Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Keberimanan yang Otentik: Bahaya Politisasi Agama Pemecah Persatuan dan Penghancur Peradaban

Foto : istimewa

Antonius Benny Susetyo

A   A   A   Pengaturan Font

Oleh: Antonius Benny Susetyo

Pakar Komunikasi Politik

Dalam konteks masyarakat kontemporer yang semakin kompleks, keberimanan yang otentik seharusnya berfungsi sebagai pilar moral dan etika yang kokoh dalam kehidupan sehari-hari. Keberimanan yang otentik bukan sekadar penampilan eksternal atau simbolik, melainkan harus berakar dalam kesadaran mendalam dan penghayatan yang tulus terhadap nilai-nilai spiritual.

Ini merupakan bentuk integritas yang menuntut konsistensi antara keyakinan dan tindakan nyata. Namun, ironisnya, di tengah pusaran politik dan dinamika sosial saat ini, konsep keberimanan sering kali mengalami distorsi mendalam akibat politisasi agama.

Politisasi agama adalah fenomena di mana agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik. Hal ini sangat berbahaya karena menggeser fokus dari nilai-nilai spiritual dan moral agama menjadi sekadar alat untuk memperoleh kekuasaan. Ketika agama dijadikan sebagai instrumen politik, yang terjadi adalah pembelahan masyarakat berdasarkan afiliasi keagamaan yang sempit.

Perpecahan ini sering kali didorong oleh kepentingan elite politik dan agama yang mengutamakan kekuasaan di atas kepentingan umum. Pada dasarnya, politisasi agama menciptakan konflik di masyarakat. Ketika simbol-simbol agama digunakan untuk tujuan politik, agama kehilangan esensinya sebagai sumber nilai moral dan spiritual. Yang tersisa hanyalah aspek simbolik dan emosional yang mudah dipolitisasi dan dimanipulasi.

Politisasi agama yang merangkum pemanfaatan agama sebagai alat strategis dalam mencapai tujuan politik atau kekuasaan menyebabkan pergeseran mendasar dalam pemaknaan spiritualitas. Fenomena ini tidak hanya menggerogoti esensi ajaran agama itu sendiri, tetapi juga menimbulkan dampak destruktif pada struktur sosial. Akibatnya, perpecahan dalam masyarakat semakin tajam, dan harmoni serta persatuan sebagai elemen kunci dalam peradaban yang stabil dan maju mulai terancam.

Dalam kerangka ini, kita dihadapkan pada tantangan serius untuk merevitalisasi kembali makna keberimanan yang otentik dan mengembalikannya ke jalur yang murni, agar dapat berfungsi sebagai fondasi yang kuat untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, media massa memiliki peran penting dalam mencegah politisasi agama dengan tidak memberikan ruang bagi isu-isu agama yang dimanipulasi untuk kepentingan politik.

Media massa seharusnya menjadi tempat bagi pertarungan ide dan gagasan yang konstruktif, bukan menjadi sarana untuk merusak karakter personal dan memecah belah masyarakat. Media juga harus memiliki keberanian untuk tidak mengekspos isu-isu agama yang dimanipulasi untuk kepentingan politik. Literasi media sangat penting agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak benar dan provokatif.

Keberimanan yang otentik, di sisi lain, seharusnya menjadi inspirasi dalam tata kelola kehidupan. Orang yang benar-benar beriman akan menunjukkan sikap rendah hati dan tidak akan mengeksploitasi agama untuk tujuan pribadi atau kelompok. Keberimanan yang otentik terwujud dalam perbuatan nyata yang bermanfaat bagi sesama, bukan sekadar dalam simbol atau retorika yang kosong.

Di tengah maraknya politisasi agama, penting bagi kita untuk kembali kepada esensi keberimanan yang otentik. Keberimanan yang tulus dan otentik akan membawa kita pada sikap yang rendah hati, dan penuh kasih. Hal ini sangat kontras dengan sikap sebagian elite politik mengedepankan kekuasaan dan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum dengan politisasi agama.

Para elit politik yang tidak tahu diri sering kali agama dimanipulasi dan mengintervensi media untuk mencapai tujuan mereka. Mereka menggunakan uang dan kekuasaan untuk mencapai tujuan pribadinya, tanpa menyadari bahwa orientasi semata-mata pada kekuasaan dan uang telah mencabik-cabik bangsa ini. Bisa diibaratkan antara mereka, saling menerkam dan menyerang, serta menghilangkan rasa manusiawi.

Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk melihat kembali sejarah pahit yang telah dialami umat. Sejarah seharusnya menjadi cermin untuk memperbarui diri dan belajar dari kesalahan masa lalu. Namun, para elite politik dan agama yang terlanjur silau oleh kekuasaan dan uang sering kali melupakan mata hati mereka. Mata hati yang seharusnya menjadi panduan dalam mengambil keputusan moral.

Antara pasar dan agama kini telah bercampur menjadi satu, di mana agama dijadikan barang dagangan yang dikemas dengan baik dengan fokus memperhatikan penampilan. Agama kapital ini hanya menampilkan sisi luar yang menarik, tanpa memperhatikan esensi dan substansi agama itu sendiri. Roh agama yang seharusnya menjadi sumber ketenangan batin kini hanya menjadi sarana untuk melipur lara dan duka secara sesaat.

Dalam situasi ini, doa dan ritual agama sering kali hanya menjadi seremonial belaka. Doa yang panjang hanya menjadi rutinitas tanpa menyambung hidup yang konkret. Tuhan dibela mati-matian tanpa memperhatikan keyakinan orang lain, dan ironisnya Tuhan tidak lagi menjadi bagian dari tata nilai kehidupan yang sebenarnya.

