanistan yang sedang berlangsung antara pemerintah dan pasukan Taliban, sekarang berada pada titik kritis. Saat penarikan pasukan AS berlanjut, banyak yang khawatir akan kebangkitan kelompok Islam garis keras.

Taliban telah mengklaim menguasai beberapa wilayah teritorial dalam beberapa bulan terakhir. Taliban memaksakan aturan patriarki yang ekstrem dan sebelumnya melarang semua pendidikan perempuan. Mereka juga tidak mengizinkan perempuan untuk bekerja atau meninggalkan rumah mereka tanpa kerabat dekat laki-laki.

Namun, bagi banyak pendukung hak-hak perempuan termasuk Shahla, ada ketakutan besar, akses pendidikan perempuan akan ditutup lagi. Shahla, sekarang di usia 60-an, menjelaskan bagaimana dia membuka sekolah rahasianya sendiri untuk anak perempuan pada era '70-an, ketika Taliban telah menguasai seluruh negeri.

Murid-muridnya berusia antara sembilan dan 10 tahun, yang kebanyakan belajar dengan mengenakan burka biru tradisional. Dia selalu memberitahu mereka untuk menyembunyikan buku teks bahasa Inggris di dalam sampul buku-buku Islam lainnya. Shahla mengajari muridnya dengan papan tulis kecil di taman belakang, di bawah naungan pohon dan tenda kain kecil.

"Saya memulai sekolah dengan 20 anak perempuan tetapi hanya berhasil menamatkan masa pendidikan dengan empat murid. Dua di antaranya adalah putri saya sendiri," kata Shahla, menggambarkan betapa sulitnya membuat murid-muridnya tetap belajar.

Dia mengatakan Taliban sering menggeledah rumah untuk mencari bukti sekolah, tetapi hanya sekali mereka berhasil menutup 'sekolah rahasianya'. "Namun (penutupan itu hanya) untuk sementara," imbuh dia.

Sekarang, lima puluh tahun kemudian, Shahla berjaga-jaga untuk membuka sekolah rahasianya lagi. Ia mengatakan hatinya hancur karena dia harus mulai mengumpulkan buku-buku untuk sekolah rahasia itu.

Sementara itu seorang siswa sekolah bernama Wahida, 16 tahun, menceritakan keinginannya untuk pergi ke sekolah telah menghancurkan hubungan dia dengan keluarganya. Ayah dan kakeknya benar-benar berhenti berbicara dengannya. "Mereka mengatakan saya harus meninggalkan sekolah dan menikah," kata dia.

Wahida mengatakan hanya berkat dukungan kakak dan ibunya, dia bisa melanjutkan sekolah. Wahida yang tinggal di sebuah rumah yang letaknya tujuh jam berkendara dari rumah Shahla pun menceritakan bahwa setiap hari ia harus berjalan kaki ke sekolah bersama kakak laki-lakinya.

Wahida tinggal bersama keluarganya di Provinsi Kandahar, tempat kelahiran Taliban dan di mana sebagian besar distrik tetap berada di bawah kendali mereka. Dari 17 kabupaten di provinsi tersebut, hanya tiga yang memiliki sekolah untuk anak perempuan.

Ibu Wahida, yang tidak pernah diizinkan pergi ke sekolah, mengatakan kepada putrinya bahwa dia harus terus memperjuangkan hak-hak perempuan meskipun konflik meningkat.

"Saya berharap saya bisa mewujudkan impian ibu saya. Tetapi dalam situasi saat ini, saya khawatir saya tidak akan menyelesaikan sekolah saya, apalagi kuliah dan menjadi pembela bagi orang lain," ungkap dia.

Ancaman Baru

Lain lagi cerita Shamsia Alizada yang baru saja lulus sekolah dan keberhasilan mereka menamatkan sekolah jadi inspirasi bagi anak perempuan lain di Afghanistan seperti Wahida.

Ada beberapa perempuan muda, yang meskipun ada kesenjangan digital, konflik yang berkelanjutan, ketidaksetaraan gender dan Covid-19, masih mampu menjadi inspirasi.

Tahun lalu Shamsia mendapat nilai paling tinggi dari 170.000 pelamar dalam ujian masuk universitas Afghanistan. Sebagai putri seorang penambang batu bara, ia dibesarkan di salah satu daerah yang paling miskin dan rentan di Kabul.

Pada 2018, sekolahnya diserang oleh kelompok yang menyebut diri sebagai Islamic State (ISIS). Dalam serangan itu, lebih dari 46 rekan mahasiswanya tewas. Kemudian pada 2020, setelah pindah ke lingkungan baru, sekolah barunya juga diserang oleh ISIS.

"Belajar di Afghanistan sulit dan saya memiliki banyak ketakutan. Tetapi pusat pendidikan kami telah mengambil beberapa langkah keamanan yang membantu saya merasa lebih aman. Dan ketika Anda begitu sibuk belajar, tidak ada banyak waktu untuk memikirkan keamanan," kata Shamsia.

Setelah mendapatkan beasiswa untuk belajar di Turki, Shamsia kini sedang menjalani pelatihan untuk menjadi seorang dokter.

n BBC/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top