Koran-jakarta.com || Kamis, 07 Des 2017, 00:01 WIB

Kemampuan Fiskal untuk Sejahterakan Rakyat Kian Minim

JAKARTA - Kebergantungan APBN terhadap utang dinilai semakin kuat, antara lain terlihat dari penarikan utang lebih awal atau prefunding untuk membiayai belanja rutin di awal 2018, termasuk untuk membayar utang. Hal ini juga mengindikasikan ruang fiskal bakal semakin ketat akibat beban pembayaran kewajiban utang yang semakin besar.

Kemampuan Fiskal untuk Sejahterakan Rakyat Kian Minim

Ket.

Doc: KORAN JAKARTA/ONES Kemampuan Fiskal untuk Sejahterakan Rakyat Kian Minim

Bahkan, pada 2018-2019 diperkirakan ada kewajiban pembayaran utang jatuh tempo mencapai sekitar 800 triliun rupiah. Menanggapi hal itu, Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, menyatakan dampak paling berbahaya dari terus-menerus mengandalkan utang dan kegagalan memperbaiki fiskal secara keseluruhan adalah kemampuan APBN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran rakyat akan makin tergerus.

"Indonesia makin rentan oleh gejolak. Fiskal tidak memiliki kemampuan untuk buffer situasi krisis, tekanan rupiah, maupun pelemahan ekonomi global lebih lanjut. Indonesia bisa bangkrut kalau terus-terusan andalkan utang," tegas dia, ketika dihubungi, Rabu (6/12). Terkait dengan kebijakang prefunding, Dani menilai APBN tersandera oleh kewajiban kontraktual, khususnya pembayaran utang yang sudah terjadwal dan pemerintah tidak punya daya tawar sama sekali.

"Jika untuk dana pengembangan ekonomi kerakyatan atau energi terbarukan bisa ditunda maka kontrak pembayaran utang ini tidak bisa ditunda." Di samping itu, lanjut dia, setiap tahun APBN sulit sekali menghindar dari jebakan utang baru karena ada alokasi beban utang yang semakin lama semakin besar.

Di tahun 2017 saja, anggaran untuk bayar bunga utang lebih dari 220 triliun rupiah. Artinya, tahun depan lebih besar lagi dan itu makin mempersempit ruang fiskal. "Kecuali, kita mau mendorong upaya-upaya luar biasa. Penjadwalan kembali utang, atau banyak pilihan yang sebenarnya bisa ditempuh.

Ruang fiskal kita di awal tahun makin lama makin ketat karena beban utang. Itu yang harus kita sadari bersama, bahkan untuk makan tiga bulan tanpa utang dulu saja tidak bisa," tukas Dani. Sebelumnya, ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai kebijakan prefunding untuk pembiayaan APBN 2018 berdampak kurang bagus bagi perekonomian secara makro.

Selain mempertegas Indonesia makin terjebak perangkap utang dan seretnya penerimaan negara, prefunding melalui penerbitan obligasi global senilai empat miliar dollar AS (sekitar 54 triliun rupiah) itu bakal menimbulkan crowding out effect dan isu kredibilitas anggaran serta kenaikan beban utang yang signifikan.

Sementara itu, pemerintah menjelaskan prefunding untuk kebutuhan di awal tahun, dengan mempertimbangkan kondisi realisasi penerimaan dan belanja negara 2017. Pemerintah juga memiliki pengeluaran rutin di awal tahun, seperti pembayaran gaji untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan transfer ke daerah, subsidi, serta pembayaran utang. Di sisi lain, penerimaan pajak di awal tahun masih rendah.


Dana Domestik


Menyinggung kebergantungan Indonesia pada utang, Managing Director dan Chief Credit Officer Asia Pasific Moody's Investor Service, Michael Taylor, mengatakan sejak lembaganya memberikan peringkat investment grade, Indonesia telah melakukan banyak kemajuan. Namun, beberapa hal perlu dilakukan agar outlook positif yang diberikan Moody's bisa bertahan di masa depan.

"Indonesia masih sangat bergantung pada dana pinjaman dari luar negeri. Jika kami bisa melihat ada progres dari pinjaman domestik akan lebih baik untuk Indonesia ke depannya," ujar Taylor, di Jakarta, Rabu. Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi utang luar negeri Indonesia (pemerintah dan swasta) per September 2017 tercatat sebesar 343,13 miliar dollar AS atau sekitar 4.632 triliun rupiah.

Koordinator Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan pasar global akan terus memberikan utang karena saat ini ukuran risiko utang global hanya mempertimbangkan rating utang. Akan tetapi, hal itu sebenarnya tidak menunjukkan kapasitas berkelanjutan sebuah negara untuk membayar utangnya.


YK/SB/WP

Tim Redaksi:
S
Selocahyo Basoeki Utomo S
Penulis

Like, Comment, or Share:

Tulisan Lainnya dari Selocahyo Basoeki Utomo S

Artikel Terkait