Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kesehatan Masyarakat I BPOM Kaji Kandungan Etilen Oksida pada Mi Instan

Keamanan Pangan dan Obat Anak Mengkhawatirkan

Foto : ANTARA/JOJON

OBAT SIRUP DILARANG DIJUAL I Petugas mengumpulkan berbagai jenis merek obat sirup yang dilarang dijual untuk sementara waktu di salah satu apotek, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (20/10). Kementerian Kesehatan menginstruksikan seluruh apotek di Indonesia untuk menyetop sementara semua penjualan obat bebas dalam bentuk sediaan cair atau sirup kepada masyarakat dan diminta nakes untuk tidak meresepkan obat-obatan sirup kecuali obat sirup kering sampai adanya pengumuman resmi dari pemerintah.

A   A   A   Pengaturan Font

» Mi instan produk Indonesia dilarang di Hong Kong, dan Singapura, kenapa di Indonesia diperbolehkan.

» Konsumsi mi instan dapat menyebabkan penyakit degeneratif misalnya diabetes melitus dan tekanan darah tinggi.

JAKARTA - Pemerintah diminta bertindak lebih tegas dalam menangani peredaran obat dan makanan yang berpotensi menyebabkan kasus gagal ginjal akut pada anak. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri sudah mendeteksi kandungan tiga zat kimia berbahaya dalam tubuh balita yang menjadi pasien gagal ginjal akut progresif atipikal.

Ketiga senyawa berbahaya itu antara lain adalah etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butil ether (EGBE). "Kemenkes sudah meneliti bahwa pasien Bali yang terkena AKI (accute kidney injury) terdeteksi memiliki tiga zat kimia berbahaya, EG, DEG, dan EGBE," kata Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (20/10).

Temuan sejumlah zat berbahaya tersebut, jelas Menkes, memang berasal dari jenis obat sirup atau sediaan cair yang dikonsumsi pasien balita yang mengakibatkan pasien tersebut mengalami gagal ginjal akut. Obat tersebut merupakan obat-obatan yang diambil langsung Kemenkes dari rumah pasien.

Tidak kurang 100 balita di berbgai daerah meninggal dunia diduga karena menderita gagal ginjal.

Pakar Pangan dan Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, yang diminta pendapatnya mengatakan kasus gagal ginjal akut pada anak menjadi alarm bagi semua stakeholder di Tanah Air bahwa tak hanya obat, namun keamanan pangan untuk anak juga harus ditingkatkan lagi karena sudah mengkhawatirkan.

Selain obat, makanan yang dikonsumsi balita juga bisa memicu kasus gagal ginjal. Apalagi di Indonesia, balita banyak yang mengonsumsi mi instan yang seharusnya tidak boleh. "Mi instan dilarang di Hong Kong, di Singapura, kok di Indonesia aman-aman saja? Seharusnya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang langsung bergerak," kata Dwijono.

Di luar negeri, jelasnya, aturan soal pangan sangat ketat. Khusus untuk mi instan jelas bukan makanan balita. Di Indonesia, balita apalagi remaja malah jadi penggemar utama mi instan. Generasi yang semestinya jadi tumpuan masa depan jadi pengonsumsi utama mi instan yang semua ahli gizi mengatakan bahwa konsumsinya harus dibatasi.

"Ini tak hanya BPOM yang harus bergerak. Badan Pangan Nasional juga musti memiliki perhatian khusus untuk menyiapkan pangan bergizi dengan harga terjaungkau bagi masyarakat," tandas Dwijono.

Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang, yang dikonfirmasi Koran Jakarta, Kamis (20/10), mengatakan pihaknya sedang berproses melakukan kajian kebijakan mengenai etilen oksida (EtO) dan senyawa turunannya pada mi instan. Hal itu dilakukan menyusul adanya penarikan produk mie instan di Hong Kong dan beberapa negara lain.

"Kami melakukan sampling dan pengujian untuk mengetahui tingkat kandungan senyawa tersebut pada produk dan tingkat paparannya," kata Rita.

