Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 21 Jan 2023, 06:55 WIB

Kepemimpinan Para Dewa Tak Cocok untuk Mahasiswa, Atmosfer Kampus Mesti Egaliter

Rektor UMY, Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto M.P, IPM.

Foto: KORAN JAKARTA/EKO SUGIARTO PUTRO

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2023 ini akan memasuki usia 42 tahun. Sebuah usia perguruan tinggi yang masih relatif sangat belia dibandingkan perguruan tinggi lainnya yang sudah berusia ratusan tahun lebih berdiri.

Namun, ulang tahun pada 2023 ini adalah milad yang istimewa bagi UMY. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa kegiatan kampus yang tergolong sangat ramai ini harus terhenti dari semua aktivitasnya karena kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) akibat Covid-19 dari 2020 hingga akhir tahun 2022 lalu.

Sungguh sangat sulit. Yang artinya, tahun-tahun berat penuh pembatasan dua tahun ke belakang. Tahun-tahun yang penuh "keputusan gila" dari para pemimpin membuahkan pengalaman penting untuk masa-masa panjang di depan.

Di tengah situasi Pandemi itu, UMY banyak mengambil keputusan gila, tapi juga sekaligus membuat sejumlah capaian penting atau prestasi. Dalam kondisi tersebut, UMY malah seperti melompat. Tak hanya itu, UMY di masa pandemi juga dituntut membuktikan kepeduliannya pada mahasiswa dan lingkungan sekitar.

Sebagai kampus dari keluarga besar Muhammadiyah, UMY juga memberi warna tersendiri bagi organisasi keagamaan dengan 60 juta anggota itu. Untuk diketahui, Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah adalah dosen UMY, dan puluhan civitas akademiki UMY duduk di posisi penting PP Muhammadiyah.

UMY didirikan 1 Maret 1981 dan berdomisili di Kasihan, Bantul. Kampus yang berada di tepian Kota Yogyakarta ini memiliki julukan Kampus Muda Mendunia karena berbagai torehan prestasi secara akademis maupun di luar akademis.

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai dinamika UMY, wartawan Koran Jakarta, Eko Sugiarto Putro, mewawancarai Rektor UMY, Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto M.P, IPM, pada pekan ini, di kantornya di Yogyakarta. Berikut petikannya.

Pada 1 Maret mendatang UMY memasuki usia 42 tahun, apa refleksi utama Anda?

Untuk usia perguruan tinggi, 42 tahun adalah usia yang sangat belia. Dalam sistem klasifikasi international higher education, sebuah kampus dibagi menjadi dua, yakni higher education under 50 dan higher education over 50.

Soal capaian, yang saya ingat saja ini, UMY 5 tahun yang lalu masih ranking 7 dalam kelompok perguruan tinggi Muhammadiyah. Sejak 2018 lalu sampai hari ini tetap berada pada posisi ranking 1.

Versi 4ICU, UMY masuk dalam 3 besar Perguruan Tinggi Swasta terbaik di Indonesia. Geser-geser saja peringkatnya dengan Universitas Bina Nusantara, Universitas Telkom, dan Universitas Islam Indonesia (UII).

Pemeringkatan kegiatan mahasiswa oleh DIKTI, dari ranking 36 nasional lompat jadi 24 nasional dan bahkan saat pandemi yakni 2021 kita justru lompat lagi menjadi 10 besar nasional.

Sebuah capaian luar biasa. Apa rahasia kepemimpinan Anda?

Kalau melihat ke belakang, refleksinya adalah kehidupan kampus itu tidak cocok kalau dipimpin dengan gaya para dewa yang menentukan arah kebijakan secara top down. Saat para pendahulu pengelola UMY sudah mulai istirahat, saya pikir ini saatnya ada sebuah arah kepemimpinan yang lain.

Ya, sebuah kampus saya kira memerlukan atmosfer yang egaliter, lebih banyak informal, sehingga semua yang ada di kampus jadi satu mesin penggerak yang luar biasa. Ubinus (Universitas Bina Nusantara) misalnya, saya lihat juga sama, tidak ada sekat-sekat formalitas di sana.

Di sini, saya mulai dari segi berpakaian, pakai pakaian lapangan, sepatu kets, instead of pantofel, dosen ikut semua dan akhirnya gaya itu sama rata. Itulah mengapa desain pengembangan UMY, kemudian, mudah dipahami oleh civitas akademikanya.

