
Kalau Mau Investor Masuk, Tegakkan Dulu Aturan Hukum
Suasana di Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB), Kabupaten Batang, Jawa Tengah, yang masih lengang beberapa waktu lalu. Jika Indonesia ingin menarik investor dan memperbaiki kondisi perekonomian, pemerintah harus segera memperkuat kepastian hukum
Foto: ANTARA/Harviyan Perdana PutraJAKARTA - Selain memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, Indonesia juga harus menciptakan pertumbuhan yang berkualitas sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan per kapita para pekerja. Kondisi seperti itu hanyaakan bisa dicapai jika Indonesia lebih memacu investasi dan ekspor, bukan terus bertumpu pada konsumsi domestik sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Doktor Ekonomi lulusan dari Universitas Tanjung Pura (Untan) Pontianak, Kalimantan Barat, Sabinus Beni yang diminta pendapatnya mengatakan syarat utama untuk menyedot investasi dari luar adalah penegakan hukum yang kuat. Tanpa penegakan hukum, sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara lain menarik investasi.
Menurut Sabianus, Indonesia harus meniru Singapura yang memberi kenyamanan kepada investor dengan menjamin kepastian hukum. Investor yang masuk ke Singapura bahkan banyak dari negara maju. Begitu juga banyak pengusaha Indonesia lebih memilih menanamkan modalnya di Singapura ketimbang di Indonesia.
“Chandra Asri misalnya mengakuisisi kilang Shell sekitar 500 juta dollar AS.Kemudian Salim Group membangun pembangkit listrik hidrogen senilai 720 juta dollar AS,” kata Sabianus.
Sementara Pemerintah RI malah tidak punya cukup anggaran untuk belanja dan investasi modal. Saat ini, Pemerintah jelasnya tidak punya cukup anggaran untuk investasi modal dan bahkan kesulitan menyediakan program seperti makan gratis bagi masyarakat.
“Hal itu karena negara terus-menerus harus mencicil utang. Utang yang jatuh tempo sekarang, bahkan tidak bisa ditutup dengan anggaran yang ada, sehingga harus berutang lagi,” kata Sabianus.
Kondisi itu akibat korupsi yang sudah mencapai titik kritis, jika tidak segera dibenahi, maka Pemerintah semakin terjebak dalam siklus utang yang tidak berkesudahan.
Selain kepastian hukum dan utang, akar masalah perekonomian lainnya kata Sabianus adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada konsumsi domestik, bukan dari sektor produktif yang berkelanjutan.
“Kita sering membesar-besarkan angka pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP) hanya agar rasio utang terhadap GDP terlihat baik dan demi mendapatkan utang baru. Ini sangat ironis dan menyedihkan,” jelas Sabianus.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas seharusnya berasal dari swasembada pangan dan pembangunan industri yang mampu menggantikan kebutuhan impor.
Ia mencontohkan kebijakan Amerika Serikat (AS) yang membangun industri dalam negerinya dengan mengenakan tarif 25 persen untuk impor baja dan aluminium. Jepang bahkan mau membeli tetapi tidak diizinkan, tetapi untuk meningkatkan daya saingnya mereka menaikkan tarif impor. Pada akhirnya, industri mereka tidak hanya kuat di dalam negeri, tetapi lebih bagus secara keseluruhan.
Berani Subsidi Ekspor
Secara terpisah, Direktur Pusat Studi Islam dan Politik (PSID) Jakarta, Nazar el Mahfudzi mengatakan Indonesia harus siap menghadapi persaingan perdagangan dunia memang tidak adil dan tidak setara.
Selain melindungi pasar domestik mereka dari serbuan barang-barang impor, mereka juga berani mensubsidi industri ekspornya. Tiongkok malah mensubsidi industri otomotifnya yang diekspor seperti ke Indonesia sehingga harga jualnya murah. Kalau penetrasi pasarnya sudah kuat dan bisa diterima konsumen dan saingan semakin berkurang, bahkan mati, baru mereka menaikkan harga jual karena sudah menguasai pasar. Begitu juga dengan pangan yang mereka ekspor diberi subsidi hingga 30 persen.
