Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pertambangan I Diduga, Pemerintah Didikte Perusahaan Kakap

Jangan Terapkan Skema "Nailed Down"

Foto : istimewa

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (Ceri), Yusri Usman

A   A   A   Pengaturan Font

Kebijakan ini yang berpotensi merugikan negara dan telah bertindak tidak adil terhadap industri lainnya.

JAKARTA - Pemerintah diminta mengurungkan rencana penerbitan regulasi skema nailed down bagi perusahaan pertambangan. Sebab, regulasi tersebut dinilai hanya menguntungkan segelintir perusahaan Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan habis masa kontraknya dan akan berstatus Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (Ceri), Yusri Usman, mengungkapkan dengan rencana tersebut, pemerintah menghilangkan perbedaan antara sistem Kontrak karya (KK) dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

"Artinya, secara sadar pemerintah telah menjeratkan kakinya sebelah hanya untuk kepentingan pengusaha PKP2B. Kebijakan ini yang berpotensi merugikan negara dan telah bertindak tidak adil terhadap industri lainnya," papar dia, di Jakarta, Rabu (26/12).

Yusri melanjutkan dengan rencana tersebut maka semakin tidak jelas perbedaan antara IUP dan IUPK-nya BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta lain. Selain tidak adil dalam menerapkan kebijakan dengan industri lain, aturan itu juga berisiko tinggi terhadap fluktuasi harga bahan baku dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

"Di luar negeri pun dalam aktivitas pertambangan tidak menerapkan kebijakan nailed down. Tentu pertanyaannya, apakah kita tidak kapok atau belajar dari kasus nailed down KK Freeport Indonesia yang membuat pemerintah hampir kehabisan energi untuk mengurusnya," tukas Yusri. Skema nailed down adalah sistem pajak yang bersifat tetap hingga masa izin usaha habis.

Menurut dia, sudah seharusnya pemerintah mengikuti amanat konstitusi dalam UU Minerba. Itu demi untuk menjaga ketahanan energi nasional terhadap delapan PKP2B yang produksinya 200 juta metrik ton setiap tahun, akan berakhir kontraknya untuk diserahkan kepada BUMN Tambang. Sebab dengan itu, akan ada potensi keuntungan sekitar 2 miliar dollar AS akan diperoleh BUMN per tahun di luar royalti dan pajak lainnya.

Pemerintah Didikte

Diketahui ada delapan pemilik PKP2B yang akan berubah menjadi IUPK. Kedelapan perusahaan generasi pertama itu merupakan Perjanjian Production Sharing antara BUMN PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan delapan kontraktor itu pada 1993. Hanya oleh Kepres nomor 75 tahun 1996 dan KEPMEMTAMBEN nomor 680.K /29/ M.PE/1997 sesuai Pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa "Semua hak dan kewajiban PTBA dalam PKP2B dialihkan kepada Menteri Pertambangan dan Energi."

Tentu sangat wajar kalau berakhir kontraknya untuk diserahkan kembali kepada PTBA. "Sudah dapat dibaca, kebijakan ini diduga bahwa pemerintah telah didikte oleh 8 pengusaha kakap PKP2B generasi 1 yang akan berakhir waktunya tersebut," tegas Yusri.

Sebelumnya dikabarkan, Kementerian Keuangan melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) akan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlakuan Perpajakan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) khusus dalam usaha pertambangan batubara yang akan menikmati perpajakan dengan skema nailed down atau persentase pajak bersifat tetap selama kontrak berjalan.

Hal tersebut dikatakan oleh Kepala Pusat Kebijakan Pendapat Negara BKF Kemenkeu Rofianto Kurniawan. "Rencananya PP ini akan segera terbit dalam beberapa hari kedepan sebelum tutup tahun 2018 agar dapat direalisasikan pada awal tahun 2019," ungkap Rofianto.

PKP2B yang akan berubah statusnya menjadi IUPK sebelumnya berharap adanya kepastian dan kestabilan perpajakan. Itu sama dengan yang diperoleh Freeport yang telah mengantongi skema serupa seiring dengan diterbitkannya IUPK kepada perusahaan tambang asal AS tersebut hingga 2041. ers/WP

Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top