Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Penegakan Hukum I Pembiaran Hak Tagih Jadi Preseden Buruk Penegakan Hukum

Kemenkeu Wajib Menagih Piutang Negara dari BLBI

Foto : Sumber: Kementerian Keuangan – Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

» Hanya Presiden yang bisa menghapus utang di atas 100 miliar rupiah dengan persetujuan DPR.

» Piutang BLBI tidak pernah ditagih tapi utang pajak pengusaha kecil diuber sampai ke liang kubur.

JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mempunyai kewajiban hukum menagih piutang negara yang berasal dari penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kewajiban melakukan hak tagih tersebut tidak pernah dijalankan, padahal hak tagih itu masih aktif karena Presiden sampai saat ini tidak pernah menghapus piutang BLBI.

Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mengatakan dalam Undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara di Pasal 37 Ayat 2 poin c menyebutkan bahwa piutang negara yang nilainya di atas 100 miliar rupiah hanya bisa dihapus oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Piutang negara dari BLBI itu masih aktif dan harus ditagih karena Presiden belum pernah menghapusnya. Itu jelas kok disebutkan di Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan itu menjadi kewajiban Menkeu menagihnya. Kenapa selama ini tidak ditagih," kata Uchok ketika dihubungi Koran Jakarta, Jumat (11/9).

Menurutnya, jika dikatakan kewajiban para debitur itu sudah selesai karena mereka mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), itu sama sekali tidak benar. "Jangankan Kepala BPPN yang ad hoc, Menteri Keuangan pun tidak berhak menghapus piutang tersebut. Hanya Presiden yang berhak dengan persetujuan DPR," katanya.

Lebih lanjut dijelaskan, tidak ditagihnya piutang negara yang berasal dari BLBI merupakan ketidakadilan. Di satu sisi, para debitur yang kekayaannya berasal dari uang BLBI, utangnya tidak pernah ditagih. Sementara di sisi lain utang pajak pedagang kecil dan pelaku usaha mikro diuber-uber sampai ke liang kubur. Lebih parah lagi, mereka justru diajak berteman.

Utang debitur BLBI wajib ditagih sampai ke anak cucu hingga tujuh turunan beserta bunga-bunganya sesuai kesepakatan MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), yaitu 2 persen bunga majemuk berikut penaltinya. Kalau tidak berbunga majemuk saja selama 22 tahun sudah mencapai 258 persen.

Langkah yang dilakukan Menkeu menatausahakan aset eks BLBI dengan melakukan pengamanan fisik dan yuridis atas sejumlah aset properti dinilai hanya sebagian kecil saja dari bunganya yang sudah mencapai 300 triliun rupiah.

Jika dibandingkan dengan beban yang ditanggung negara akibat penerbitan obligasi tersebut tidak adil karena sudah mencapai sekitar 4.000 triliun rupiah.

Preseden Buruk

Lebih lanjut, dia mengatakan kalau tidak ditagih, hal ini menjadi preseden buruk. Investor jadi ragu dengan penegakan hukum yang berlaku di Indonesia. Investor kelas kakap dari luar negeri pasti enggan berinvestasi di Indonesia yang sistem hukumnya seperti hukum rimba.

Investor dari Amerika Serikat (AS) pasti berpikir seribu kali berinvestasi di Indonesia, karena di AS dikenal adanya Foreign Corrupt Practice Act (FCPA) yang melarang warganya melakukan suap di negara mana pun. Kalau ada perusahaan asal AS melakukan suap di Indonesia, dia tetap akan dipidanakan. Sudah banyak cerita tentang keengganan perusahaan-perusahaan asal AS berinvestasi ataupun sekadar membuka kantor di Indonesia. Mereka maunya mengikuti aturan, tetapi tentu saja izin tidak bisa keluar. Izin bisa cepat keluar kalau mereka menyuap.

"Nah ini yang mereka takutkan. Mereka tidak mau dipidanakan karena telah menyuap aparat pemerintah di Indonesia," kata Uchok.

Ketidakpastian hukum itu menyebabkan investor yang masuk ke Indonesia adalah investor nakal. Mereka mau menikmati enaknya saja, tetapi jika diminta memenuhi kewajibannya, mereka tidak mau dan akhirnya kabur dari Indonesia. Contohnya di perusahaan tambang, mereka seenaknya mengeruk kekayaan alam Indonesia, giliran diminta membuat smelter, mereka tidak mau dan kabur.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, dalam kesempatan terpisah mengatakan negara sangat memungkinkan menagih sisa piutang ke obligor sesuai perjanjian yang ada sebelumnya.

Menurut dia, ada kekeliruan dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang menjadi dasar dikeluarkannya SKL bagi debitur, sehingga lalai melunasi kewajibannya. "Kerugian negara itu bukan hanya secara materil, tetapi juga mencederai keadilan terhadap rakyat karena para obligor masih hidup dengan bergelimang harta, sedangkan masyarakat yang terdampak hidupnya susah," tutupnya. n uyo/ola/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Djati Waluyo, Yolanda Permata Putri Syahtanjung

Komentar

Komentar
()

Top