Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan I Pembangunan Properti Bermanfaat Setelah Sektor Riil Maju

Jangan Biarkan "Bubble" Properti Akibatkan BLBI Jilid II

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diminta tidak salah menempatkan prioritas tahapan pembangunan sektoral. Sebab, memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan kredit konsumsi yang sangat masif, terutama dari barang impor dan bubble properti, di satu sisi.


Namun di sisi lain, mengabaikan dana untuk pembangunan sektor riil, khususnya industri pangan dan industri nilai tambah nasional untuk substitusi impor, hal itu sama dengan gerobak di depan mau menarik kuda. Artinya, pembangunan tidak bisa berjalan karena tahapannya salah.


Selain itu kredit properti yang sangat masif bisa memicu bubble properti. Kondisi ini berpeluang menuju skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) jilid dua.


Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Munawar Ismail, mengemukakan semestinya dana nasional yang terbatas dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk membangun infrastruktur yang secara langsung menunjang sektor riil produktif, seperti pertanian produksi pangan dan industri turunannya, serta industri nilai tambah lainnya terutama sebagai substitusi impor.


"Kemandirian pangan harus pertama, harus isi perut manusia, baru pembangunan properti mewah. Pembangunan properti harus seimbang dengan sektor riil yang produktif. Namun, sektor riil kita tidak tumbuh. Kalau sektor riil kita mati, bagaimana properti kita tumbuh," papar dia, ketika dihubungi, Rabu (13/9).


Apalagi, lanjut dia, pembangunan properti mewah berharga ratusan juta hingga miliaran rupiah dari kredit properti perbankan yang mencapai 800 triliun rupiah, dalam kondisi mayoritas rakyat pendapatan per kapitanya hanya sekitar 3.000 dollar AS, bakal memicu bubble properti dan berpeluang menjadi skandal BLBI jilid dua.

"Kalau sampai itu terjadi, apakah kita mampu menghadapinya. BLBI jilid satu saja kita tak mampu menanggungnya, sampai APBN jebol," tukas dia.


Meski demikian, Munawar menegaskan bukan berarti tidak boleh memacu pembangunan properti atau perumahan. Namun, tahapannya harus benar, ada prioritas besar yang mesti didahulukan, yaitu pembangunan pertanian, industri barang bernilai tambah, substitusi impor, dan semangat ekspor.

"Tapi, bukan ekspor komoditas. Negara yang bergantung komoditas akan miskin. Sebab, di saat harga turun dia akan kesulitan. Ini seperti Venezuela yang bergantung minyak."


Munawar menambahkan selain karena bubble properti, tidak mungkin ekonomi juga negara bisa bertahan jika kredit konsumsi berlipat ganda dari pendapatan produksi nasional.


"Jika seseorang hidup pas-pasan, tapi selalu belanja barang-barang konsumsi mewah yang dibiayai utang, maka jelas, hanya menunggu waktu untuk bangkrut," tandas dia.


Risiko "Bubble"


Mengingat bahaya bubble properti, Direktur Pusat Studi Masyarakat Yogyakarta, Irsyad Ade Irawan, mempertanyakan apabila ada satu pengembang besar membeli lahan persawahan dengan harga 1 miliar rupiah per hektare, lalu dijadikan tanah properti dan dijual menjadi 5 juta rupiah per meter persegi berarti nilainya mencapai 50 miliar rupiah per hektare, apakah itu tidak bubble.


Padahal, lanjut dia, sawah itu masih produktif, untuk mengisi perut rakyat. Produktif menghemat devisa impor pangan, menjaga lingkungan hidup berkelanjutan.

"Penduduk terus bertambah, pada 2050 penduduk kita 350 juta orang, dari mana kita memenuhi pangan rakyat. Ingat, penduduk dunia akan menjadi 10 miliar dari tujuh miliar orang. Pada saat itu, ada uang pun kita tidak bisa impor pangan karena negara eksportir akan memprioritaskan kebutuhannya sendiri."


Oleh karena itu, tegas dia, suatu negara harus memastikan rakyatnya mampu membeli pangan lebih dahulu sebelum tanah. "Kalau properti dengan harga tanah lima juta rupiah per m2 itu termasuk mewah. Berarti apa yang kita bangun. Itu ibarat gerobak di depan kuda. Tahapannya salah."


Irsyad mengungkapkan kesalahan tahapan prioritas pembangunan sektoral seperti itulah yang akan membuat ekonomi nasional kolaps. Semestinya Indonesia mencontoh Tiongkok yang membangun properti setelah akumulasi tabungan devisa negara pecah di atas tiga trilliun dollar AS, dan menjadi raksasa ekonomi dunia.


Sebelumnya, sejumlah kalangan meminta OJK dan BI sepenuhnya transparan pada profil kredit perbankan tanpa upaya kosmetika pelaporan atau window dressing. Hal ini bertujuan agar tidak menimbun kredit bermasalah yang cepat atau lambat akan meledak pada gelembung kredit macet. SB/YK/ahm/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top