Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Pala menjadi menjadi awal bagi kolonialisme di Kepulauan Banda. Beberapa bukti penjajahan di masa lalu masih berdiri kokoh hingga saat ini.  

Jejak-Jejak Kolonialisme di Banda Neira

Foto : istimewa

Benteng Belgica

A   A   A   Pengaturan Font

Kepulauan Banda yang terdiri 15 pulau seperti Pulau Lontor, Pulau Banda, Pulau Banda Api, Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Pisang, Pulau Hatta dan Pulau Karaba, sangat menggiurkan Belanda. Di sini tumbuh subur tanaman rempah-rempah pala yang jika sudah sampai ke Eropa harganya menjadi selangit.
Sebuah catatan Jerman dari abad ke-14 menyebutkan, harga 0,5 kilogram pala setara dengan tujuh lembu jantan gemuk. Tidak heran agar bisa memonopoli rempah-rempah perdagangan rempah-rempah, Belanda berani menukar Pulau Run yang kala itu dikuasai Inggris dengan Pulau Nieuw Amsterdam (Pulau Manhattan) di Amerika Serikat, melalui perjanjian di Kota Breda pada 31 Juli 1667.
Kepulauan Banda yang kini bagian dari Kabupaten Maluku Tengah menjadi saksi bisa bagi sejarah kolonialisme perebutan rempah-rempah. Jejak-jejaknya dapat dijumpai dari peninggalan sejumlah bangunan gedung, benteng pertahanan, dan dermaga yang masih bisa dijumpai hingga saat ini khususnya Pulau Banda Neira.
Salah satu peninggalan yang penting adalah kompleks Istana Mini yang dibangun pada 1622. Dari tahunnya istana ini jauh lebih tua dari Istana Rijswijk atau sekarang disebut dengan Istana Negara di Jakarta yang baru dibangun pada 1796.
Kompleks Istana Mini berada di Pulau Neira sebagai pusat pemerintahan ketika itu meski luasnya hanya 3 kilometer persegi. Bandingkan dengan Pulau Banda Besar yang luasnya mencapai 44 kilometer persegi atau Pulau Hatta dan Pulau Banda Api yang lebih besar.
Pada kompleks bangunan tersebut terdiri dari beberapa bangunan diantaranya ialah Istana Mini yang merupakan rumah sekaligus kantor dari Gubernur Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) serta dermaga sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal dari tamu gubernur.
Bangunannya yang bercorak Eropa menyerupai Istana Bogor, menggunakan bahan bahan marmer, terakota, serta terdapat pula lantai yang berbahan batu alam. Di dalamnya terdapat enam ruangan yang salah satu ruangannya terdapat sebuah tulisan dari seorang bangsa Belanda yang diukir pada kaca jendela sebelum memutuskan bunuh diri.
Bangunan istana terdiri dari delapan ruangan. Di teras samping terdapat beberapa prasasti dengan tulisan berbahasa Belanda. Ada pula patung Raja Willem III yang terletak di halaman samping dari bangunan bekas kantor gubernur, pada bagian bawah patung tersebut terdapat pula prasasti yang dituliskan dengan menggunakan bahasa Belanda.
Untuk pertahanan dari perlawanan rakyat setempat dan juga bangsa kolonial lain seperti Portugis dan Inggris, Belanda mendirikan benteng (fort) di Banda tepatnya di Pulau Neira. Ada dua banteng yang didirikan yaitu Benteng Nassau dan Benteng Belgica.
Benteng Nassau dibangun pada 1607 di bawah kepemimpinan Admiral Verhoef. Uniknya benteng didirikan di atas bekas pondasi benteng milik Portugis yang berhasil dikalahkan. Desainnya berbentuk segi lima atau pentagon dengan gerbang utama menghadap ke pesisir selatan menghadap Pulau Banda.
Tinggi dinding benteng mencapai 3 meter dengan tembok yang dibangun dengan batu karang. Sementara gerbang kedua berada di sebelah barat dari benteng. Agar lebih aman dibuat parit dengan lebar 4 meter mengelilingi.
Bangunan benteng terhubung dengan kanal menuju ke dermaga di laut tempat bersandarnya kapal-kapal dagang VOC. Pada sudut-sudutnya terdapat empat bastion yang menyerupai sebuah anak panah. Bastion adalah bagian yang menjorok keluar untuk memudahkan dalam pengintaian atau pengawasan.
Benteng Nassau banyak dikunjungi wisatawan walau pernah menjadi saksi bisu dipenggalnya sejumlah orang kaya di Banda yang tidak mau tunduk terhadap pemerintahan VOC yang dipimpin Gubernur Jenderal JP Coen. Setelah kejadian tersebut orang pribumi banyak yang melarikan diri ke luar kepulauan.
Banteng kedua adalah Benteng Belgica yang berada di Kecamatan Neira, di Pulau Banda Neira. Pendirian benteng ini dilakukan pada 1611, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pertama, Pieter Both, di atas benteng Portugis.
Karena Benteng Nassau dirasa tidak dapat menjamin keamanan VOC. Benteng yang dibangun oleh Pieter Both ini kemudian dinamai Benteng Belgica, di ambil dari nama Belgia yang dulu menjadi bagian dari Belanda, sebelum memisahkan diri.
Setelah jatuh ke tangan Belanda, benteng ini digunakan untuk menangkal serangan rakyat Banda yang menentang monopoli perdagangan oleh VOC. Selain itu untuk menyimpang hasil perkebunan, Benteng Belgica juga difungsikan sebagai markas militer Belanda dan tempat untuk memantau lalu lintas kapal dagang.
Dalam sejarahnya benteng ini sempat dua kali jatuh ke tangan Inggris, yang juga mengincar kekayaan alam Maluku. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pernah memerintahkan untuk merenovasi dan memperluas bangunan benteng. Sayangnya, Benteng Belgica mengalami kerusakan cukup parah akibat gempa bumi yang terjadi pada pertengahan abad ke-17.
Pada 1667, Gubernur Jenderal Cornelis Speelman mengunjungi Banda. Melihat benteng yang rusak, ia lalu memerintahkan seorang insinyur bernama Adriaan de Leeuw untuk mendesain ulang dan membangun kembali Benteng Belgica dan pembangunan kembali benteng itu dimulai pada 1672 dan selesai pada 1673.

Gereja Tua
Di Banda Neira terdapat Gereja Tua yang dibangun pada 20 April 1873, peresmiannya dilakukan dua pendeta Maurits Lantzius dan John Hoeke pada 23 Mei 1875. Gereja ini sekarang berada tidak jauh dari Kantor Camat Neira. Lokasinya yang berada di tepi jalan, memudahkan untuk dijumpai.
Di dalamnya Gereja Tua terdapat kursi kayu panjang berwarna kecoklatan yang berderet di sisi kanan dan kiri ruangan gereja, mimbarnya, meja kecil, lemari, serta organ di bagian depan ruangan.
Yang membuat gereja ini begitu spesial adalah lantainya yang dibuat dari 30 nisan prajurit Belanda. Saat memasuki gereja, pengunjung akan langsung menginjak nisan kuburan. Pada lantai gereja tersebut tertulis nama-nama serta identitas prajurit yang dimakamkan di situ.
Kebiasaan orang Belanda pada dulunya, hanya orang-orang penting yang dimakamkan di dalam gereja. Mereka ini adalah prajurit-prajurit yang meninggal saat berperang menghadapi gigihnya perlawanan rakyat Banda yang menolak kolonialisme dan monopoli kekayaan rempah-rempah. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top