Nasional Luar Negeri Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona Genvoice Kupas Splash Wisata Perspektif Edisi Weekend Foto Video Infografis
Temuan Arkeologi

Jejak Kota-kota Hilang di Jalur Sutra Ditemukan

Foto : M. Frachetti/Washington University
A   A   A   Pengaturan Font

Para arkeolog berhasil menemukan dua kota kembar di Jalur Sutra, sebuah rute perdagangan kuno pada abad pertengahan. Kota ini berada di sebuah dataran tinggi dengan lanskap yang suram, yang kemungkinan menjadi alasan ditinggalkan.

Sebelum jalur laut ditemukan, rute perdagangan dari Barat dan Timur dilakukan melalui jalur darat yang disebut dengan Jalur Sutra (Silk Road). Jalur perdagangan darat internasional kuno ini yang berasal dari peradaban Tiongkok yang menghubungkan antara Barat dan Timur.

Jalur Sutra bukan hanya berperan penting dalam dalam perdagangan antara dunia Timur dan Barat. Lebih dari itu jalur ini membuka pertukaran budaya, seperti seni, agama filsafat, teknologi, bahasa, sains, dan arsitektur, yang penting bagi kemajuan peradaban.

Jejak Jalur Sutra ini baru-baru ini telah ditemukan oleh para arkeolog. Mereka menemukan kota abad pertengahan yang telah dihuni oleh penduduk pada ribuan tahun lalu. Kota ini tersembunyi di pegunungan yang menjulang tinggi di Asia tengah yang berada di rute perdagangan tersebut.

Sebuah tim pertama kali menemukan salah satu kota yang hilang pada tahun 2011 saat mendaki pegunungan berumput di Uzbekistan timur untuk mencari sejarah yang tak terungkap. Para arkeolog berjalan di sepanjang dasar sungai dan menemukan situs pemakaman di sepanjang jalan menuju puncak salah satu gunung.

Awalnya gundukan-gundukan itu tidak tampak istimewa, namun ternyata tanahnya dipenuhi dengan ribuan pecahan tembikar yang memberi mereka tanda bahwa dahulu kala tempat ini pernah menjadi tempat tinggal masyarakat.

"Sebagai arkeolog, kami mengenalinya sebagai tempat antropogenik, sebagai tempat tinggal orang," kata Farhod Maksudov dari Pusat Arkeologi Nasional Akademi Ilmu Pengetahuan Uzbekistan. "Kami benar-benar tercengang atas penemuan ini," kata Michael Frachetti, seorang arkeolog di Universitas Washington di St Louis, dikutip dari Scientific American.

Maksudov dan Frachetti awalnya tengah mencari bukti arkeologis tentang budaya nomaden yang menggembalakan ternak mereka di padang rumput pegunungan. Sebelumnya para peneliti tidak pernah menyangka akan menemukan kota abad pertengahan seluas 30 hektare di iklim yang relatif tidak bersahabat, pada ketinggian sekitar 7.000 kaki atau 2.133,6 meter di atas permukaan laut.

Namun, situs ini, yang kemudian disebut Tashbulak, sesuai dengan nama daerah tersebut saat ini, hanyalah permulaan. Saat melakukan penggalian pada tahun 2015, Frachetti bertemu dengan salah satu dari sedikit penduduk di wilayah tersebut yang bertugas sebagai inspektur kehutanan yang tinggal bersama keluarganya beberapa mil dari Tashbulak.

"Ia berkata, 'Di halaman belakang rumah saya, saya pernah melihat keramik seperti itu'," ucap Frachetti. Jadi, para arkeolog pergi ke lahan pertanian inspektur kehutanan tersebut, di mana mereka menemukan bahwa rumahnya berada di atas gundukan tanah yang tampak familiar.

"Benar saja, ternyata ia tinggal di benteng abad pertengahan," kata Frachetti.

Dari sana, para peneliti mengamati lanskap dan melihat lebih banyak gundukan tanah. "Dan kami takjub karena tempat ini ternyata sangat besar," ucap Frachetti.

Situs kedua ini, bernama Tugunbulak, dideskripsikan untuk pertama kalinya dalam sebuah studi yang diterbitkan pada tanggal 23 Oktober di Nature. Para peneliti menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh untuk memetakan apa yang mereka gambarkan sebagai kota abad pertengahan yang luasnya hampir 300 hektare.

Jaraknya sejauh tiga mil dari Tashbulak, yang terintegrasi ke dalam jaringan rute perdagangan yang dikenal sebagai Jalur Sutra.

"Ini adalah penemuan yang sangat luar biasa," kata Zachary Silvia, seorang arkeolog di Universitas Brown, yang meneliti periode sejarah dan budaya Asia tengah ini.

Silvia tidak terlibat dalam karya baru tersebut, tetapi ia menulis komentar tentangnya yang diterbitkan dalam edisi Nature yang sama.

"Meskipun penggalian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi cakupan dan kepadatan Tugunbulak, ternyata ukurannya setengah dari yang diperkirakan dan hal itu tetap merupakan penemuan besar," tegas dia.

Pemikiran Ulang

Penemuan ini dapat memaksa pemikiran ulang tentang seberapa luas jaringan Jalur Sutra. Peta menunjukkan representasi konvensional Jalur Sutra melalui Asia dan menandai lokasi Tugunbulak dan Tashbulak di pegunungan Uzbekistan tenggara.

Pada peta konvensional Jalur Sutra, rute perdagangan yang membentang di benua Eurasia cenderung atau sebisa mungkin menghindari pegunungan di Asia tengah karena para pedagang lebih memilih kota-kota dataran rendah seperti Samarkand dan Tashkent, yang memiliki lahan subur dan irigasi yang diperlukan untuk mendukung populasi mereka yang padat dan dipandang sebagai tujuan perdagangan yang sebenarnya.

Di sisi lain, Pegunungan Pamir di dekatnya, tempat Tashbulak dan Tugunbulak berada, memiliki kondisi yang terjal dan sebagian besar tidak dapat ditanami karena ketinggiannya. Hingga saat ini kurang dari 3 persen populasi dunia tinggal lebih dari 6.500 kaki atau 2.000 meter di atas permukaan laut.

Namun, meskipun sumber daya terbatas dan musim dingin yang membekukan, orang-orang memang tinggal di Tashbulak dan Tugunbulak dari abad kedelapan hingga ke-11 M, selama Abad Pertengahan. Akhirnya, entah perlahan atau sekaligus, permukiman-permukiman itu ditinggalkan dan dibiarkan begitu saja.

Di pegunungan, itu bentang alam berubah dengan cepat, dan sisa-sisa kota terkikis oleh erosi dan tertutup sedimen. Seribu tahun kemudian, yang tersisa hanyalah gundukan, dataran tinggi, dan punggung bukit yang sulit dipetakan secara menyeluruh dengan mata telanjang.

Untuk mendapatkan gambaran terperinci tentang tanah tersebut, Frachetti dan Maksudov melengkapi diri dengan drone dengan teknologi penginderaan jarak jauh yang disebut lidar (deteksi cahaya dan pengukuran jarak).

Penggunaan pesawat nirawak ini sebenarnya diatur dengan ketat di Uzbekistan, tetapi para peneliti berhasil mendapatkan izin yang diperlukan untuk menerbangkannya di lokasi tersebut. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top