Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERSPEKTIF

Kenaikan Harga Sembako

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Sudah lebih dari sepekan terjadi kenaikan harga telur di berbagai daerah. Bahkan di beberapa lokasi, harga telur saat ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan saat Lebaran pada Juni kemarin. Telur yang semula hanya 22 ribu rupiah per kilogram perlahan-lahan naik seribu rupiah per hari, hingga kemudian bertengger di kisaran harga 29-30 ribu rupiah per kilogram.

Menyusul telur, kini harga ayam broiler juga iri untuk naik. Beberapa pedagang mengaku harga daging ayam potong sudah mencapai 36 ribu rupiah per kilogram, naik enam ribu rupiah dalam sepekan. Harga beberapa kebutuhan pokok lainnya juga berancang-ancang naik, terutama pangan berbahan baku impor, seperti daging sapi, tempe, tahu, kedelai, roti, mi, hingga susu.

Hingga kini, pemerintah tampak tidak panik. Malah, pemerintah beralasan bahwa kenaikan harga telur terjadi karena harga pakan naik. Cuma, pemerintah tidak menjelaskan kenapa naik. Padahal, para peternak sudah jauh-jauh mengingatkan bahwa pasokan telur dan ayam akan turun akibat harga pakan naik.

Kenaikan harga pakan itu karena dipengaruhi kurs rupiah yang terus melemah hingga menembus lebih dari 14 ribu rupiah per dollar AS. Padahal, hampir semua komponen pakan ternak dari impor. Ini artinya, modal peternak sudah tergerus untuk biaya pakan ternak sehingga menaikkan harga telur dam daging ayam.

Runyamnya lagi, banyak peternak memilih tidak membeli pakan ternak di harga sekarang. Mereka menunggu kurs dollar melemah. Nah, kondisi inilah yang kemudian mengurangi pasokan telur dan daging ayam di pasaran. Dengan kata lain, karena pasokan berkurang mau tidak mau harga jadi menjulang.

Tak cuma itu, kenaikan harga produk peternakan juga belum menjamin peternak untung. Hal ini disebabkan naiknya biaya operasional juga naik. Faktor lainnya yakni adanya pelarangan antibiotic growth promoter untuk menjamin keamanan pangan produk peternakan. Dampaknya ayam kerdil dan efisiensi rendah.

Situasi yang dialami peternak, cepat atau lambat, akan dialami petani. Apalagi jika kepastian perang dagang global tidak menentu dan kurs rupiah kian terjerembab. Pemerintah sendiri tampaknya tidak merespons cepat atas kondisi ini. Biasanya, ketika harga pangan bergolak, pemerintah sudah siap dengan pendekatan impor.

Bagi pemerintah, soal harga terkait dengan pasokan. Makanya, kalau pasokan itu cukup, sekalipun dari impor, harga akan terkendali. Soalnya kemudian, kondisi sekarang berbeda dengan firasat pemerintah. Kebijakan impor pangan nyatanya malah menguras devisa. Runyamnya lagi, harga pangan global juga naik dan banyak negara produsen pangan memilih untuk menjaga pasokan dalam negeri.

Kita memang sudah terbiasa menghadapi kondisi seperti nasi sudah jadi bubur. Kita juga kerap melewati situasi tidak kata terlambat. Namun, kita seharusnya jangan sampai jatuh ke dalam lubang yang sama. Ya, persoalan pangan selalu berulang kita hadapi dengan penyebab yang sama, pasokan berkurang karena bahan baku mahal.

Ini berarti, pembangunan nasional belum berhasil mengatasi masalah pangan. Mosok, kita tidak mampu mengatasi harga telur? Seharusnya pemerintah jangan terlalu muluk dengan hal-hal yang tidak perlu. Pemerintah fokus saja pada kemandirian dan ketahanan pangan. Jika ini diprioritaskan, tak ada lagi keluhan soal kenaikan harga pangan.

Sungguh sayang kesempatan membangun kemandirian pangan tercoreng dengan kenaikan harga telur. Jika terus dibiarkan, berarti kita memang tak mampu mengendalikan pangan. Jadi, buat apa pembangunan infrastruktur mahal-mahal jika tak mampu memproduksi padi, telur, dan kebutuhan pokok lainnya. Kalau semuanya diatasi dengan impor, buat apa berebut kursi pimpinan?

Komentar

Komentar
()

Top