Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Jabodetabek Dikepung Polusi, Indeks Kualitas Udara Jakarta Mencapai 234

Foto : ANTARA/Fauzan

Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Selasa (6/6/2023).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kualitas udara Jakarta belum juga menunjukkan perbaikan. Pada Sabtu (30/9) pagi, ibu kota kembali menduduki posisi pertama sebagai kota besar paling berpolusi di dunia.

Situs pemantau kualitas udara IQAir menunjukkan, Indeks Kualitas Udara (AQI) di Jakarta pada pukul 06.26 WIB berada di angka 163 atau masuk dalam kategori tidak sehat dengan angka partikel halus (particulate matter/PM) 2.5.

IQAir mencatatkan Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Kota lain yang menduduki posisi kedua dan ketiga adalah Doha (Qatar) dengan indeks kualitas udara di angka 160 dan Delhi (India) di angka 159.

Sementara wilayah di Jakarta dengan kualitas udara terburuk, antara lain Kebon Jeruk, Pantai Indah Kapuk, Kalideres, Cilandak Barat dan Pluit.

Nafas Indonesia Air Quality bahkan mencatat Indeks Kualitas Udara Jakarta mencapai angka 173 dengan angka partikel halus PM 2.5 pada waktu yang lebih pagi, pukul 4.00 WIB, di hari yang sama. Tak jauh dari Jakarta, Indeks Kualitas Udara Gunung Sindur, Bogor tercatat di angka 202 pada jam yang sama.

Secara keseluruhan kualitas udara di Jakarta pada Sabtu pagi berada di kategori sangat tidak sehat dengan indeks angka 234 dan polusi udara PM2.5.

Kondisi tersebut, menurut Sistem Informasi Lingkungan dan Kebersihan DLHK Provinsi DKI Jakarta, masuk dalam kategori sangat tidak sehat, atau tingkat kualitas udara yang dapat merugikan kesehatan pada segmen populasi yang terpapar.

Adi, seorang warga Jakarta mengeluhkan kondisi udara Jakarta saat ini sudah masuk kategori beracun. Udara kotor telah mencekik dan mengancam kesehatan warga Jakarta seperti penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) hingga kanker paru.

"Angin dari laut ke darat dan mengendap di Gunung Sindur. Udara kotor di Utara masuk ke gunung dan mengendap di gunung. Mau lari ke mana penduduk Jabodetabek dikepung polusi?" katanya.

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro beberapa waktu lalu mengungkapkan, polusi udara salah satunya dipicu oleh emisi transportasi. Sektor transportasi, kata dia, telah menyumbang emisi terbesar hingga 44 persen.

"Jadi kalau dari segi bahan bakar yang digunakan di DKI Jakarta itu bahan bakar itu adalah sumber emisi, dari batu bara 0,42 persen, dari minyak itu 49 persen, dan dari gas itu 51 persen. Kalau dilihat dari sektor-sektornya maka transportasi itu 44 persen, industri 31 persen industri energi, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen," paparnya.

"Ini lebih didetailkan lagi oleh kajian tersebut bahwa kalau SO2 (sulfur) memang berasal dari PLTU, manufacturing. Jadi manufacturing, pembangkit tenaga listrik dari industri manufacturing 61,96 persen. Kalau yang lainnya NoX, Co PM 10, PM 2,5, black carbon, kemudian organic carbon itu sebagian besar disebabkan oleh kendaraan bermotor," paparnya.

Mengetahui hal tersebut seorang warga Jakarta lainnya mengatakan, "Berarti PLTU, pabrik tutup, tidak ada kendaraan. Mau lari kemana penduduk Jabodetabek dikepung polusi. ISPA sudah parah sekali, di mana-mana kena. Udara kotor membuat paru-paru rentan, jauh lebih parah dari bahaya merokok," keluhnya.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : Lili Lestari

Komentar

Komentar
()

Top