Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pasar Keuangan - Antisipasi Kenaikan Bunga The Fed, Investor Buru Dollar AS

Jelang Libur Panjang, Rupiah dan IHSG Melemah

Foto : Sumber: Bloomberg, BI – Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

>>Peluang kenaikan bunga acuan The Fed pada bulan ini semakin besar.

>>BI: Libur Lebaran ini jangan kira Dewan Gubernur tidurnya nyenyak.

JAKARTA - Pada hari terakhir perdagangan, sebelum libur panjang Lebaran 2018, nilai tukar rupiah maupun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah.

Di pasar spot, Jumat (8/6), kurs rupiah diakhiri 57 poin (0,41 persen) lebih rendah dibandingkan penutupan hari sebelumnya menjadi 13.932 rupiah per dollar AS.

Di antara mata uang Asia, depresiasi rupiah sebesar itu merupakan yang terdalam kedua setelah peso Filipina yang tergerus 0,53 persen. Sepanjang tahun ini, mata uang RI itu masih terkikis sebesar 2,78 persen.

Sedangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG pada perdagangan akhir pekan ini kembali terperosok di bawah level 6.000, setelah kehilangan 113 poin (1,85 persen) menjadi 5.993,63.

IHSG terkoreksi paling tajam dibandingkan pasar saham Asia lainnya. Pelaku pasar mengatakan mengantisipasi libur panjang Lebaran, pemodal mengamankan dana dengan melepas portofolio investasi dalam rupiah dan beralih ke dollar AS atau berinvestasi di pasar lain.

Pasar uang dan saham Indonesia dibuka lagi 20 Juni 2018 Analis pasar uang Bank Mandiri, Rully Arya Wisnubroto, mengemukakan tekanan depresiasi terhadap rupiah kali ini lebih banyak didominasi faktor domestik, yakni tingginya permintaan dollar AS.

Sedangkan faktor global seperti pertemuan puncak kelompok negara G7 di Ottawa, Kanada, pada 8-9 Juni 2018 tidak terlalu berpengaruh.

"Belum banyak faktor global sepertinya," ujar Rully, di Jakarta, Jumat. Depresiasi rupiah kemarin beriringan dengan tekanan terhadap mata uang Asia lainnya.

Investor global memburu dollar AS untuk mengantisipasi pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 12-13 Juni mendatang.

Bank Sentral AS (The Fed) kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuan menjadi 1,75-2,00 persen. Menurut CME Fedwatch, peluang kenaikan 25 basis poin (bps) tersebut mencapai 93,8 persen.

Kenaikan bunga acuan The Fed membuat investasi dalam dollar AS lebih menguntungkan sehingga pemodal agresif memburu mata uang AS tersebut.

Sedangkan ekonom Indef, Bhima Yudhistira, menilai koreksi terhadap IHSG dan rupiah disebabkan investor melakukan aksi ambil untung. "Salah satu faktornya, investor melakukan profit taking menjelang libur panjang Lebaran," jelas dia.

Selain itu, imbuh dia, pemodal juga bereaksi negatif terhadap pengumuman cadangan devisa Indonesia Mei 2018 yang terkikis dua miliar dollar AS menjadi 122,9 miliar dollar AS.

Dengan demikian, sejak Januari-Mei 2018, cadangan devisa telah terkuras sembilan miliar dollar AS terutama untuk stabilisasi rupiah.

Menurut Bhima, hal ini menjawab asumsi bahwa bukan hanya kenaikan bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang berpotensi stabilkan kurs rupiah, tapi juga konsistensi BI untuk intervensi dengan menggunakan cadangan devisa.

Penurunan cadangan devisa mengindikasikan kemampuan bank sentral untuk intervensi rupiah makin berkurang.

Dia juga memperkirakan suku bunga acuan BI akan dinaikkan lagi, paling tidak 0,25 persen, jika The Fed menaikkan bunga acuan.

"Pada momen ini biasanya rupiah bergejolak. Bisa jadi bunga acuan BI naik lagi 25 bps," tukas Bhima.

Terus Dipantau

Sementara itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengungkapkan saat ini BI telah melakukan sejumlah penghitungan atas ekspektasi yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan.

Contohnya, rencana kenaikan bunga acuan Bank Sentral AS atau Fed Fund Rate (FFR) pada pertengahan bulan ini.

"BI melakukan langkah pre-emptive, front loading, dan ahead the curve. Sekarang sampai akhir tahun akan kami pantau. Libur Lebaran ini jangan kira Dewan Gubernur tidurnya nyenyak.

Kami akan pantau terus kondisi ekonomi," ujar Perry. Dia menjelaskan pemantauan dan penghitungan juga dilakukan untuk perkiraan pasar atas kenaikan FFR pada September 2018.

"Untuk ekspektasi kenaikan pada September meskipun probabilitasnya 56 persen sudah kami pertimbangkan.

Bahkan, premi risiko sudah kami perhatikan dalam merumuskan kebijakan," imbuh dia. Perry mengungkapkan langkah BI untuk terus memantau kondisi ekonomi global bertujuan untuk meminimalisir dampak terhadap stabilitas.

Oleh karena itu, kebijakan ekonomi AS yang berdampak global juga tetap perlu direspons agar tidak terkena dampak negatifnya. ahm/Ant/WP

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top