Bisa memberi contoh dampak langsung dari kepemimpinan dengan gaya informal itu bagi kehidupan kampus?

Saya akan kasih contoh di kehidupan mahasiswa. Marching band UMY juara Asia 2018, karate 2 kali juara umum Pelatnas, Paduan Suara juara di Manila, taekwondo ranking 2 nasional. Masih banyak lagi prestasi non-akademik mahasiswa. Dan yang terakhir orkestra yang baru kami bangun 2019, Sun Shine Philaharmonic Orchestra, langsung menarik Tantri Kotak untuk bergabung dalam pertunjukan pada Muktamar Muhammadiyah di Solo, November lalu.

Pengakuan dari Tantri Kotak adalah pengakuan bahwa kualifikasi simfoni kita bagus. Dan ini mahal loh, enam miliar rupiah semua alat musiknya. Tapi kita berani keluarkan untuk mahasiswa.

Dan semua yang saya sebutkan tadi hanya mungkin dari gairah mahasiswa yang dilahirkan oleh kepemimpinan yang egaliter. Karena suasana begitu egaliter, pemikiran-pemikiran positif tidak lagi tersendat. Orang tidak lagi takut menyampaikan ide dan konten-konten perubahan.

Mundur ke belakang, bagaimana Anda memahami bahwa problem fundamental dari lambatnya perubahan UMY adalah kepemimpinan yang kaku di era sebelumnya?

Saya aktif di Muhammadiyah, jadi itu selalu terjadi dan berulang. Sejak zaman KH Ahmad Dahlan dan Kyai Badawi, selalu ada gap antara tua dan muda. Sejarah hanya berulang.

(Untuk diketahui, Gunawan Budiyanto adalah cucu dari Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah di masa Proklamasi 1945, perumus Sila 1 Pancasila dan UUD 1945, yang mendapat gelar Pahlawan 2015 lalu).

Soal bagaimana menggerakkan dosen dan para pengurus kampus, sampai satpam dan tukang parkir, saya akan memberi contoh bagaimana KH Ahmad Dahlan mengajari anak miskin mengaji. Bukan diberi ayat-ayat, tapi anak miskin itu dia mandikan, diberi makan, diberi pakaian bersih. Baru kemudian diajak salat dan ngaji. Kalau perut kosong dijejali ayat-ayat, dipaksa, tidak mungkin masuk.

Begitu pula soal memimpin kampus. Pemimpin banyak menargetkan sesuatu, tapi lupa menyejahterakan anak buahnya. Ini jadi suatu hubungan yang saya menyebutnya kronis. Komunikasi antara tua dan muda tidak terjadi.

Soal target-target di masa dewa-dewa (senior pengelola UMY) hanya berbasis pada perasaan saja, sekarang semuanya ada parameter atau data yang jelas dan wujudnya skor, angka, berbasis teknologi informasi.

Bukan berbasis perasaan tapi data, bisa dielaborasi bagaimana itu?

Kalau hanya mengandalkan perasaan maka tidak jelas ukurannya, informal. Sebaliknya, budaya kepemimpinannya informal dan terbuka, tetapi soal kinerja harus memenuhi ukuran jelas yang disepakati yakni Indikator Kinerja Strategis (IKS).

Dosen yang berprestasi dan jurnalnya di-publish di jurnal internasional bahkan bisa dapat bonus sampai 40 juta rupiah. Itu di luar gaji pokok. Dan karena dosen semangat dan tahu benar bagaimana ukuran kinerjanya, prestasi mahasiswa meningkat, kepercayaan masyarakat pun makin kuat.

Saat banyak kampus swasta di Yogya terancam tutup atau dipaksa merger karena kekurangan mahasiswa, total mahasiswa kita terus bertambah dan saat ini 22.600 mahasiswa dengan 2000-an mahasiswa di antaranya mahasiswa pascasarjana.

Peningkatan pendaftaran mahasiswa asing juga luar biasa. Tahun 2019 hanya ratusan mahasiswa asing yang mendaftar, tahun ini, ditutup 31 Januari nanti yang mendaftar sudah 4.000 orang dari 60 negara.

Data total jumlah mahasiswa PTS di Indonesia adalah 3,9 juta dan PTN 1,8 juta. Tapi sebuah data juga menyebutkan bahwa ratusan ribu sarjana setiap tahun, berakhir menganggur. Ada komentar sebagai perwakilan kampus swasta, pemilik terbesar mahasiswa Indonesia?

