Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Pendidikan Nasional -- Ukuran Mutu Pendidikan Harus Standar Nasional

Kebijakan Pendidikan Jangan Bedakan Sekolah Negeri dan Swasta

Foto : koran jakarta/Muhamad Ma’rup

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, berharap kebijakan pendidikan nasional ke depannya jangan membedakan antara sekolah negeri dan swasta. Dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyertakan bahwa penyelenggara pendidikan adalah pemerintah dan masyarakat.

"Kebijakan pendidikan ke depan tidak harus membedakan antara negeri dengan swasta," ujar Mu'ti, dalam Seminar Pendidikan CSIS Indonesia, di Jakarta, Selasa (23/5).

Mu'ti mengatakan, saat ini kebijakan pendidikan cenderung negeri sentris. Hal tersebut berdasarkan beberapa hal seperti guru-guru di sekolah swasta ditarik ke sekolah negeri atas nama Undang-undang serta bantuan pemerintah semua ke sekolah negeri. "Jadi harus dibedakan negeri dengan negara," jelasnya.

Mu'ti mengungkapkan, dirinya tidak sepakat jika ukuran mutu pendidikan adalah sekolah negeri. Menurutnya, ukuran standar nasional pendidikan harus dipenuhi baik negeri maupun swasta.

Dia menambahkan, banyak sekolah swasta yang lebih baik dari sekolah negeri. Di sisi lain, banyak sekolah swasta didirikan karena sekolah negeri tidak ada. "Jadi bukan sekolah negeri tidak diterima terus ke sekolah swasta, tidak juga. Sekolah negeri kita tidak hebat-hebat amat," katanya.

Karakter Swasta

Pengamat pendidikan dari Taman Siswa, Ki Darmaningtyas, menjabarkan setiap sekolah swasta memiliki karakter berbeda. Karakter pertama merupakan sekolah swasta generasi pertama yang lahir sebelum kemerdekaan.

"Mereka berdiri sebelum merdeka dan berkontribusi untuk mencerdaskan warga yang melahirkan tokoh-tokoh kemerdekaan. Termasuk mengisi kemerdekaan di masa-masa awal," terangnya.

Sekolah swasta generasi kedua lahir pascakemerdekaan pada tahun 1990-an sebab pemerintah belum mendirikan sekolah negeri. Generasi ketiga lahir pada akhir masa orde baru dan pasca reformasi dengan basis kapital untuk mendapat tenaga kerja.

Darmaningtyas menilai, pengambil kebijakan salah memandang sekolah swasta dengan curiga hanya untuk bisnis dan cari keuntungan saja. Menurutnya pandangan tersebut keliru sebab biasanya hanya terjadi pada sekolah swasta generasi ketiga.

"Generasi pertama dan kedua ada sekolah-sekolah mahal, mereka mensubsidi sekolah-sekolah miskin. Jadi Muhammadiyah unggul mensubsidi sekolah miskin, tidak untuk akumulasi kapital. Generasi pertama masih murni pada jalan pendidikannya dulu, generasi kedua juga sama," tandasnya.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Muhamad Ma'rup

Komentar

Komentar
()

Top