Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Isu Seputar Anggaran

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Dalam salah satu karya fenomenalnya yang kemudian dibukukan dalam The Federalist Paper, The Founding Father Amerika Serikat (AS), Alexander Hamilton (1778), mengungkapkan salah satu kunci terpenting Kongres AS adalah kekuasaan anggaran alias the power of the purse.

Hal tersebut disampaikan Hamilton pada saat mengomentari kekuasaan yudikatif yang lemah dibanding eksekutif karena memiliki pedang (sword) ataupun legislatif yang memiliki pundi-pundi uang (purse). Saking kuatnya the power of the purse tersebut, pemerintahan AS dapat saja tutup (government shutdown) akibat anggaran yang diajukan Presiden Amerika tidak disetujui oleh Kongres.

Kejadian government shutdown tersebut baru saja terjadi saat proposal anggaran Presiden Trumpt belum disetujui Kongres pada awal Januari 2019. Kira-kira mengapa Hamilton sampai memberikan "the power the purse" tersebut kepada Kongres? Hal tersebut tidak lain karena adanya prinsip kedaulatan rakyat AS, sehingga penggunaan anggaran harus disetujui rakyat yang diwakilkan Kongres.

Apabila dilacak, konsep the power of the purse tak dapat dipungkiri juga dipengaruhi ketatanegaraan Inggris. Ini terutama, melalui Bill of Right (1689) yang menekankan penggunaan uang oleh raja harus disetujui parlemen. Tanpa persetujuan, penggunaan uang ilegal.

"That levying money for or to the use of the Crown by pretence of prerogative without grant of parliament for longer time or in other manner then the same is or shall be granted is Illegal." Konsep dua negara yang acap kali menjadi kiblat demokrasi tersebut menjadi penanda bahwa dalam negara berdasar kedaulatan rakyat, uang negara adalah milik rakyat.

Maka, rakyat berkuasa penuh terhadap uangnya, sehingga setiap sen yang dikeluarkan penyelenggara negara harus melalui persetujuan rakyat (dalam demokrasi perwakilan melalui badan representatif negara). Dengan melihat konsep tersebut, pernyataan Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara, pertengahan Januari lalu yang mempertanyakan "yang nggaji ibu siapa" kepada salah satu stafnya menjadi persoalan prinsipil yang memang layak dikritik.

Terlepas persoalan dukung mendukung nomor satu atau dua dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil, pertanyaan tersebut adalah sebuah "kecelakaan" ucap. Bahkan, apabila pertanyaan tersebut diarahkan dengan klaim bahwa yang menggaji aparatur negara adalah penyelenggara negara (baca presiden dan jajarannya), merupakan sebuah kesalahan besar di negara republik yang berkedaulatan rakyat.

Walau bagaimanapun, UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) menegaskan, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri lagi, rakyatlah yang berdaulat dan berkuasa atas negara ini. Ini termasuk di dalamnya penggunaan uang (anggaran) negara.

Karena itu, tak heran apabila Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 mengatur rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diajukan Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Selanjutnya ayat (3) menentukan, apabila RAPBN tidak disetujui DPR, maka pemerintah menggunakan APBN tahun sebelumnya (hal ini berbeda dengan model AS yang menyebabkan government shutdown).

Keikutsertaan DPR dalam bentuk pembahasan dan persetujuan tersebut merupakan bentuk kedaulatan rakyat yang mengharuskan penggunaan anggaran negara tidak dapat hanya dilakukan dengan perspektif penguasa, tapi harus melalui persetujuan rakyat.

Bahkan, merujuk Penjelasan UUD 1945 Sebelum Perubahan yang disusun Prof Soepomo, keberadaan Pasal 23 yang memuat hak begrooting (budget) menunjukkan sifat pemerintahan negara Indonesia yang berdasar pada kedaulatan rakyat. Ini membedakan dari negara fasis, di mana anggaran ditetapkan semata-mata oleh pemerintah.

Dengan demikian, rakyat menentukan nasibnya sendiri (melalui dewan perwakilan), karena itu juga cara hidupnya. Maka setiap rupiah yang dianggarkan negara adalah milik rakyat, termasuk gaji aparatur. Lebih Penting Ada persoalan lebih penting yang harus diperhatikan baik oleh pemerintah (presiden) maupun lebih khusus lagi DPR.

Presiden sebagai pemegang anggaran negara, tak bisa mengeklaim APBN sebagai anggaran penguasa semata. Pemerintah harus menggunakan APBN untuk sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Sementara itu, DPR yang memegang kuasa the power of the purse harus juga memastikan RAPBN yang diajukan presiden benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat.

Perdebatan-perdebatan yang kerap muncul di publik, misalnya, soal anggaran infrastruktur, subsidi, kenaikan gaji ASN, dan anggaran desa haruslah diperdebatkan secara serius di ruang-ruang kerja DPR bersama Pemerintah, bukan hanya melalui media massa. Dengan demikian, hal tersebut akan langsung berpengaruh terhadap setiap mata anggaran dalam UU APBN.

Apalagi fraksi-fraksi yang menganggap sebagai 'oposisi' pemerintah, haruslah melakukan pendalaman dan perdebatan yang jelas. Dengan demikian, dapat diketahui standing posisinya, agar di kemudian hari tidak mempermasalahkan munculnya anggaran tertentu seolah-olah fraksi-fraksi tersebut tidak mengetahui.

Padahal mereka telah diberi amanat untuk membahas setiap rupiah dalam RAPBN. Bahkan apabila perlu, gunakan hak konstitusional untuk tidak menyetujui proposal anggaran presiden. Ini sebagai bentuk evaluasi kritis, sehingga presiden dipaksa menggunakan APBN tahun sebelumnya.

Sementara itu, bagi fraksi-fraksi 'koalisi' pemerintah, tentu harus memberi argumen yang rasional, wajar, dan mencerdaskan agar proposal RAPBN presiden memang layak disetujui. Perdebatan-perdebatan tersebut, idealnya muncul setiap tahun saat pembahasan RAPBN, tidak hanya waktu musim kampanye seperti sekarang.

Dengan demikian, rakyat sebagai pemegang kedaulatan dapat melihat uangnya digunakan penguasa. Hal tersebut sekaligus menegaskan, rakyat dilibatkan dalam setiap penentuan anggaran, bukan hanya berdasar pertimbangan rakyat membayar pajak. Rakyat benar-benar berdaulat atas negara ini sebagaimana dikatakan Rene Stourm dalam The Budget (1917).

Katanya, "The constitutional right which a nation possesses to authorize public revenue and expenditures does not originate from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty."

Mei Susanto, Dosen HTN FH Unpad Bandung

Komentar

Komentar
()

Top