Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Jakarta Perlu Terobosan

A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Masri Hanus, Ma

Presiden Joko W i d o d o melantik pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Istana Negara pada 16 Oktober 2017. Dengan demikian, sampai kini mereka menjabat dua bulan. Bagaimana kinerja berdua selama dua bulan ini? Warga Jakarta bisa membaca dan menilai pemikiran dan kinerja Anies-Sandi. Apakah inisiatif, kemampuan, dan kreativitas keduanya lebih baik dari Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, yaitu Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Djarot Saiful Hidayat?

Harapan seluruh warga DKI Jakarta juga warga Jabodetabek kinerja dan prestasi mereka lebih hebat, terutama dari Ahok dan Djarot. Hebat dalam artian bisa mewujudkan janjijanji kampanye. Hebat karena mampu melahirkan ide, gagasan, dan eksekusi secara cepat. Hebat karena melahirkan kebijakan/keputusan baru yang jempolan, bermanfaat bagi kepentingan sekitar 10 juta warga Jakarta.

Jakarta yang sarat dengan kompleksitas masalah terutama banjir, kemacetan, dan sampah seharusnya Anies-Sandi di awal kepemimpinan membuat keputusan baru sebagai terobosan penting mengatasi solusi masalah akut tersebut. Sangat disayangkan, langkah keduanya hanya baru sebatas tahapan mencabut, merevisi keputusan gubernur sebelumnya. Artinya, keputusan mereka sifatnya korektif atas keputusan lama yang ditetapkan gubernur sebelumnya.

Sebagian warga menyayangkan kepemimpinan Anies-Sandi seperti itu. Mengapa hanya mengoreksi keputusan. Apa gunanya? Mengoreksi keputusan tentang hal-hal yang tidak urgen untuk Jakarta menuju ke arah lebih baik. Keputusan ini mungkin hanya demi menyenangkan sebagian warga Jakarta, seperti para kolega, konstituen, dan pendukung Anies-Sandi.

Jadi, ini bukan prestasi bila melahirkan keputusan korektif/ mencabut keputusan gubernur sebelumnya. Padahal bila ditelaah secara mendalam pencabutan keputusan yang di masa berlakunya berdampak baik di Ibu Kota negara ini, seharusnya jika mau mencabut, pelajari lebih teliti. Ini butuh waktu panjang, misalnya, setahun.

Hanya dalam tempo dua bulan melakukan pencabutan keputusan menimbulkan berbagai kontroversi dalam masyarakat. Salah satu tindakan korektif atas gubernur sebelumnya yang dilakukan Anies-Sandi yang menjadi perhatian warga, yaitu meniadakan kebiasaan pertemuan pagi hari antara warga dan gubernur serta wagub di Balai Kota.

Menurut Anies- Sandi, kebiasaan yang dilakukan Ahok ditiadakan dengan dalih lebih baik warga menyampaikan permasalahan atau masukan kepada kecamatan dan kelurahan. Sebab pejabat kecamatan dan kelurahan lebih dekat dengan warga, sehingga bisa mengetahui detil permasalahan warganya.

Walaupun persepsi warga tidak demikian. Apalagi selama ini petugas kecamatan dan kelurahan tidak tuntas memproses permasalahan warga. Pencabutan perda yang melarang penggunaan kawasan Monumen Nasional (Monas) untuk kegiatan keagamaan adalah contoh keputusan korektif, bukan gagasan baru. Bahkan Anies-Sandi telah mewacanakan pencabutan keputusan gubernur yang melarang sepeda motor masuk Jalan Thamrin.

Indikator kinerja yang dilakukan Anies-Sandi sebagai sinyal betapa lemahnya penguasaan tupoksi, inisiatif, kerja sama, kualitas dan kuantitas kerja. Gaya kepemimpinan seperti ini sama saja tidak memberdayakan ASN Pemrprov DKI. Bila kerja hanya lebih fokus pada mencabut peraturan, maka derajad kepemimpinan Anies-Sandi jauh di bawah Jokowi, Ahok, dan Djarot, dalam kurun waktu sama.

