Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 28 Jul 2021, 00:02 WIB

Kebijakan Energi yang Gamang dan Pengelolaan Sumber Daya Air

Pemerhati lingkungan, penggagas dan penggerak Gerakan Irigasi Bersih (GIB) Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Foto: ISTIMEWA

Tidak biasanya saya tertarik membahas satu hal di luar bidang yang saya pelajari dan tekuni selama ini. Harian Koran Jakarta (KJ) dalam tiga hari berturut, tanggal 21, 22, dan 23 Juli menyajikan satu topik bahasan tentang penggunaan batu bara sebagai salah satu sumber daya untuk Pembangkit Tenaga Listrik Uap (PLTU) dan ketimpangan kebijakan energi baru terbarukan (EBT). Berita-berita itu menyeruak di antara berita-berita menyesakkan tentang pandemi Covid-19 yang tak juga kunjung berhenti. Selain itu, berita-berita tersebut juga menyiratkan betapa banyaknya persoalan bangsa ini agar tetap dapat bertahan sebagai satu bangsa terhormat dalam pergaulan antarbangsa di dunia.

Dari publikasi Global Alliance on Health and Pollution (GAHP) disebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara selain Jepang, Tiongkok, India, dan Vietnam yang dianggap menghindari upaya penurunan pemanasan global (Koran Jakarta, 22 Juli 2021). Selain itu juga mengatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat kelima dari 10 negara dengan kematian prematur karena polusi (GAHP, 2021). Total kematian penduduk karena polusi pada tahun 2019 sebanyak 232.974, yaitu 123.753 orang karena polusi udara, 60.040 karena polusi air, dan sisanya disebabkan polusi lainnya. Penggunaan batu bara sebagai sumber energi PLTU seolah bertentangan dengan sambutan Presiden Jokowi pada Partnering for Green Growth and Global Goals 2030 Summit, bulan Mei, yang mengatakan bahwa Indonesia sedang membangun sebuah industri hijau terbesar di Kalimantan Utara.

Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017 menyebutkan bahwa pasokan energi primer di Indonesia terutama masih pada bahan bakar fosil, seperti minyak, gas, dan batu bara. Kebijakan energi nasional menetapkan proporsi sumber energi pada tahun 2025, yaitu minyak (20 persen), gas (30 persen), batu bara (33 persen), dan energi baru terbarukan (17 persen).

Peningkatan konsumsi batu bara sangat signifikan sebagai energi pembangkit listrik, yakni 56 juta ton pada 2006, dan diperkirakan menjadi 123,2 ton pada 2025. Indonesia mempunyai sumber daya batu bara sebesar 149,009 miliar ton dan cadangan sebesar 37.604 miliar ton (Ayudhia, FT-UGM, 2020).

Melihat potensi yang begitu tinggi, tidak berlebihan apabila batu bara kemudian menjadi salah satu sumber devisa utama Indonesia. Demikian pula untuk pembangunan di daerah, kontribusi pendapatan dari mineral dan batu bara sebesar 2,7 triliun rupiah, tumbuh 37,9 persen yoy.

Sementara itu, sumbangan dari nonminerba senilai 200 miliar rupiah pada APBN 2021 (Kontan, Kamis, 25 Februari 2021). Angka-angka tersebut tentu sangat berarti bagi negara yang sedang dalam kesulitan ekonomi, terutama diakibatkan oleh pandemi Covid-19 yang belum berakhir.

Penggunaan batu bara secara berlebihan akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan, ditambah dengan kepadatan penggunaan kendaraan bermotor. Jakarta misalnya, merupakan satu kota yang terburuk mutu udaranya di dunia.

Dampak negatif lainnya penggunaan batu bara sebagai sumber energi bagi PLTU adalah sisa pembakaran batu bara atau abu batu bara fly ash dan bottom ash (FABA yang dianggap sebaga bahan limbah B3). Namun dalam Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lampiran XIX PP No 22 Tahun 2021 tersebut, FABA telah dicabut sebagai limbah B3.

Kebijakan pemerintah tersebut telah menuai kritik dari banyak pihak, termasuk aktivis lingkungan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu alasan yang dipakai mengapa FABA dikeluarkan sebagai bahan limbah B3 adalah karena FABA dapat dipakai sebagai bahan membuat semen pozzolan meskipun sebenarnya masih dalam tahap penelitian (Ayudhia, FT-UGM, 2020).

