Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Jalan-jalan ke Museum Modern di Kota Bandung

Foto : foto-foto: koran jakarta/teguh rahardjo
A   A   A   Pengaturan Font

Mendengar kata museum, yang teringat tentu adalah koleksi benda-benda kuno. Pada umumnya memang demikian. Namun saat ini banyak museum yang tidak melulu mempertontonkan sejarah atau benda purba dan tua. Museum kini sudah banyak yang menyuguhkan kesan modern.

Di Kota Bandung setidaknya ada sejumlah museum yang memperkenalkan konsep modern dalam memamerkan koleksi-koleksinya. Bahan yang dipamerkan tetap benda-benda lama dan tua, namun museum ini terkesan modern dan kekinian. Misalnya Museum Gedung Sate, Museum Sejarah Vaksin, Museum Planning Galery dan Museum Geologi.

Bio Farma berdiri dengan nama "Parc Vaccinogene" pada 6 Agustus 1890 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda Nomor 14 tahun 1890 di Rumah Sakit Militer Weltevreden, Batavia (kini RSPAD Gatot Soebroto), Jakarta.

Saat mengunjungi Museum Vaksin, kesan tua atau jadul tidak terlalu terlihat. Vaksin yang mulai dibuat puluhan tahun lalu, disajikan dalam kolase sejarah yang menarik, melalui permainan digital dan layar televisi layar datar yang serba modern.

Museum tersebut menceritakan tentang penemuan kesehatan, wabah yang terjadi sebelum vaksin ditemukan, serta peralatan yang digunakan pada awal Bio Farma beroperasi.

Pengunjung akan disambut patung D Wa Borger, di mana semasa hidupnya pernah menyuntikan hasil penelitian pada dirinya sebelum diberikan kepada orang lain.

Pengunjung akan mendapatkan informasi melalui foto sketsa yang dipampang di dinding tentang pemimpin Biofarma dari waktu ke waktu, dari awal berdiri pada 1890 sampai sekarang.

Di bagian lain sebuah akuarium raksasa berisi ular berbagai jenis yang sudah diawetkan. Ada pula kotak-kotak serum dan vaksin. Ular itu merupakan sampel dari beberapa ular yang dahulu digunakan untuk proses anti bisa atau serum.

Sejumlah peralatan untuk memproduksi vaksin, baik yang jadul hingga yang modern juga dipajang di sini.

"Museum ini sudah masuk destinasi wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung. Sehingga tahun depan akan kita tambah koleksinya dan memberikan vaksin flu bio kepada pengunjung. Saat ini tidak ada tiket, nantinya akan ada tiket masuk, seperti halnya museum modern lainnya," tutur Nurlela.

Fosil Gajah Blora

Museum Geologi yang berlokasi di Jalan Diponegoro Nomor 56 Bandung, merupakan museum yang paling sering menjadi tujuan wisata pendidikan atau sejarah anak-anak sekolah atau turis asing yang datang ke Bandung.

Apalagi kini ada koleksi replika tulang belulang gajah Blora. Fosil replika ini akan menyambut pengunjung di pintu utama masuk museum.

Fosil gajah Blora itu berumur sekitar 250 hingga 200 ribu tahun lalu. Meski sudah berumur tua, saat ditemukan pada 2009, kondisinya masih bagus. Fosil ditemukan dan diekskavasi pada 2009, di Dusun Sunggun, Desa Mendalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora.

Temuan fosil gajah purba ini merupakan temuan spektakuler. Karena sejak dimulainya penelitian paleontologi dan ekskavasi fosil pada 1850-an, baru kali ini ditemukan fosil yang utuh dari satu individu gajah. Fosil gajah ini, meski berupa replika, menjadi hadiah terbaik bagi museum yang tahun ini merayakan HUT ke 85.