Sederhana saja komentar saya. Data itu sedang mengatakan bahwa PTS-lah sebenarnya yang paling banyak menjalankan tugas UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi kenapa tidak ada subsidi dari pemerintah seperti untuk kampus negeri? Bedanya apa swasta dan negeri, sejak dulu sama-sama berjasa mencerdaskan bangsa.

Zaman SBY, alokasi anggaran pendidikan 4 persen dari APBN sampai sekarang 20 persen, kondisinya tetap sama, PTS tetap jadi warga kelas dua. Padahal kontribusi kita pada tugas UUD, lebih besar kan ternyata.

Di awal sebelum wawancara, Anda sepertinya mencatat pandemi sebagai salah satu masa penuh "kegilaan" di kepemimpinan Anda. Bagaimana kisahnya?

Saat itu, awal-awal pandemi, saya sampai dicap sebagai rektor yang menciptakan kekacauan. Ya, saat semua kampus memutuskan lockdown, saya ambil keputusan kita terus jalan dengan beberapa mekanisme pembelajaran yang ketat. On-off mulai Juni 2020. Kami mengatur siapa mahasiswa yang menjalani pembelajaran online dan offline berdasar ganjil genap nomor mahasiswanya. Tidak lockdown, tapi terkontrol.

Saya dipanggil satgas Covid, dipanggil Dikti, asisten Menkes sampai datang ke sini. Epidemiolog mengecam menganggap saya mencipta chaos.

Satu hal yang mungkin hal kecil dan tidak banyak diketahui oleh publik adalah 130 warmindo di sekitar kampus mendatangi saya, bertanya bagaimana nasib mereka kalau kampus lockdown? Nangis-nangis. Bagaimana menjawabnya?

Mahasiswa golongan penduduk dewasa, relatif kuat fisik dan mental, rasional dan bisa diatur. Saya percaya, pengaturan yang ketat bisa meminimalisir risiko. Dan juga ini yang perlu diketahui, kami itu siap tombok. Kami siapkan shelter pengobatan, bantuan makan, dan sembako bagi mahasiswa yang membutuhkan. Saat puasa ada sahur dan buka untuk semua mahasiswa. Total selama 1,5 tahun kami habiskan 18 miliar rupiah.

SPP mahasiswa juga kita potong sampai 30 persen sehingga kami kehilangan 84 miliar rupiah pada 2020 dan 62 miliar rupiah pada 2021.

Di masa pandemi, kami sukses melahirkannya platform pembelajaran daring bernama MyKlass. Saat kampus lain berhenti membuat sesuatu, UMY di masa pandemi berhasil mendapatkan lisensi untuk Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Di masa pandemi, UMY juga panen sembilan profesor karena program terus jalan. Kalau kita ikut lockdown, kita set back, maka di milad ke-42 ini tema kita adalah Keep Moving On.

Wow! Upaya yang luar biasa?

Dan satu lagi yang terpenting. Keputusan saat pandemi hanya bisa terjadi karena keputusan diambil persis sama dengan keputusan bagaimana mengelola kampus ini di masa normal, yakni secara egaliter, terbuka, dan berani membuat terobosan. Diskusi dan debat keras terjadi dengan luar biasa. Setelah mantap semua, Bismillah, kita tidak lockwdown.

Anda begitu berani ambil keputusan soal UMY, apakah hal itu ada hubungannya karena Anda cucu dari salah satu tokoh penting Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo?

Status saya itu dosen PNS. Jadi, ya tidak ada hubungannya dengan Bapak dan Kakek saya. Makanya saya berani, paling hanya dipindah tugaskan saja. Dan kalau dipindah, ya malah mungkin ke kampus negeri. Itu yang membuat saya berani dan agak nekat. Hahaha….

Closing statement, Pak Gunawan.

Kita menginginkan kampus ini menjadi tempat berseminya calon-calon pemimpin Muhammadiyah. Muktamar November 2022 di Solo, lebih dari 20 dosen kita masuk di kepengurusan PP Muhammadiyah. Ketua Umum dosen kita. Ketua Aisiyah juga dosen kita.

Kedua, UMY ingin berkontribusi dalam pendirian Muhammadiyah di luar negeri. Kemarin, PP Muhammadiyah Istimewa Taiwan berdiri dan sebentar lagi PP Muhammadiyah di Jepang aktif kembali. Segera rilis PP Muhammadiyah Turki.

Redaktur: Redaktur Pelaksana

Penulis: Eko S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.