Pendekatan multidisipliner sangat penting untuk menciptakan kontranarasi terhadap propaganda radikalisme dan terorisme. Integrasi antara kerukunan politis, yuridis, sosiologis, dan teologis bisa menjadi pilar kekuatan bangsa dalam menghadapi ancaman ideologi transnasional. Pendekatan kontranarasi yang baik tidak hanya menyentuh aspek sosial, tetapi juga melibatkan aspek ekonomi untuk membantu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal yang dimiliki Indonesia juga berperan penting dalam menjaga kerukunan dan perdamaian.

Pendekatan budaya dan simbolik perlu menjadi perhatian, karena budaya memiliki kekuatan dalam membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat. Namun, pemahaman agama yang tidak utuh dan manipulasi ajaran agama untuk kepentingan politik sering kali menjadi faktor dominan munculnya radikalisme dan terorisme.

Regulasi di Indonesia sebenarnya sudah cukup mendukung keberagaman suku, budaya, dan agama. Namun, penegakan hukum masih perlu diperkuat. Pemerintah perlu memasifkan sosialisasi peraturan-peraturan yang mendukung keberagaman agar masyarakat makin paham dan tidak main hakim sendiri. Langkah ini akan lebih efektif dalam menjangkau masyarakat luas dan meningkatkan pemahaman mereka tentang hak-hak konstitusional dan kebebasan beragama yang dijamin oleh undang-undang.

Pemerintah dan masyarakat memiliki peran penting dalam merawat dan menjaga kemajemukan bangsa agar Indonesia tidak mudah dipecah belah oleh perbedaan budaya atau agama. Dengan keberimanan yang otentik, kita dapat menghadapi tantangan politisasi agama dan menjaga persatuan serta keutuhan bangsa. Keberimanan yang otentik akan membawa kita pada kehidupan yang lebih harmonis, penuh kasih, dan saling menghormati di tengah keberagaman yang ada.

Dalam upaya mewujudkan keberimanan yang otentik, kita harus selalu introspeksi dan refleksi diri. Keberimanan bukan hanya tentang simbol-simbol keagamaan yang tampak dari luar, melainkan tentang nilai-nilai yang kita pegang teguh dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Keberimanan otentik terlihat dari bagaimana kita memperlakukan orang lain, bagaimana kita berkontribusi pada masyarakat, dan bagaimana kita menjaga keutuhan serta kerukunan di tengah perbedaan.

Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mempraktikkan keberimanan yang otentik. Ini bukan hanya tugas para pemimpin agama atau elite politik, tetapi tugas kita semua. Keberimanan yang otentik dimulai dari diri sendiri, dari bagaimana kita memahami dan menjalani ajaran agama dengan benar, dari bagaimana kita menunjukkan kasih dan rasa hormat kepada sesama. Peran keluarga dan pendidikan juga sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai keberimanan yang otentik.

Keluarga adalah tempat pertama di mana nilai-nilai ini diajarkan dan diterapkan. Pendidikan formal dan informal harus menjadi sarana untuk memperkuat nilai-nilai moral dan spiritual, serta untuk membekali generasi muda dengan pemahaman yang utuh tentang agama.

Sekolah dan lembaga pendidikan harus menjadi tempat di mana keberimanan yang otentik diajarkan dan dipraktikkan. Kurikulum pendidikan harus mencakup pengajaran nilai-nilai moral dan spiritual yang mendalam, serta mendorong siswa untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan juga harus mengajarkan toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, serta membekali siswa dengan keterampilan untuk berpikir kritis dan menganalisis informasi secara objektif.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mendukung keberimanan yang otentik. Komunitas harus menjadi tempat di mana nilai-nilai moral dan spiritual dihargai dan diterapkan. Kita harus menciptakan lingkungan yang mendukung praktik keberimanan yang otentik, di mana setiap individu merasa dihargai dan dihormati, dan di mana perbedaan dipandang sebagai kekayaan yang memperkaya kehidupan kita bersama.

Pemerintah juga harus berperan aktif dalam mendukung keberimanan yang otentik. Kebijakan publik harus mencerminkan nilai-nilai moral dan spiritual yang mendasar, dan pemerintah harus bekerja untuk menciptakan kondisi yang mendukung praktik keberimanan yang otentik. Ini termasuk penegakan hukum yang adil dan tidak memihak, serta sosialisasi dan pendidikan yang mendukung keberagaman dan toleransi.

Keberimanan yang otentik adalah landasan bagi kehidupan yang harmonis dan damai. Dengan keberimanan yang otentik, kita dapat menghadapi tantangan dan perbedaan dengan sikap yang positif dan konstruktif. Keberimanan yang otentik memungkinkan kita untuk hidup berdampingan dengan damai di tengah keberagaman, untuk saling menghormati dan menghargai, serta untuk bekerja sama dalam membangun masyarakat yang lebih baik.

Politisasi agama hanya akan membawa kita pada perpecahan dan konflik. Namun, dengan keberimanan yang otentik, kita dapat menjaga persatuan dan keutuhan bangsa, serta membangun peradaban yang lebih baik dan lebih adil. Keberimanan yang otentik adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang harmonis, damai, dan penuh kasih.

Marilah kita bersama-sama berkomitmen untuk mempraktikkan keberimanan yang otentik dalam kehidupan kita sehari-hari. Menolak politisasi agama dan menjaga esensi keberimanan yang sejati. Dengan demikian, kita dapat menjaga persatuan dan keutuhan bangsa, serta membangun peradaban yang lebih baik dan lebih adil bagi semua.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top