Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kenangan Masa Kecil dari Balik Jeruji Besi

Foto : ISTIMEWA

Fira Prameswari

A   A   A   Pengaturan Font

Senyum tipis dengan tatapan tajam seolah menegaskan kisah yang keluar dari bibirnya, Kisah cerita kelam pada masa lalu yang masih pekat dalam ingatan. "Gue gasuka banget sih yang namanya aparat, semua bisa dibayar." Penggalan kalimat itu yang keluar pada saat mantan narapidana yang tidak mau disebutkan namanya ini ditanya bagaimana kehidupan di dalam penjara.

Sebut saja Akhtar, dia salah satu dari sekian banyak narapidana anak di Lapas Kelas IIA Salemba, Jakarta Pusat. Akhtar kala itu duduk di bangku kelas sembilan sekolah menengah pertama dan harus kehilangan cita-citanya melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi di bangku SMA.

Walaupun Akhtar dikenal sebagai anak yang tidak banyak ulah di sekolah, hanya saja lingkungan sekolah dan tempat ia tinggal tidak mendukungnya ke arah kebaikan. Saat itu, Akhtar tertangkap basah membawa barang bukti narkotika berupa ganja seberat 0,25 gram bersama kedua orang temannya yang akhirnya juga menjadi narapidana.

Di dalam jeruji besi berukuran kurang lebih tiga kali tujuh meter Akhtar menghabiskan masa mudanya. Di usia yang baru menginjak belasan tahun, Akhtar mencari jati diri, dan mencari Tuhan. Perasaan bersalah berkecamuk dengan perasaan tidak ikhlas ketika ia harus menjalani hari-harinya di dalam tahanan, di usia yang sangat belia. Kesulitan bertemu orang tua, membuatnya iri dengan anak seusianya yang dapat bermain-main dan mengenyam pendidikan yang layak.

Asal Ada Uang

Tidak ada akses komunikasi berupa ponsel, semakin menyulitkannya untuk mendengar kabar keluarga di rumah. Keinginannya berkeluh kesah, membuat kerinduannya dengan orang terdekat semakin menjadi. Saat itu, praktik suap di dalam penjara yang sudah biasa dilakukan pun mempermudah para napi untuk bisa menggunakkan ponsel di dalam tahanan.

"Mekanismenya itu, kita kasih uang ke petugas, ntar dia beliin hp-nya, atau dia nawarin barang yang udah ready stock, nanti kita beli hp yang ada di dia," ujar pria yang sekarang berusia 20 tahun itu.

"Biasanya dua puluh ribu, ngasih uang rokok tiap dia piket, biar kita aman," jawabnya ketika ditanya berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk menutup mulut petugas.

Hidup bersama orang yang tidak dikenal, semakin membuat anak laki-laki ini merasa terkurung dan terintimidasi.

Ruangan dengan kapasitas sepuluh orang itu pun sering kali diisi hingga empat belas kepala, dengan orang berusia jauh lebih tua dan berbagai kasus berat yang telah dilakukan.

"Waktu itu bisa dibilang, gue narapidana termuda yang ada di situ" ujarya. Bagaimana bisa, di usia empat belas tahun, Akhtar menjadi narapidana termuda di dalam rumah tahanan khusus anak?

"Kondisinya memang seperti itu, sejak 2015 saya rasa tidak ada perbaikan yang signifikan, dan itu sangat tergantung dengan Kepala Lapas (Kalapas). Kalau Kalapas bekerja dengan disiplin, saya yakin perubahan yang signifikan akan terjadi," ujar Mamik Sri Supatmi yang merupakan pegiat perlindungan terhadap Anak dan Perempuan.

Menurut dosen tetap di Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, karena kondisi tersebut dirinya selalu mengupayakan agar anak terkena hukuman penjara.

"Pemenjaraan anak merupakan langkah paling terakhir dalam memberi hukuman kepada anak dan harus mengakomodir kebutuhan khusus anak," ujarnya. Fira Prameswari Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI/P-6

Komentar

Komentar
()

Top