Novi Haryati, Wageningen University
UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di sektor pangan-pertanian atau agrifood memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi, terutama di negara agraris seperti Indonesia. Kontribusi mereka terhadap produk domestik bruto (PDB) terbilang signifikan. Mereka juga menjadi pilar ketahanan pangan nasional.
Menurut data Kementerian UMKM, sekitar 66 juta UMKM di Indonesia menyumbang lebih dari 60% PDB Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian memainkan peran besar dalam kontribusi ini. Pada triwulan ketiga 2023 misalnya, tercatat sektor ini memberikan kontribusi sebesar 13,57% terhadap PDB.
Potensi ini bisa dimaksimalkan dengan digitalisasi. Tapi sayangnya, saat ini baru sekitar 43% UMKM yang terhubung ke ekosistem digital dan memanfaatkan platform e-commerce.
Di tengah tantangan global dan perkembangan teknologi yang pesat, digitalisasi menjadi kunci bagi keberlanjutan UMKM agrifood. Secara global, digitalisasi terbukti mampu meningkatkan penjualan UMKM hingga 26%.
Di Indonesia, lembaga survei Center of Reform on Economics Indonesia (CORE Indonesia) menunjukkan sebanyak 70% pelaku UMKM yang tergabung dalam ekosistem digital mengalami kenaikan pendapatan rata-rata hingga 30%.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mempercepat kebijakan dan pengadopsian digitalisasi agar UMKM sektor agrifood bisa ‘naik kelas’ serta meningkatkan kontribusinya terhadap PDB dan ketahanan pangan nasional.
Adopsi teknologi digital di rantai pasok
Sejumlah negara telah mengadopsi teknologi digital seperti Internet of Things atau (IoT) dan kecerdasan buatan (AI) dalam rantai pasok di sektor pangan dan pertanian. Walhasil, efisiensi dan daya saing produk UMKM meningkat, pendapatan pun naik.
Di India, misalnya, Ninjacart dan e-Choupal adalah dua platform agritech yang sukses menghubungkan petani dengan pengecer dan memberikan akses yang lebih baik ke pasar dan informasi di India. e-Choupal secara khusus telah membantu lebih dari 4 juta petani mengakses pasar, informasi cuaca, dan teknologi agrikultur melalui kios internet. Proyek ini meningkatkan pendapatan petani hingga 20%.
Di Afrika, Twiga Foods menawarkan layanan logistik dan pendanaan kepada petani kecil, didukung oleh platform pembayaran digital seperti M-Pesa.
Platform digital seperti Google Trends dan alat analitik media sosial juga mulai dimanfaatkan untuk memetakan kebutuhan produk baru berdasarkan minat konsumen.
Adapun di Indonesia, sudah ada platform agritech seperti e-Fishery dan Sayurbox yang membantu petani lokal meningkatkan efisiensi dan pendapatan. Startup e-Fishery, misalnya, menyediakan perangkat IoT untuk otomatisasi pakan ikan yang dapat meningkatkan keuntungan petani sektor akuakultur sebesar 34,1% serta
menghemat biaya pakan dan meningkatkan hasil panen.
Sementara platform Sayur Box berhasil menghubungkan petani dengan konsumen atau pasar secara langsung, sehingga memotong rantai pasok dan meningkatkan pendapatan petani yang menjadi mitra hingga 10 kali lipat.
Tantangan digitalisasi UMKM
Meski potensinya besar, digitalisasi UMKM agrifood menghadapi berbagai hambatan:
-
Keterbatasan literasi digital: Banyak pelaku usaha belum memahami cara memanfaatkan teknologi digital untuk pemasaran, pengelolaan keuangan, atau operasional. Survei Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia (Kemenkop UKM) menunjukkan bahwa 40% UMKM di Indonesia menghadapi kendala adopsi teknologi, terutama karena kurangnya pelatihan. Literasi digital di daerah pedesaan juga masih di bawah rata-rata nasional.
-
Infrastruktur tidak merata: Akses internet yang terbatas di pedesaan menjadi penghalang utama. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat 12.548 desa belum memiliki akses internet stabil pada 2023. Proyek Palapa Ring dan perluasan jaringan 4G dirancang untuk mengurangi kesenjangan ini, tetapi realisasinya masih terseok-seok.
-
Kesulitan akses terhadap pembiayaan teknologi: Banyak pelaku UMKM kesulitan memperoleh modal untuk membeli perangkat (seperti ponsel pintar atau komputer) atau berlangganan layanan digital. Menurut laporan Bappenas, hanya 17% UMKM sektor agrifood yang memiliki akses ke pembiayaan formal. Pemerintah melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) telah memberikan bantuan, tetapi alokasinya untuk pembiayaan teknologi masih rendah.
Strategi keberlanjutan: Kolaborasi dan ekosistem digital
Melihat begitu banyak tantangan dalam pengembangan ekosistem digital, maka untuk memastikan strategi keberlanjutan UMKM, kita bisa merujuk Theory of Ecosystem yang dikembangkan oleh ahli strategi bisnis Michael G. Jacobides dan Theory of Access yang dikembangkan ilmuwan Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Peluso.
Theory of Ecosystem menjelaskan bahwa keberhasilan ekosistem digital tidak bisa bergantung pada satu pihak saja, melainkan pada kolaborasi antar pemangku kepentingan.
Sementara itu, Theory of Access menggarisbawahi bahwa akses bukan sekadar ketersediaan teknologi atau infrastruktur, tetapi juga mencakup kemampuan individu atau organisasi untuk memanfaatkannya secara efektif.
Untuk itu, dalam membentuk ekosistem ekonomi digital, diperlukan strategi berbasis kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keuangan. Pemerintah harus memperluas infrastruktur digital hingga ke pedesaan, menyediakan regulasi yang mendukung, serta memperbanyak program literasi digital.
Adapun sektor swasta, dapat menawarkan teknologi yang relevan dan mudah diakses, sementara lembaga keuangan memberikan akses pembiayaan yang lebih luas untuk mendukung UMKM.
Di era teknologi ini, digitalisasi bukan lagi pilihan, melainkan sebuah kebutuhan esensial bagi UMKM. Digitalisasi adalah peluang besar bagi UMKM agrifood untuk memastikan keberlanjutan dan meningkatkan kontribusinya terhadap ekonomi nasional dan ketahanan pangan. Namun, sekali lagi, keberhasilan ini hanya dapat dicapai melalui kerja sama semua pihak.
Novi Haryati, PhD Candidate in Marketing and Consumer Behavior, Wageningen School of Social Sciences, Wageningen University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.