Fosil gajah Blora ini memiliki nama ilmiah Elephas hysudrindicus yang merupakan salah satu jenis gajah purba raksasa yang hidup pada zamannya. Fosil yang ditemukan memiliki tinggi sekitar empat meter, panjang 5 meter dengan berat sekitar 6 hingga 8 ton. Taringnya saja memiliki panjang hampir satu setengah meter.

Museum Geologi sebelumnya juga sudah memiliki koleksi fosil gajah purba yakni dari jenis Stegodon Trigonochepalus. Fosil tulang gajah itu memang tidak selengkap temuan di Blora. Fosil ditempatkan bersama dengan fosil hewan purba lainnya seperti banteng purba, badak hingga kura-kura raksasa purba.

Pengunjung selain tertarik dengan koleksi baru Gajah Blora, juga sangat antusias melihat dari dekat fosil tulang dinosaurus pemakan daging T Rex. Jika gajah Blora ditempat di depan pintu masuk, fosil T Rex ditempatkan di bagian dalam museum karena memang ukurannya yang sangat besar.

Di lantai museum juga ada jejak telapak kaki buatan yang tertulis "Telusuri Jejak Ekspedisi Cincin Api." Telapak kaki di lantai itu menjadi jejak yang mengajak pengunjung untuk mengikutinya hingga ke lantai dua museum. Cincin Api atau Ring Of Fire adalah sebutan bagi wilayah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi. Indonesia termasuk dalam kawasan cincin api tersebut. tgh/R-1

Bercerita Rencana Masa Depan

Museum sejatinya bercerita tentang masa lalu dan sejarah. Namun di Bandung Planning Galery (BPG), museum modern di kawasan Balaikota Bandung, justru lebih banyak mengoleksi rencana yang akan dibuat di kota kembang.

Saat masuk kedalam, pengunjung akan diminta untuk mengisi daftar tamu. Uniknya bukan di buku tamu yang ditulis dengan bolpoint. Namun harus mengisi di layar komputer, nama, alamat email dan asal kotanya.

Pengunjung juga disarankan menggunakan aplikasi BPG yang dapat diunduh di Play Store. Aplikasi ini akan menjadi narator tentang segala sesuatu di dalam museum.

Berbagai maket pembangunan ditampilkan, mulai dari maket pusat Kota Bandung hingga peta tiga dimensi cekungan Bandung. Pengunjung bisa menyaksikan sejarah Kota Bandung dalam bentuk video animasi interaktif, mulai dari dataran Bandung terbentuk dari danau purba, kondisi geografis saat ini, hingga pembangunan Kota Bandung menjadi kota cerdas.

Bermain Augmented Reality

Museum yang juga menampilkan koleksi modern adalah Museum Gedung Sate. Pengunjung yang datang ke museum juga dapat melihat Gedung Sate dari atas. Seolah-olah ia sedang naik balon udara.

Di dalam museum ini memang tersedia wahana unik yang menjadi incaran pengunjung. Seperti layaknya balon udara, pengunjung dapat mencoba untuk masuk kemudian memakai kacamata augmented reality.

Pengunjung juga dapat ikut melihat di layar televisi yang dipajang di dinding tembok tidak jauh dari wahana ini. Jadi, apa yang dilihat pengguna wahana akan terlihat pula di layar televisi.

Di dalam juga terdapat lantai yang terbuat dari kaca. Rupanya jika diperhatikan lantai kaca itu juga mirip dengan layar televisi. Saat kita menginjaknya, maka seolah-olah sedang berada di atas gedung sate.

Ada juga replika sirine. Sirine ini memiliki daya pancar suara sangat kuat sehingga dapat terdengar hingga ke wilayah Sumedang.

Ruangan kecil di dalam museum juga menjadi favorit pengunjung, yang merupakan ruang pemutaran film proses pembangunan Gedung Sate. Sementara sepanjang lorong yang ada ditempeli poster terkait proses pembangunan Gedung Sate, sejarah para arsiteknya, hingga sejarah perjuangan para pemuda dalam mempertahankan Gedung Sate di masa perang kemerdekaan. tgh/R-1

Komentar

Komentar
()

Top