“Indonesia jangan melindungi pasar dalam negerinya, tetapi juga membebani dengan kebijakan pajak siluman yang memberatkan, sehingga produk nasional kena pukulan dua kali karena produksi dalam negeri biaya ekonominya tinggi,” kata Nazar.
Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas kuncinya adalah melindungi industri dan pangan dalam negeri dengan mengenakan tarif ke barang impor. Jangan seperti sekarang bukan dilindungi tetapi malah dibuat susah. Makanya BUMN saja sulit bersaing, apalagi swasta.
Untuk keluar dari situasi tersebut, Nazar menekankan pentingnya kebijakan proteksi industri dan reformasi struktural. Australia saja sudah mau mengirim listruk tenaga Matahari ke Singapura, pasti nanti akan menyasar pasar Indonesia juga. “Kalau kita terlena, masak RI juga nanti mengimpor listrik Matahari dari Australia,” katanya.
Menurut Nazar, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah kunci untuk keluar dari kemiskinan. Namun, hal ini hanya bisa tercapai jika pemerintah mulai melakukan reformasi serius dalam sektor ekonomi, industri, dan kebijakan fiskal, termasuk berani melakukan moratorium utang dan fokus ke teknologi.
Elon Musk saja bahkan mengatakan bahwa negara sekelas Amerika Serikat (AS) sekalipun bisa bangkrut jika tidak efisien dalam pengelolaan anggarannya.
“Saat ini, utang jatuh tempo terus dibayar dengan utang baru. Satu-satunya cara untuk memberi ruang bernapas bagi perekonomian adalah dengan melakukan moratorium pembayaran bunga utang,” tegasnya.
Peradaban Baru
Terlepas dari semua masalah ekonomi tersebut, dunia terus bergerak memasuki era transisi peradaban berbasis teknologi cerdas. Jika Indonesia tidak segera mengejar ketertinggalan, maka hanya akan menjadi pengguna teknologi tanpa memiliki kapasitas untuk menciptakan sendiri.
“Kita harus segera membenahi akar masalah: utang berlebihan, ketergantungan impor, dan ekspor yang hanya berbasis komoditas. Kalau kita tidak segera berbenah, kita akan selamanya tertinggal,” kata Nazar.
Pemerintahan Prabowo-Gibran pun jelas Nazar sangat diharapkan karena memiliki kesempatan besar untuk membawa perubahan nyata di Indonesia. Dengan fokus pada pengembangan sektor STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dari negara maju.
“Kita harus segera bergerak dari sekadar menjadi pengguna teknologi menjadi pencipta. Akar masalahnya adalah korupsi yang menggerogoti perekonomian kita. Jika ini tidak dibereskan, kita akan terus tertinggal. Tapi ini bukan hal yang mustahil, buktinya Tiongkok bisa mendekati negara maju dengan kebijakan yang tepat,” pungkasnya.
Indonesia berada pada titik kritis dalam kebijakan ekonominya. Jika ingin menarik investor dan memperbaiki kondisi perekonomian, pemerintah harus segera memperkuat kepastian hukum, mengurangi ketergantungan pada utang, melindungi industri dalam negeri, dan berinvestasi dalam teknologi.
“Hal utama yang harus dilakukan adalah memberi makan dulu pada rakyat, baru membangun industri yang kompetitif,” pungkasnya.
Berita Trending
- 1 Cegah Tawuran dan Perang Sarung, Satpol PP Surabaya Gencarkan Patroli di Bulan Ramadan
- 2 AWS Dorong Inovasi Melalui Pendidikan Berbasis STEAM
- 3 Persija Jakarta Kini Fokus Laga Lawan PSM Makassar
- 4 Penemuan Fosil Purba di Tiongkok Mengubah Sejarah Evolusi Burung
- 5 Harimau Memangsa Hewan Ternak Warga Mukomuko Bengkulu