Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Jangan Galau dan Resah kalau Taat Aturan

Foto : Koran Jakarta/Agus Surpiyatna
A   A   A   Pengaturan Font

Dibalut busana warna hijau, Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, berdiri anggun di podium, di sebuah aula yang ada di Hotel Savana, Kota Malang. Airin berdiri di podium untuk memberi kata sambutan di acara Rapat Kerja Nasional Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (Apeksi).

Airin sendiri adalah Ketua Umum Apeksi periode 2016-2020. Airin mengungkap keluh kesahnya para wali kota seluruh Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya para wali kota kerap dihantui rasa resah dan gelisah. Ada semacam kerisauan dari para wali kota, takut di kemudian hari kebijakan yang diambil berujung kasus hukum. Meski sudah ada jaminan perlindungan hukum, tapi kerisauan itu tak kunjung reda.

"Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, kami memiliki rasa khawatir akan kesalahan administrasi yang berujung pada kasus hukum," kata Airin, di Malang, baru-baru ini. Memang, kata Airin, ada sejumlah regulasi yang mengatur tentang itu, mulai dari UU Administrasi Pemerintahan, UU ASN, dan UU Pemda, tapi ketiga UU itu belum dipahami sebagai sebuah kesatuan oleh aparat penegak hukum.

Ia pun minta penjelasan yang lebih rinci. Karena itu, hajatan Apeksi kali ini sengaja secara khusus mengundang wakil dari kejaksaan, direktur Tipikor Polri, dan KPK. Airin bersyukur, Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, bersedia hadir. Sementara itu di acara yang sama, saat didaulat memberi kata sambutan, Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, mengatakan sebenarnya para kepala daerah tak perlu risau dan galau, apalagi khawatair dan takut.

Selama taat aturan, tak usah galau dan takut. Regulasi sudah mengatur itu dengan jelas. Setidaknya ada tiga regulasi, yakni UU Pemda, UU ASN, dan UU Administrasi Pemerintahan. Jadi, semuanya sudah cukup dan komplit. "Hilangkan rasa khawatir dalam menjalankan tugas," ujar Basaria.

Memang, kata Basaria, saat ini yang sering didengar adalah soal kriminalisasi. Padahal itu kurang tepat. Yang terjadi, ketika aparat hukum memproses seorang pejabat, kerap dituding sedang melakukan kriminalisasi. Tapi, aparat pun, tentu juga harus introspeksi. "Di UU Pemda itu ada satu pasal yang menyatakan masyarakat dapat menyampaikan aduan penyimpangan ke Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)," katanya.

Aduan Masyarakat

Lalu APIP, lanjut Basaria, wajib tindak lanjuti aduan itu. Dalam konteks ini, aparat penegak hukum pun wajib berkoordinasi dengan APIP sebelum melakukan proses hukum. Ini sudah dilakukan KPK. Di KPK sendiri ada Direktur Pengaduan yang menerima aduan dari masyarakat. Ketika ada aduan masuk, yang dilakukan selanjutnya adalah pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket), dan itu dikoordinasikan dengan APIP.

"Bila itu pelanggarannya adalah administrasi maka diserahkan ke APIP. Bila itu perdata, ya ke kejaksaan. Bila pidana, bisa kepolisian atau KPK. Kalau bukan tindak pidana korupsi ke kepolisian. KPK sendiri sesuai kewenangannya hanya menyangkut yang jumlahnya satu miliar rupiah ke atas. Ini dipegang KPK," tutur Basaria.

Selain itu, kata Basaria, UU Tipikor terutama Pasal 32 menyatakan, dalam hal penyidik berpendapat tidak terdapat cukup bukti, tentu tak bisa dilanjutkan memproses lewat hukum pidana. Padahal nyata-nyata telah ada kerugian negara. Penyidik harus segera menyerahkan itu ke kejaksaan sebagai pengacara negara untuk dilakukan gugatan perdata.

Jadi, tidak selalu sebuah perkara meski ditemukan kerugian negara, itu adalah kasus korupsi. Bisa jadi itu kasus perdata. "Tapi, Pasal 4 menyatakan pengembalian kerugian negara tak serta-merta menghaluskan pidananya. Jadi, kalau memang tidak ambil sesuatu, jangan khawatir," ujarnya.

Memang, lanjut Basaria, ada diskresi kebijakan. Namun dalam membuat diskresi, ada persyaratannya. Misalnya, dia harus tidak melanggar hukum. Jangan mencampuradukkan kepentingan politik, pribadi, dan lain-lain. "Jadi tak ada kriminalisasi. Selain itu kalau dihitung, bukan wali kota yang banyak ditangani KPK, tapi gubernur. Kalau dihitung dari 34 provinsi, setengahnya ditangani KPK," kata Basaria.

Di acara yang sama, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, mewanti-wanti agar para kepala daerah itu hatihati dalam menjalankan tugas, terutama ketika menyusun perencanaan penganggaran. Area rawan korupsi harus dipahami betul. Semua harus tahu, mana area yang rawan korupsi.

"Dalam ambil keputusan pahami area rawan korupsi. Terus terang saya sedih ketika KPK, masuk ke Mojokerto, masuk ke DPRD di Jatim, masuk ke Semarang. Di Semarang malah sudah paripurna digerebek KPK. Semuanya terkait perencanaan penganggaran," kata Tjahjo. Ia pun mewanti-wanti agar semua pejabat di daerah, termasuk para kepala daerah, jangan terus melihat ke atas.

Sebab kalau selalu melihat ke atas, tak akan puas-puas. Ujungnya demi sebuah kepuasan semu, cara salah kadang dilakukan. "Ya, kalau lihat ke atas terus, tak akan ada puasnya," ujar Tjahjo.

agus supriyatna/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top