Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kebijakan Sisi Supply dan Demand Harus Diperkuat di Sektor Kelapa Sawit

Foto : Koran Jakarta/Fredrikus Wolgabring Sabini

Focus Group Discussion Sawit Berkelanjutan Vol 13 bertajuk “Minyak Sawit: Sumber Pangan Dan Bioenergi Berkelanjutan” digelar di Jakarta, Kamis (13/4).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah didorong untuk memperkuat kebijakan sisi suplai dan demand di sektor perkelapasawitan nasional. Tujuannya agar bisa menjadi penentu harga sawit global. Saat ini harga minyak sawit terdongkrak karena berkurangnya pasokan minyak nabati dari minyak biji matahari global akibat perang.

Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko) Khadikin mengatakan, saat ini Indonesia masih menjadi episentrum negara produsen dan konsumen minyak sawit dunia, menjadi tumpuan dalam dinamika pembentukan harga CPO Dunia karena mempunyai magnitude dalam sisi supply dan demand.

Sementara kondisi aktual pasar minyak nabati dunia menunjukkan kerawanan tinggi dan sensitif terhadap perubahan lingkungan strategis. Ia mencontohkan, saat mulai invasi Rusia ke Ukraina April 2022 lalu, harga CPO internasional meningkat RM 1.000 per metrik ton (MT) dalam kurun waktu tiga hari.

"Hal ini disebabkan negara Ukraina merupakan produsen utama minyak biji bunga matahari (sunflower oil), yang menjadi barang kompetitor CPO asal negara tropis, utamanya Indonesia dan Malaysia," katanya dalam acara FGD Sawit Berkelanjutan Vol 13 bertajuk "Minyak Sawit: Sumber Pangan Dan Bioenergi Berkelanjutan" di Jakarta, Kamis (13/4)

Demikian juga pada periode awal 2023, pasokan minyak nabati kompetitor CPO dunia sudah mulai membaik, maka harga CPO global yang diharapkan terdongkrak pada awal tahun lantaran masuk musim dingin di negara sub tropis, serta adanya hari besar keagamaan, ternyata tidak menunjukan kenaikan signifikan.

"Hal ini perlu disikapi dengan memperkuat kebijakan sisi supply dan sisi demand pada level nasional, supaya dinamika harga tidak berpengaruh terhadap penerimaan penjualan Tandan Buah Segar (TBS) Sawit Petani (smallholder)," tutur Khadikin.

Sebab itu, Khadikin mengungkapkan, saat ini pemerintah sedang mendorong supaya Indonesia menjadi penentu harga CPO di dunia, terlebih Indonesia telah menjadi produsen utama minyak sawit global, dengan membentuk bursa komoditas.

Kepala Divisi Pengembangan Biodiesel Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Nugroho Adi Wibowo menuturkan, penyaluran Dana yang dilaksanakan BPDPKS berdasarkan kebijakan dan kewenangan yang ditetapkan Kementerian/Lembaga. Keberhasilan penyaluran termasuk dampaknya, sangat tergantung dari desain dan implementasi program tersebut.

"Untuk insentif biodiesel/B30 merupakan kebijakan dan kewenangan Kementerian ESDM. Desain pelaksanaan serta panduan pelaksanaan program ditetapkan oleh Kementerian ESDM sesuai Permen ESDM Nomor No.24 Tahun 2021," katanya.

Lebih lanjut, tutur Nugroho, pemberian insentif biodiesel semenjak 2015 hingga Maret 2023 telah mencapai Rp144,7 triliun. Dimana pemberian insentif tertinggi terjadi pada 2021 yang mencapai Rp51 triliun, dan di 2022 turun menjadi Rp34,5 triliun. "Namun yang perlu diketahui kontribusi pajak dari biodiesel yang dibayarkan melalui Ppn yang dibayarkan mencapai Rp13,15 trilliun," katanya.

Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) Dwi Sutoro mengungkapkan, permasalahan dasar atau fundamental minyak goreng yang sering terjadi di Indonesia adalah bukan dalam hal supply dan kapasitas produksi, namun dalam masalah harga dan Distribusi. "Terutama jika harga CPO sebagai bahan baku mengalami kenaikan," kata Dwi Sutoro.

Sebab itu, papar dia, regulasi terkait ketersedian minyak goreng sawit disarankan untuk difokuskan pada volume yang terkait industri minyak goreng sawit. Lantas kebijakan minyak goreng, harus menjawab permasalahan terkait harga dan distribusi serta mekanismenya.

Pelaksanaan Kebijakan saat ini, kata Dwi, masih memunculkan risiko dari kontinuitas ketersediaan migor bersubsidi, lantaran harga CPO yang semakin tinggi akan menyebabkan bertambah besarnya subsidi (hilangnya margin) terutama dari produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan industri CPO.

Sementara harga Olein Internasional yang tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga CPO domestik menyebabkan tidak adanya kompensasi terhadap hilangnya margin pengusaha migor. Ini berbanding terbalik dengan harga Olein Domestik yang justru lebih menguntungkan menyebabkan insentif yang berupa izin ekspor tidak lagi menarik sehingga produsen memilih tidak memproduksi migor bersubsidi.

Lantas untuk skema distribusi saat ini masih didominasi swasta dan afiliasi dari produsen migor swasta dan menggunakan jalur distribusi normal.

"Sebab itu ke depan sebaiknya Distributor diambil alih oleh perusahaan/badan usaha negara dan menggunakan jalur distribusi khusus migor bersubsidi," usul Dwi.

Bagaimana peran PTPN? Kata Dwi, pihaknya saat ini sedang membangun kapasitas serta kapabilitas perusahaan dalam meningkatkan peran dan keterlibatan negara. Caranya, pertama, meningkatkan kapasitas produksi minyak goreng, PTPN saat ini sedang menyiapkan kapasitas industri minyak goreng sebagai bagian dari proyek strategis nasional dengan kapasitas 3 juta ton/tahun. Kedua, menyiapkan pilot project minyak makan merah dengan kapasitas 10 ton per hari.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top