Kapal Pukat Hela Dasar Miliki Risiko Karbon yang Tinggi
Para pemerhati lingkungan telah lama menentang penggunaan kapal pukat hela dasar, yaitu praktik penangkapan ikan yang menjelajahi dasar laut untuk mencari ikan darat dan krustasea.
Foto: ISTIMEWANEW YORK - Para ilmuwan baru-baru ini untuk pertama kalinya menghitung emisi rumah kaca yang disebabkan oleh teknik penangkapan ikan destruktif yang dikenal menggunakan kapal pukat hela dasar (bottom trawl), dan mengatakan proses penangkapannya memiliki risiko karbon yang tinggi.
Dikutip dari The Straits Times, kapal-kapal bottom trawl menggunakan jaring berbobot besar yang panjangnya mencapai 800 meter untuk mengambil udang, kepiting, halibut, dan ikan lain dari dasar laut.
Para ilmuwan dan pemerhati lingkungan telah lama menentang penggunaan kapal jenis ini karena dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem dasar laut seperti terumbu karang, dan secara tidak sengaja membunuh penyu, hiu, serta spesies laut lain yang tidak menjadi sasaran penangkapan ikan.
Menurut sebuah makalah yang diterbitkan pada Kamis (18/1) di jurnal Frontiers in Marine Science, cara ini juga menimbulkan dampak iklim. Para peneliti menghitung gangguan penangkapan CO2 di sedimen dasar laut oleh kapal pukat hela dasar mengakibatkan 370 juta ton gas rumah kaca dilepaskan ke atmosfer setiap tahunnya. Angka tersebut dua kali lipat lebih besar dari emisi CO2 yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil oleh industri perikanan global.
Para penulis makalah ini memperkirakan setiap CO2 yang dilepaskan yang tersisa di lautan akan mengasamkan perairan di sekitarnya, yang dapat melarutkan cangkang kepiting, remis, bulu babi, dan makanan laut lainnya yang menjadi andalan manusia.
"Ini adalah kawasan tertutup, khususnya seperti Mediterania, di mana kita dapat melihat bahwa CO2 dapat menciptakan pengasaman lokal yang bisa sangat besar," kata Trisha Atwood, penulis utama studi tersebut dan profesor ilmu daerah aliran sungai di Utah State University.
Amati Laut Dalam
Dia mencatat penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengukur dampak lokal dari pengasaman seiring dengan pemodelan yang dilakukan para peneliti yang mengamati lautan dalam skala global.
Studi Frontiers bukanlah studi pertama yang menghubungkan kapal pukat dan CO2, sebuah makalah tahun 2021 di jurnal Nature, yang menganalisis pengukuran CO2 di area yang menggunakan pukat, untuk pertama kalinya menetapkan sedimen yang terganggu telah melepaskan gas yang menyebabkan pemanasan global ke laut.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Catat! Ini Daftar Lengkap Harga BBM Pertamina yang Resmi Naik per 1 Januari 2025
- 2 Usut Tuntas, Kejati DKI Berhasil Selamatkan Uang Negara Rp317 Miliar pada 2024
- 3 Kalah di Beberapa Daerah pada Pilkada 2024, Golkar Akan Evaluasi Kinerja Partai
- 4 Antisipasi Penyimpangan, Kemenag dan KPAI Perkuat Kerja Sama Pencegahan Kekerasan Seksual
- 5 Seekor gajah di Taman Nasional Tesso Nilo Riau mati
Berita Terkini
- 37 Tahun Berdiri, Restoran Indonesia di Hong Kong Bisa Renovasi dari Diaspora Loan BNI
- Film ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’ Menginspirasi Penonton untuk Berbagi Cerita
- Jelang Pelantikan, Trump akan Dijatuhi Hukuman atas Kasus Uang Tutup Mulut
- Penumpang Nataru di Bandara Soetta Tembus 2 Juta
- Khofifah: Hari Braille Sedunia Momen Tingkatkan Hak Sisabilitas Netra