Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ketersediaan Pangan I Perkiraan Mentan Impor Pangan 5 Juta Ton pada 2024 "Ngawur"

Kebutuhan Pangan 270 Juta Penduduk RI Jangan Andalkan Impor

Foto : ISTIMEWA

DWIJONO HADI DARWANTO Guru Besar Fakultas Pertanian UGM - Seharusnya pemerintah segera memperbaiki saluran irigasi dan subsidi pupuk sudah seharusnya langsung ke petani, bukan lagi ke pabrik pupuk.

A   A   A   Pengaturan Font

» Indonesia memiliki sumber daya dan potensi untuk menjadi negara produsen beras yang kuat.

» Selama ini, petani lebih banyak "mengalah" demi menjaga harga beras rendah.

JAKARTA - Pernyataan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI yang memperkirakan Indonesia bisa mengimpor hingga lima juta ton beras pada 2024 dinilai "ngawur" karena parameter perhitungannya tidak jelas.

Guru Besar Fakultas Pertanian dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, di Yogyakarta, Selasa (14/11), mengatakan bahwa impor sampai lima juta ton sulit diterima secara logika. "Impor lima juta ton, saya nggak tahu cara berhitungnya bagaimana, enggak ngerti," kata Dwijono.

Dia memperkirakan musim tanam padi sekarang mungkin memang tidak bisa di bulan Desember karena ketersediaan air masih terbatas. Dengan demikian, musim tanam padi akan mundur ke Januari 2024, sehingga musim panen besar yang biasanya di bulan Maret-April kemungkinan mundur hingga Mei, sehingga ada kelangkaan produksi sejak Desember hingga Maret atau sepanjang lima bulan.

"Apabila stok pemerintah yang ada di Bulog saat ini sisa 1,5 juta ton, diperkirakan hanya mencukupi untuk bansos dan operasi pasar (stabilisasi harga) hanya bertahan hingga awal Maret, sehingga ada kekurangan di April-Mei, tapi impornya kan tidak sampai 5 juta ton," jelas Dwijono.

Terlepas dari perhitungan itu, semestinya yang terpenting adalah bagaimana produksi sektor pertanian di Tanah Air meningkat dengan fokus pada pelaku usaha pertanian yakni petani.

"Bolak-baik dukungan pada pertanian seharusnya dikerjakan dengan sungguh-sungguh, jangan retorika saja," tandas Dwijono.

Pada intinya yang harus dipahami oleh semua pemimpin negara adalah, 270 juta perut penduduk Indonesia tidak akan bisa dipenuhi dengan mengandalkan impor. Tidak mungkin dengan beban perut sebanyak itu Indonesia mengandalkan negara lain.

Sangat penting bagi para pemimpin untuk berpihak pada petani dan berinvestasi dalam pertanian lokal. Hal itu tentu memerlukan dukungan terhadap penghidupan petani.

Situasi hari ini di mana impor beras begitu besar, harus menjadi panggilan bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk mengambil tindakan yang nyata dalam mendukung kemandirian pangan Indonesia.

Indonesia memiliki sumber daya dan potensi untuk menjadi negara produsen beras yang kuat. "Seharusnya pemerintah segera memperbaiki saluran irigasi dan subsidi pupuk sudah seharusnya langsung ke petani, bukan lagi ke pabrik pupuk. Ini jika ke depan masih berharap para petani mau meningkatkan produksi gabahnya," tandas Dwijono.

Belajar dari pengalaman selama ini, pemerintah seharusnya mengandalkan produksi dalam negeri, terutama mengurangi konversi lahan pertanian untuk kebutuhan nonpertanian.

Layani Kelompok Tertentu

Dalam kesempatan terpisah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan musim tanam pertama di beberapa wilayah memang mengalami kemunduran, tetapi pada wilayah yang pengairannya masih bisa produksi tetap menanam. Pernyataan Mentan itu, katanya, bisa juga dilihat sebagai upaya menguji publik, apakah ada yang keberatan atau bisa jadi juga itu semacam prakondisi jika kemudian itu diambil sebagai kebijakan.

Said juga mempertanyakan tren kenaikan impor pangan selalu terjadi menjelang tahun politik. "Hal itu tentu saja memunculkan anggapan bahwa importasi jadi jalan menyiapkan perbekalan pemilu. Apalagi, margin keuntungan impor sangat menjanjikan," kata Said.

Impor, katanya, jangan dilakukan hanya untuk melayani kepentingan kelompok yang memanfaatkan kondisi saat ini. Petani bagaimanapun akan terdampak dari kebijakan impor.

Saat ini, bagi petani yang masih bisa berproduksi merupakan masa yang sangat baik karena harga gabah sangat baik walau harga beras jadi tinggi.

"Guyuran impor selama ini berujung pada tertekannya harga gabah di petani. Pemerintah harus mampu menyeimbangkan kepentingan petani dan konsumen. Selama ini, petani lebih banyak "mengalah" demi menjaga harga beras rendah," ungkapnya.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan yang dibutuhkan masyarakat ialah langkah antisipasi kebijakan pemerintah bagi petani. "Ada El Nino atau tidak, pemerintah hampir setiap tahun juga impor beras meski dengan volume yang fluktuatif. Jangan sampai situasi seperti saat ini dijadikan alasan untuk memperbesar kuota impor," tegas Badiul.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top