Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sektor Pertanian | Investasi untuk Penguatan Daya Saing Justru Gerus Akses Petani ke Pertanian

Kemandirian Pangan Setengah Hati

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Cita-cita kemandirian pangan akan sulit terwujud karena kekacauan tata niaga impor pangan dan agenda pembangunan infrastruktur yang selama ini belum berdampak terhadap pada peningkatan produksi sektor pertanian.

Jakarta - Pemerintah diminta membenahi kekacauan tata niaga impor pangan nasional, terutama terkait dengan tata produksi, distribusi, serta konsumsi termasuk juga permasalahan mengenai data pangan yang selama ini masih kerap disorot berbagai pihak.

"Temuan BPK pada 2018 menyebutkan bahwa ada sengkarut terkait dengan tata niaga impor pangan," kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, di Jakarta, Jumat (15/2).

Menurut Rachmi Hertanti, hasil pemeriksaan BPK menemukan sebanyak sembilan kesalahan, di mana permasalahan itu antara lain persetujuan impor tanpa pembahasan di rapat koordinasi antarkementerian, tidak kuat dalam menganalisis kebutuhan, hingga lemahnya pengawasan terhadap realisasi impor.

Selain itu, ujar dia, persoalan agenda pembangunan infrastruktur yang dipilih juga telah berdampak terhadap sektor pangan. Aktivitas investasi di Indonesia guna meningkatkan daya saing Indonesia dikatakan telah berkontribusi pula terhadap hilangnya akses petani terhadap sumber daya ekonominya.

"Bahkan, penguasaan lahan ke tangan korporasi pun meningkat yang kemudian berbanding terbalik dengan penguasaan lahan bagi petani," katanya.

Di sisi lain, menurut dia, juga terjadi penurunan jumlah penyerapan tenaga kerja sektor pertanian sebesar 3,52 juta orang. Pada 2016, angka tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian sebesar 39,22 juta orang, dibandingkan pada 2018 hanya sebesar 35,70 juta orang.

Dari segi pendapatan, lanjutnya, rata-rata upah di sektor pertanian masih memiliki nilai upah di bawah rata-rata upah nasional 2018, yakni sebesar 1,76 juta. Bahkan, data BPS juga menunjukkan bahwa petani lokal 88,27 persen adalah pekerja informal.

Seperti diketahui, Ombudsman Republik Indonesia mengeluarkan peringatan dini kepada pemerintah terhadap tata kelola implementasi kebijakan yang berkaitan dengan empat komoditas pangan yaitu beras, gula, garam, dan jagung.

Sebelumnya, Institute For Development of Economics and Finance (Indef) mencatat impor pangan, terutama beras, cenderung besar tiap tahun seiring meningkatnya kebutuhan di tengah penurunan produktivitas sektor pertanian akibat keterbatasan lahan dan jumlah petani.

Impor Meningkat

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Indef mengungkapkan impor beras pada 2018 sebanyak 2,25 juta ton. Catatan itu merupakan impor tertinggi kedua setelah 2011 yang mencapai 2,75 juta ton.

"Impor beras ini kecenderungannya terus meningkat. 2018 itu impor tertinggi kedua setelah 2011. Trennya terus menigkat dan akan terus terjadi mengingat konsumsi kita juga meningkat," kata peneliti Indef, Rusli Abdullah, di Jakarta, Kamis (14/2).

Baca Juga :
Penurunan Kinerja

Rusli menyebutkan sejak 2000, Indonesia memang kerap melakukan impor beras. Meski demikian, besarnya berfluktuasi berdasarkan kebutuhan mulai dari 200 ribu ton hingga hampir 3 juta ton.

Meski impor disebutnya tak bisa dihindari, Rusli mengatakan data yang valid diharapkan akan membuat kebijakan soal beras bisa lebih baik. Menurut dia, impor bisa dikurangi jika tata kelola di produsen (petani) diperbaiki termasuk dengan mengurangi rantai tata niaga pangan. mad/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top