Padahal dengan kinerja yang buruk berdampak warga akan meremehkan Anies-Sandi. Warga akan melihat Anies- Sandi sebagai gubernur dan wagub yang tidak tahu bekerja dan tidak kreatif. Jika langgam kepemimpinan Anies-Sandi tidak diperbaiki secepatnya, akan berdampak negatif bagi Pemprov DKI. Sejatinya dua bulan berada di Balai Kota DKI, tak ada value added contents dari keduanya.

Manajerial, profesionalisme kerja PNS/ASN Pemprov DKI terabaikan. Semua berimbas di lapangan. Lihat kesemerawutan yang kembali menyeruak di Pasar Tanah Abang. Banjir besar melanda Jakarta pada Senin, 11 Desember.

Sisi Birokrat

Kepemimpinan Anies-Sandi bisa ditelaah pula dari sisi birokrat Pemprov DKI. PNS/ ASN Pemprov mungkin kurang memperoleh tantangan bekerja agar lebih produktif bila langgam kerja hanya mencabut peraturan gubernur. Ini membuat PNS/ASN kurang kreatif. Padahal mereka menerima insentif sangat besar sejak kepemimpinan Ahok-Djarot.

Tantangan bekerja menurun. Indisipliner, clean governance yang susah payah dibangun Jokowi, Ahok, dan Djarot mulai mundur. Ini membahayakan birokrasi negara di DKI. Dampaknya, kualitas pelayanan publik terabaikan. Korupsi dan pungli hidup kembali pada birokrasi Pemprov DKI dan DPRD DKI Jakarta.

Kepemimpinan Anies- Sandi berbeda jauh dengan Jokowi, Ahok, dan Djarot dalam kurun waktu sama. Tiga gubernur tersebut lebih dinamis. Mereka setiap hari diibaratkan "menggelorakan air di kolam" DKI Jakarta. Buahnya, semua lini kelembagaan Pemprov bergerak dinamis.

Anies-Sandi perlu mengapresiasi kinerja Jokowi, Ahok, Djarot yang serius melakukan reformasi birokrasi pada Pemprov DKI. Tujuan reformasi birokrasi mewujudkan PNS/ ASN yang mempunyai kemampuan kondusif, kewenangan jelas, serta tanggung jawab sesuai dengan visi misi Pemprov DKI Jakarta.

Tiga gubernur tersebut mengimplementasikan Human Capital Development Plan (HCDP) dengan baik. Anies- Sandi tinggal menggunakan. Jangan mendegradasi yang sudah baik. Tidak gampang bagi Jokowi, Ahok, dan Djarot memacu profesionalisme serta kualitas ASN Pemprov DKI mulai dari Balai Kota hingga lembaga pelayanan langsung seperti kantor kelurahan, rumah sakit, atau puskesmas. Betapa bagus penertiban tata aturan perparkiran yang memberi kepuasan warga.

Jika dua bulan dimanfaakan maksimal dengan berbicara program kesehatan, pendidikan, mengatasi kemacetan, banjir, menyediakan berbagai fasilitas umum yang lebih layak, pasangan ini akan disegani. Momentum itu hilang karena kesibukan baru Pemprov DKI bersama DPRD DKI membahas RAPBD 2018 yang disahkan dengan nilai fantastis 77,1 triliun rupiah.

Mirisnya juga, terdengar rumor APBD ramai membicarakan bagi-bagi anggaran kepada mereka yang berjasa di pilkada. Ada yang menyebut Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) dengan 73 orang sebagai contoh. Sebab era Ahok-Djarot hanya 15. Anggaran tim ini naik drastis dari 6 miliar rupiah era Ahok-Djarot menjadi 28 miliar. Banyaknya TGUPP mengkhawatirkan akan mengganggu suasana kerja dengan pejabat Pemprov DKI. Apakah mereka bisa harmonis? Anggaran kunjungan kerja anggota DPRD juga meningkat tajam dalam APBD 2018. Pada era Ahok-Djarot dianggarkan hanya 6 miliar. Kini naik menjadi 107 miliar. Masalah lain terkait APBD DKI Jakarta 2018, bantuan kepada parpol sebesar 4.000 per suara. Kenaikan ini berbeda jauh dengan peningkatan bantuan keuangan parpol tingkat nasional yang hanya 1.000.Penulis Widyaiswara Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial

Komentar

Komentar
()

Top