Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Jangan Jadi Pemimpin Utopis

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh BENNY SUSETYO, PR

Demokrasi Indonesia terus mengalami ujian dari waktu ke waktu. Memasuki 20 tahun reformasi, ujian itu sama sekali belum selesai. Ancaman intoleransi dan konservatisme yang belakangan juga menjadi fenomena global, menggoyang tatanan demokrasi yang tengah dibangun. Banyak upaya telah diinisiasi untuk meredam gejala-gejala terus menguatnya ancaman itu. Upaya-upaya lain pun masih dan harus terus diupayakan.

Dikhawatirkan, fenomena intoleransi dan konservatisme akan menggeser demokrasi Indonesia yang belum solid karena masih dalam proses pematangan. Ini bisa menjadi demokrasi yang kian semu bersifat utopis yang hanya menelurkan janji-janji, tetapi tidak pernah menetas. Demokrasi demikian hanya berisi obral janji-janji, tanpa bukti-bukti.

Demokrasi utopis mudah diidentifikasikan, ketika calon-calon pemimpin hanya getol mengejar populisme. Para calon pemimpin terlihat sangat senang berorasi dan mengobral janji untuk menyenangkan rakyat. Janji mereka muluk, namun gagal menunjukkan bukti-bukti, bahkan saat memimpin. Calon pemimpin hanya bicara, tak bertindak nyata (No Action Talk Only). Mereka tidak walk the talk. Mereka terus bicara ini itu, tanpa pernah melakukan secara konkret ucapannya. Mereka pandai menyoal dan mengkritik, tetapi tidak pernah memberi solusi.

Menguatnya ideologi populisme di tengah masyarakat plural yang masih dirong-rong ancaman itoleransi dan konservatisme, berisiko membawa demokasi ke jurang kegagalan. Mereka piawai berkata-kata dan menebar janji, namun minus kerja nyata. Mereka hanya akan menghasilkan sederet janji kosong yang semakin melemahkan harapan.

Mereka lupa tugas pemimpin membangun optismisme yang benar berdasar kenyataan. Risikonya, ini akan menambah ketidakpercayaan pada demokrasi. Para calon pemimpin yang telah mengg adaikan integritasnya untuk populisme akan menghanyutkan diri pada janji-janji dan tidak membangun kemandirian rakyat.

Dipertaruhkan

Demi masa depan demokrasi yang lebih baik, semua harus membuka mata atas gejala dan fenomena seperti ini. Rakyat harus berani berefleksi dan belajar kejadian di negara lain seperti Amerika Latin agar bangsa ini tidak benar-benar jatuh di lubang yang sama.

Ketika ideologi populisme semakin mewarnai praksis demokrasi, dan semua bersikap permisif, masa depan bangsa dipertaruhkan. Persoalannya mendasar, dalam situasi dan kondisi seperti itu, mencari pemimpin yang ideal kerap kali hanya sebuah utopia. Sebab siapa pun pemimpinnya, dengan sistem demokrasi gado-gado seperti ini, akan terpenjara oleh kepentingan politik do ut des. Kepentingan yang selalu mempertanyaakan "saya dapat apa." Ini menjadikan pemimpin terpilih sulit mengaktualisasikan kebijakan-kebijkannya sesuai dengan misi dan visi.

Selama sistem demokrasi masih terus dirongrong seperti ini, jangan berharap akan muncul pemimpin ideal. Itu terasa seperti idiom klasik 'menunggu tenggelamnya perahu gabus dan mengambangnya batu hitam.' Mimpi memiliki pemimpin ideal menjadi sebuah utopia karena sebenarnya yang terjadi hanyalah mimpi. Arah tujuan mereka jelas hanyalah kepentingan politik jangka pendek.

Selanjutnya, kesadaran akan tujuan dan cita-cita bersama segenap anak bangsa menjadi tidak penting. Mestinya ada kesadaran bersama semua pihak untuk memberikan kontribusinya sesuai dengan fungsi dan kedudukan untuk bersama-sama membangun demokrasi demi masa depan yang lebih baik. Tiap-tiap pihak, terutama partai politik dan para politisi, bisa berlomba-lomba dalam kebaikan untuk menjawab berbagai problem mendasar dalam membangun sistem demokrasi yang efektif.

Dalam sistem demokrasi di Indonesia, problem mendasar dalam membangun sistem demokrasi efektif ini bisa dijawab bila ada kejelasan oposisi dan partai pemerintah. Tanpa kejelasan posisi seperti itu, sebagaimana terjadi saat ini, sangatlah sulit untuk menciptakan sistem politik yang mengarah atau membawa ke keadaban publik. Maka, yang dibutuhkan sekarang, partai oposisi yang benar-benar mau dan mampu menjalankan fungsi oposan. Harus jelas ada konsep pemikiran yang mampu memberi alternatif solusi dengan argumentasi-argumentasi yang bisa diwujudkan atau dipertanggungjawabkan.

Demokrasi akan menjadi bermartabat ketika kepentingan bukanlah jangka pendek. Demokrasi akan benar-benar memiliki kualitas ketika para kontestan konsisten dalam berkomitmen untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita bersama. Dalam tahun politik seperti sekarang, sangatlah penting untuk membuka mata, telinga, dan mencermati dinamika situasi. Kita harus mampu melihat cara para calon pemimpin berkompetisi. Rakyat perlu mencermati pesan-pesan mereka guna membaca komitmen, konsistensi, dan integritas mereka dari waktu ke waktu.

Jika ada komitmen dan integritas, tidaklah sulit untuk melihat atau menemukan jejak-jejak karya dan prestasinya. Jika ternyata orientasi mereka terlihat jelas hanya untuk jangka pendek agar memenangi pemilihan, kemungkinan besar banyak motif tersembunyi: politik hanya demi kekuasaan. Jadilah pemimpin yang nyata. Jangan menjadi pemimpin utopis.

Penulis seorang imam

Komentar

Komentar
()

Top