Kritik para aktivis dan anggota DPR itu menyebutkan bahwa pemerintah hanya peduli pada nilai ekonomi dan abai terhadap lingkungan.

Setiap orang yang belajar ilmu lingkungan dan keberlanjutan tentu mengetahui bahwa pembangunan berkelanjutan akan dapat dikatakan berlanjut (sustainable) apabila memenuhi tiga persyaratan mendasar, yaitu: (i) berlanjut secara ekosistem, (ii) berlanjut secara ekonomi, dan (iii) berlanjut secara sosial budaya.

Ketiga aspek keberlanjutan tersebut akan saling berkaitan dan bergerak secara harmonis. Selain penyebab kerusakan lingkungan pada saat pemanfaatan, penambangan batu bara apabila tidak dilakukan dengan benar akan dapat mengganggu ekosistem daerah penambangan.

Alih fungsi lahan yang demikian luas menyebabkan terjadinya perubahan bentang lahan, penurunan kesuburan tanah, penurunan mutu air, baik permukaan maupun air tanah sehingga akan berpengaruh terhadap berkurangnya atau spesies flora dan fauna endemik. Timbulnya berbagai macam penyakit bagi manusia, seperti ISPA, penyakit kulit, dan diare.

Bencana ikutan adalah ancaman kesiapan wilayah terhadap bencana hidroklimatologis yang semakin meningkat dengan adanya perubahan iklim, seperti terjadi tanggal 12-13 Januari yang lalu di Provinsi Kalimantan Selatan. Banjir besar telah terjadi dan menyebabkan 21 orang meninggal, 342.987 terdampak, dan 63.608 di antaranya mengungsi (Kompas.com, 21 Januari 2021).

Walhi juga mencatat bahwa salah satu sebab terjadinya banjir besar tersebut karena sangat masifnya alih fungsi lahan baik untuk perkebunan sawit, hutan industri, maupun tambang. Dalam kurun tiga tahun, dari 2009 sampai 2011, luas lahan untuk perkebunan sawit meningkat sebesar 14 persen dan meningkat sekitar 77 persen lima tahun berikutnya.

Sedangkan tambang bertambah 13 persen hanya dalam kurun waktu dua tahun. Meskipun pemerintah membantah bahwa penyebab banjir besar tersebut karena alih fungsi lahan secara masif sehingga berkurangnya luas hutan primer DAS Barito. Bantahan tersebut sebetulnya sangat mudah untuk dibuktikan benar tidaknya dengan menggunakan peta satelit yang sudah tersedia.

Secara faktual, setiap orang dapat melihat bahwa tata sungai di Kalimantan Selatan sudah berubah. Kota Banjarmasin yang dulu pada periode sebelum dekade 90- an dikenal sebagai Kota Seribu Sungai, sekarang tata sungai tersebut sudah berubah. Sebagian sudah hilang atau terjadi pendangkalan.

Sekarang, Banjarmasin sudah sama dengan kota lain di Indonesia yang juga mengalami kemacetan lalu-lintas di beberapa penggal jalan. Budaya masyarakat sungai sudah hilang berganti budaya masyarakat daratan.

Dari sudut sosial budaya, pengembangan alih fungsi lahan yang sangat luas juga berpengaruh terhadap budaya masyarakat lokal. Budaya hutan dengan segala kearifan lokal bersendikan bagi masyarakat Dayak di Kalimantan menjadi hilang.

Salah satu pengetahuan yang hilang atau paling tidak memudar adalah pengetahuan tentang ramuan obat-obatan tradisional yang selama ini telah menjaga keberlanjutan dan keberlangsungan hidup mereka.

Pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini hanya berbasis pembangunan ekonomi belaka. Hubungan garis imajiner antara Tuhan-Manusia-Alam yang selama ini diyakini oleh masyarakat adat justru dikaburkan sendiri oleh pemerintah. Akibatnya adalah terwujudnya manusia yang tidak hirau dan abai terhadap lingkungan ekosistem dan juga nilai-nilai kemanusiaan, termasuk religiositasnya.

Konsep pembangunan seperti itu perlu diubah menjadi pembangunan ekonomi hijau berbasis kemanusiaan. Ancaman kehidupan yang abai akan menyebabkan perubahan iklim yang mengancam kehidupan manusia, meskipun kita tinggal di wilayah tropis basah.

Redaktur: M. Selamet Susanto

Penulis: M. Selamet Susanto

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.