Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Keuangan Negara I Pemerintah Bentuk Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI

Jokowi Dipuji, Presiden Pertama yang Tegas Laksanakan Hak Tagih Negara

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Satgas yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 itu akan bertugas memburu aset piutang negara BLBI yang diterima oleh beberapa obligor.

Kepastian pembentukan Satgas itu disampaikan Menteri Koordiantor bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, dalam cuitannya di Twitter.

Dia menyebutkan, lima menteri, Kapolri, dan Jaksa Agung dilibatkan sebagai pengarah yang mendampingi dan mengarahkan Satgas melakukan penagihan dan pemrosesan semua jaminan agar segera menjadi aset negara.

Mahfud menyatakan Satgas tersebut bakal bertugas memburu aset dari piutang BLBI, terutama yang berkaitan dengan masalah perdata senilai 108 triliun rupiah.

"Kini, pemerintah akan menagih dan memburu aset-aset BLBI, yang jumlahnya lebih dari 108 triliun rupiah," kata Mahfud.

BLBI sendiri merupakan skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia (BI) kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema itu dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis.

Pada Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar 147,7 triliun rupiah kepada 48 bank.

Kemudian dalam rangka pemulihan ekonomi juga, pemerintah melakukan program rekapitalisasi perbankan berupa penyertaan obligasi rekap kepada bank-bank yang memenuhi persyaratan. Pihak bank menerima obligasi rekap senilai aset kredit macet sebagai ganti atas aset macet bank yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Aset-aset kredit macet itu dihargai 100 persen oleh pemerintah. BPPN kemudian menjual aset itu dan hanya laku senilai 25 persen. Tiap tahun bank menerima pembayaran kupon dari pemerintah yang diharapkan akan meningkatkan pendapatan bank dalam bentuk dana segar.

Skenario terburuk, jika pemerintah telat menunda pembayaran, bunganya akan membengkak luar biasa sehingga jumlah kewajiban yang harus dibayar mencapai 14.000 triliun rupiah. Tentu saja ini sangat merugikan negara.

Contoh gamblang kerugian negara dari BCA. Ketika bank itu dijual kepada swasta seharga 5 triliun rupiah, bank tersebut justru mempunyai tagihan sebesar 60 triliun rupiah kepada pemerintah. Oleh BCA, obligasi pemerintah sebesar 60 triliun rupiah itu, dilipatgandakan dengan cara membeli aset BPPN dengan harga terlalu murah. Bila harga aset-aset di BPPN itu seharga 70 persen, maka BCA hanya membelinya dengan harga 20 persennya saja. Ini jelas memungkinkan terjadinya kerugian pemerintah keduakalinya terhadap BCA ini.

Sementara itu, dalam konferensi persnya di Jakarta, Jumat (9/4), Wakil Ketua Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, mengatakan akan tetap membantu pemerintah meskipun tidak dilibatkan dalam Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.

"KPK, berdasarkan UU 30/2020 juncto 19/2019, memang tugasnya adalah untuk melakukan penegakan hukum, mulai penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sementara yang memiliki wewenang untuk melaksanakan hak tagih secara keperdataan secara hukum itu memang wilayahnya pemerintah, dalam hal ini jaksa pengacara negara," kata Ghufron.

Dia memastikan KPK memiliki data-data terkait kasus BLBI, sehingga siap mendukung Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI. "Walaupun KPK tidak termasuk dalam Keppres penanganan hak tagih tersebut, tetapi KPK selama masih memiliki data-data, baik kasusnya Syafruddin Arsyad Temenggung, Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim, dan mungkin juga siapa pun yang disidik KPK. Kalaupun datanya kami miliki tapi belum naik, seperti SN dan IN, tentu kami akan support kepada pihak-pihak yang dalam Keppres ini ditunjuk melakukan penagihan, misalnya ke jaksa pengacara negara maupun Polri dan lain-lain yang tercantum dalam penanganan hak tagih BLBI," kata Ghufron.

"KPK akan men-support apa-apa yang telah KPK peroleh dalam proses penyelidikan maupun penyidikan yang sampai saat ini tersimpan rapi. Itu yang kami lakukan," tambahnya.

Apresiasi Presiden

Peneliti dari Sekretaris Nasional (Seknas) Fitrah, Badiul Hadi menyatakan Jokowi patut dipuji sebagai presiden pertama yang tegas melaksanakan hak tagih negara. Upaya penagihan tersebut diharapkan bisa meringankan beban keuangan negara.

Pakar Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Rizal Edy Halim, juga mengapresiasi langkah Presiden Jokowi membentuk Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.

Menurut Rizal, pembentukan Satgas pemburu aset BLBI merupakan upaya pemerintah menyelamatkan aset negara. "Aset-aset ini tentunya akan banyak memberi sinyal positif di pasar terkait komitmen pemerintah dalam mengelola aset aset negara," tegas Rizal kepada Koran Jakarta, Jumat (9/4).

Jika aset-aset itu bisa dikembalikan, akan memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekaligus menegaskan komitmen politik pemerintah kepada masyarakat. "Ini sangat baik sebagai sinyal keseriusan pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan masa lalu," kata Rizal.

Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas, mengatakan pembentukan satgas patut diapresiasi. Namun, yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana satgas tersebut nanti mampu menjalankan tugas.

"Tentu niat pemerintah ini baik, tetapi sebagai Satgas yang diharapkan hasilnya, harus transparan, agar tidak ada prasangka dari masyarakat mengapa kasus ini seolah begitu lama didiamkan saja, maka harus ada penjelasan dari pemerintah apa kendala yang dihadapi sebelumnya," kata Gitadi.

Selain itu, Satgas juga harus menunjukkan kinerjanya agar bukan dianggap pencitraan semata. Mulai dengan mengumumkan target dan waktu agar masyarakat yakin," katanya.

Dalam kesempatan lain, Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti, juga mengapresiasi langkah pemerintah yang berusaha menagih piutang BLBI.

Esther, yang juga Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, mengatakan kalau piutang itu terbayarkan semua, maka sudah pasti akan meringankan beban APBN untuk pemulihan ekonomi.

Menurut Esther, kalau belanja negara pada 2020 lalu sebesar 2.540,4 triliun rupiah dan pendapatan negara menurun, maka defisit harus ditutup dengan utang hampir seribu triliun rupiah termasuk untuk dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). "Kalau BLBI terbayarkan semua bisa berkontribusi sepertiga dari penerimaan negara bukan pajak," katanya.

Dia mengakui upaya penagihan itu tidak mudah karena sudah bertahun-tahun pembayaran BLBI tertunda, sehingga perlu upaya ekstra agar mereka membayar BLBI yang telah digunakan. n ers/SB/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top