Dia menerangkan EtO merupakan pestisida yang digunakan untuk fumigasi. Residu pestisida tersebut ditemukan pada mi kering, bubuk cabai, dan bumbu dari produk mi instan. Terkait penarikan produk mi instan di luar negeri, menurutnya hal tersebut karena tidak sesuai aturan di negara tersebut.

Isu Baru

Menurut Rita, temuan residu EtO dan senyawa turunannya (2-Chloro Ethanol/2-CE) dalam pangan merupakan emerging issue (isu baru) yang dimulai dengan notifikasi oleh European Union Rapid Alert System for Food and Feed (EURASFF) pada tahun 2020.

"BPOM juga terus memantau perkembangan terbaru terkait peraturan dan standar keamanan pangan internasional," tambahnya.

Dia mengatakan produk mi instan yang ditarik di Hong Kong berbeda dengan produk bermerek sama yang beredar di Indonesia. Produk yang beredar di Indonesia memenuhi persyaratan yang ada.

"BPOM secara terus-menerus melakukan monitoring dan pengawasan pre dan postmarket terhadap sarana dan produk yang beredar untuk perlindungan terhadap kesehatan masyarakat dan menjamin produk yang terdaftar di BPOM dan beredar di Indonesia aman dikonsumsi," tandasnya.

Dampak Buruk

Sementara itu, Ahli Gizi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Tri Kurniawati, mengatakan kandungan gizi yang terdapat dalam mi instan belum memiliki kandungan gizi seimbang yang baik untuk tubuh. Konsumsi mi instan yang berlebihan dapat memberikan dampak yang tidak baik pada kesehatan, terutama pada anak.

"Sering kali kita menemukan mi instan dijadikan solusi untuk mengatasi anak-anak yang sulit makan. Padahal jika pemberian mi instan dibiasakan terhadap anak-anak, mereka akan merasa ketagihan," jelasnya.

Dia menyebut MSG yang terkandung dalam natrium yang terdapat pada mi instan dan dikonsumsi secara berlebih akan berbahaya. Kandungan tersebut membuat anak terbiasa mengonsumsi makanan dengan rasa gurih yang berlebihan. "Akibatnya, anak tidak suka mengonsumsi makanan yang dimasak di rumah, terutama sayuran yang dibutuhkan oleh tubuh," katanya.

Konsumsi mi instan juga dapat mengakibatkan obesitas. Tri menuturkan, mi mengandung karbohidrat sederhana, lemak, dan natrium tinggi sehingga jika dikonsumsi secara terus-menurus akan mengakibatkan kenaikan kadar gula darah dan kenaikan darah.

Selain itu, mi instan yang belebih dapat menyebakan munculnya penyakit degeneratif, misalnya diabetes melitus dan tekanan darah tinggi. Anak yang mengonsumsi mi instan sedari kecil, dan tidak menerima edukasi untuk mengubah kebiasaan tersebut, akan terbawa sampai dewasa. "Pola makan yang kelebihan karbohidrat dalam jangka waktu lama akan memicu penyakit diabetes melitus dan juga obesitas," terangnya.

Ahli gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya, Trias Mahmudiono, mengatakan masyarakat agar bijak dalam mengonsumsi mi instan mengingat produk tersebut memiliki kandungan natrium yang tinggi.

Dalam mengonsumsi apa pun termasuk mi instan, masyarakat harus menjaga pola makan yang seimbang, tidak berlebihan. Mengingat mi instan memiliki kadar natrium yang tinggi. "Meskipun masih dalam batas yang diizinkan, kalau terlalu sering dan berlebihan, dapat terjadi akumulasi yang berpotensi memberatkan kerja ginjal. Karena ginjal ini fungsinya menyaring segala sesuatu dari makanan dan minuman yang dikonsumsi untuk kemudian dibuang bersama urine," kata Trias.

Jadi, konsumsi tidak boleh berlebihan, karena dampaknya akan terasa jika menjadi akumulasi, terutama pada kelompok rentan seperti orang tua. Maka itu, penting menjaga gaya hidup dan gizi yang seimbang.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Muhamad Ma'rup, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top