Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kebocoran Data "Facebook"

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Amalia Sustikarini

Beberapa pekan ini bangsa dikejutkan berita tentang Cambridge Analytica, sebuah perusahaan konsultan asal Inggris yang bergerak di bidang pengolahan data untuk keperluan marketing produk dan politik. Perusahaan ini memakai data pengguna Facebook secara ilegal untuk keperluan kampanye Donald Trump pada Pemilihan Presiden AS tahun 2016. Skandal ini membuat Facebook menuai kecaman terhadap sistem pengelolaan data pelanggan dan menyebabkan harga sahamnya turun.

Pemilik Facebook, Mark Zuckerberg, harus memenuhi panggilan Kongres AS untuk hearing berkaitan dengan kasus penggunaan data secara ilegal tersebut. Belakangan diketahui, Cambridge Analytica juga dipergunakan untuk kepentingan politik di negara-negara lain. Di Inggris, sebuah perusahaan bernama AIQ yang memiliki hubungan dengan SCL, induk perusahaan Cambridge Analytica, memberikan data untuk kelompok Pro Leave Brexit, yang menyebabkan Inggris memisahkan diri dari EU. Perusahaan ini juga terlibat secara aktif dalam kampanye presiden di Kenya dan Nigeria menggunakan konten-konten yang berkaitan dengan politik identitas dan islamophobia.

Cambridge Analytica melakukan psychographics dengan data yang didapatkan dari Facebook. Apabila data demografi seperti jenis kelamin, kelas, pendidikan atau pekerjaan adalah bersifat informational, maka psychographics bersifat behavioural atau terkait dengan kepribadian. Data psychographic didapatkan dari likes yang diberikan kepada postingan di sosial media tersebut atau dari quiz tentang personality yang biasanya dilakukan pihak ketiga (third party apps) di Facebook.

Jejak digital berupa likes atau laman yang sering dikunjungi akan memberikan informasi tentang kepribadian kita. Psychographics itu lalu digabungkan dengan data demografi yang akan menghasilkan data secara lengkap. Data tersebut dipergunakan untuk keperluan material kampanye politik yang disampaikan melalui berbagai platform, termasuk media sosial.

Penggunaan data, terutama yang besar, untuk keperluan kampanye politik bukanlah barang baru. Namun kasus Cambridge Analytica ini membuka mata pembaca tentang tahap baru keterkaitan demokrasi elektoral, penggunaan teknologi informasi (TI), identitas, dan kepribadian manusia.

Demokrasi elektoral yang berwujud dalam pemilu adalah sebuah elemen utama liberal democratic peace yang disebarkan ke dunia setelah Perang Dunia II. Saat itu, negara-negara pemenang perang percaya bahwa sesama negara demokrasi tidak akan berperang atau setidaknya menahan diri untuk tidak saling berkonflik. Hal ini penting apabila dunia ingin terhindar dari perang besar berikutnya. Ide liberal democratic peace ini berwujud dalam pelaksanaan pemilu, jaminan terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat, penghormatan terhadap hak asasi manusia, pengarusutamaan gender, dan pelaksanaan supremasi hukum.

Dalam praktiknya, pemilu menjadi indikator yang paling diutamakan dalam pelaksanaan liberal democratic peace, tanpa diikuti elemen lainnya. Padahal sifat kontestasi demokrasi tidak selamanya tepat diterapkan di semua negara. Beberapa ahli, seperti Jack Snyder dan Roland Paris memperingatkan destabilizing impact yang dapat ditimbulkan dari pelaksaan demokrasi elektoral di negara-negara yang memiliki keberagaman tinggi dalam ikatan suku, etnisitas atau agama.

Ikatan primordial seperti agama, etnis, dan suku sangat kuat serta mengikat. Umumnya diikuti dengan kepatuhan absolut terhadap pemimpin. Jenis ikatan seperti ini rentan mengalami konflik saat menjalani proses kompetisi secara fair. Kekhawatiran ini terbukti saat banyak terjadi konflik dengan kekerasan dalam pemilu terutama di negara-negara Afrika dan Asia. Kandidat yang kalah pada umumnya tidak mau menerima hasil dan mengerahkan pendukungnya protes yang tak jarang memakan korban jiwa.

Belum Ada

Sampai saat ini, belum ada informasi resmi bahwa ada pihak yang berkompetisi dalam pemilu terdahulu di Indonesia yang menggunakan jasa Cambridge Analytica. Namun, Indonesia menempati urutan ketiga setelah AS dan Filipina dari jumlah pengguna Facebook yang datanya mengalami kebocoran. Hal ini menyebabkan tingginya kemungkinan penyalahgunaan data. Menghadapi tahun politik 2018-2019 kita harus lebih berhati-hati. Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna media sosial terbesar dan dengan tingkat keberagaman identitas tinggi. Ini sangat rawan dimanipulasi dengan strategi yang digunakan oleh perusahaan penyedia jasa konsultan politik.

Langkah jaringan firma konsultan ini di AS, Inggris, Kenya, dan Nigeria adalah mengombinasikan antara data demografi, psychographics dan isu-isu tertentu seperti migrasi, pengaruh asing, pengangguran atau tingkat kriminalitas. Dengan bantuan media sosial, isu-isu ini akan secara masif dihembuskan kepada masyarakat.

Proses ini akan membuat sekelompok individu dengan dasar kepribadian tertutup dan mudah curiga akan bereaksi sangat keras dengan isu-isu tentang dampak buruk imigran serta kelompok dengan identitas berbeda. Sistem algoritma yang dikembangkan media sosial juga menyebabkan terjadi echo chamber dan confirmation bias yang menyebabkan kita cenderung mengambil informasi sesuai dengan keyakinan. Akibatnya, semua pihak menjadi mengeras dengan sikap dan pendapatnya, tanpa mau mendengar kelompok lain.

Hal ini apabila diamati menjadi lazim dalam dunia maya. Bagaimana seseorang yang berpendidikan tinggi menjadi sangat emosional, menggunakan bahasa kurang santun, mengesampingkan logika, dan menutup pintu diskusi yang konstruktif saat membahas topik berkaitan dengan identitas dan politik di internet. Kita juga telah menyaksikan masyarakat dapat terpolariasi sangat tajam di salah satu pilkada dengan isu agama dan etnis.

Teknologi mampu mendalami aspek kerentanan psikologis terhadap pihak yang berbeda untuk dapat dimanipulasi demi kepentingan politis. Perkembangan teknologi tidak dapat dihentikan dalam era akselerasi dan disrupsi ini. Namun, kita dapat membuat batasan dan regulasi agar TI tidak menjadi elemen destruktif bagi pembangunan perabadan, khususnya dalam politik dan pemerintahan.

Penulis Dosen Binus Lulusan University of Canterbury, New Zealand

Komentar

Komentar
()

Top