Selasa, 03 Des 2024, 03:00 WIB

Jangan Masukkan Mi Instan dalam Program Makan Siang Gratis

Penuhi Kebutuhan gizi anak I Siswa bersiap menyantap makanan bergizi gratis di SDN Sirahcai, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, belum lama ini. Program makan siang gratis diharapkan mampu memenuhi kebutuhan gizi anak-anak secara menyeluruh

Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi

» Kebijakan impor yang salah tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga meningkatkan beban kesehatan masyarakat.

JAKARTA– Program pemerintah untuk peduli pada gizi masyarakat khususnya generasi muda melalui program makan siang gratis patut diapresiasi. Namun, itu dinilai tidak cukup jika kebijakannya hanya terkesan tambal sulam karena harus memperhatikan jenis makanan apa yang disajikan.

Program makan siang gratis diharapkan sajiannya tidak seperti memberi bantuan makanan ke para pengungsi berupa mi instan. Sebab, dengan konsumsi mi instan dalam program makan siang gratis, yang ada bukannya muncul generasi yang sehat, kuat, dan tangguh, tetapi sebaliknya terjadi penurunan kualitas hidup.

Penyakit jantung, autoimun, dan GERD semakin tinggi akibat pola konsumsi makanan yang keliru. Makanya, biaya BPJS kesehatan naik terus setiap tahun karena kualitas hidup menurun.

Deputi bidang Pemantauan Indonesia Human Rights Committee and Social Justice (IHCS), Lalu Ahmad Laduni, menyoroti awal masalah serius dari penurunan kualitas gizi itu karena kebijakan impor bahan pangan yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan genetik masyarakat Indonesia.

Menurut dia, kebijakan impor yang salah tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga meningkatkan beban kesehatan masyarakat.

“Barang yang diimpor, misalnya gandum, sering kali tidak cocok dengan genetik kita. Akibatnya, masyarakat mengonsumsi makanan yang malah mendatangkan berbagai penyakit, seperti jantung, autoimun, dan GERD,” kata Lalu.

Studi mengenai dampak makanan terhadap kesehatan masyarakat sudah ada sejak 30 tahun lalu, tetapi pemerintah belum mengambil langkah yang signifikan. “Jika pemerintah serius memikirkan gizi nasional, biaya kesehatan bisa ditekan, dan kualitas hidup masyarakat akan meningkat,” katanya.

Ia juga mengkritik pola konsumsi gandum yang terus meningkat di Indonesia. “Gandum itu bukan makanan pokok kita. Tapi sekarang, mi instan berbahan gandum seolah menjadi makanan utama. Jika ini terus dibiarkan, kualitas hidup masyarakat akan semakin menurun, bahkan bisa berdampak pada penurunan kecerdasan,”jelas Lalu.

Indonesia harus mendorong konsumsi makanan lokal seperti ubi rebus yang lebih cocok dengan genetik dan dapat mendukung prestasi.Menurut Lalu, tugas Menteri Kesehatan (Menkes) tidak hanya menangani penyakit, tetapi juga mengontrol makanan yang beredar di masyarakat.

“Menkes seharusnya memastikan bahwa makanan yang ada di pasar tidak merusak kesehatan, seperti menyebabkan hipertensi atau kerusakan ginjal. Ini adalah bagian dari tugas mereka untuk menjaga kualitas hidup masyarakat,” katanya.

Ia juga menyoroti kebijakan iklan susu formula yang dinilai bebas tanpa regulasi ketat. “Kita membiarkan susu formula beriklan secara bebas, padahal ASI adalah yang terbaik untuk bayi. Ini masalah serius yang membutuhkan perhatian pemerintah,” jelasnya.

Gizi Terjamin

Sementara itu, Ahli Gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Toto Sudargo, mengatakan untuk memenuhi gizi masyarakat, program makan siang gratis di sekolah-sekolah Indonesia perlu lebih dari sekadar menyediakan makanan. Program tersebut harus mampu memenuhi kebutuhan gizi anak-anak secara menyeluruh.

Menurutnya, salah satu cara efektif untuk mencapainya adalah dengan mengadaptasi konsep ransum tentara, seperti yang dilakukan India dalam program makan gratis mereka.

“India berhasil menyediakan makan gratis untuk anak-anak di seluruh pelosok India dengan gizi yang terjamin melalui pendekatan ransum tentara. Konsep itu melibatkan produksi makanan bergizi dalam skala menengah dan besar, yang standar mutunya terkontrol, tahan lama, dan mudah didistribusikan hingga ke daerah terpencil,” ungkap Toto.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia dapat mengadopsi model serupa dengan memanfaatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bekerja sama dengan swasta. “BUMN bisa mengumpulkan bahan pangan dari petani, nelayan, dan peternak lokal. Hasilnya diolah menjadi makanan ransum yang bergizi, seperti kombinasi sayur, ikan, dan daging, lalu dikemas secara steril,” tambahnya.

Keunggulan pendekatan itu adalah efisiensi dalam distribusi dan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Selain memastikan anak-anak mendapatkan makanan bergizi, model ini juga menjamin pasar yang stabil untuk hasil pertanian dan peternakan lokal.

“Ini solusi yang komprehensif. Kita tidak hanya meningkatkan gizi anak-anak, tetapi juga mendukung ekonomi pedesaan,” kata Toto.

Namun, ia menekankan pentingnya keterlibatan UMKM di daerah untuk memenuhi kebetuhan makan siang gratis setempat sehingga menggerakkan ekonomi lokal.“UMKM bisa dilatih kok,” ujarnya.

“Standar kebersihan harus dijaga untuk mencegah masalah seperti keracunan atau diare massal. Dengan kontrol yang ketat, ransum ini akan menjadi solusi yang tidak hanya murah, tapi juga aman dan berkualitas,” tegasnya.

Dengan pendekatan berbasis ransum tentara, Toto optimistis bahwa program makan siang gratis dapat berjalan lebih efektif, memberikan dampak positif yang nyata bagi kesehatan dan masa depan anak-anak Indonesia.

“Ini bukan hanya tentang makan siang, tapi tentang investasi jangka panjang untuk mencetak generasi yang sehat dan produktif,” tutupnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, sepakat bahwa program makan gratis saja tidak cukup, tetapi harus bergizi, bersih, dan jangka panjang tidak timbulkan penyakit.

Sebab itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) di daerah daerah harus mengecek bahan pangan dan proses pembuatan makanan di UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah),"tegas Esther.

Kemudian, lanjut dia, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Dinas KUKM) juga perlu memberikan pelatihan secara berkala dan rutin. Sementara Dinas Pendidikan (Disdik) berperan dalam penentuan sekolah yang menerima program MBG agar sekolah yang dituju sesuai dengan prioritas penerima manfaat.Untuk memastikan keberlanjutan, ujar dia, tidak lupa juga pemerintah harus memastikan stakeholder terkait agar sampah dan limbah hasil makanan dari program makan siang gratis dapat diolah dan didaur ulang.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan: