Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Konversi Energi I Indonesia Setujui Jalur Kabel EBT Bawah Laut Australia-Singapura

Ironis jika RI Impor Energi Tenaga Surya dari Australia

Foto : ANTARA/DEDHEZ ANGGARA

PEMBANGUNAN EBT LAMBAT I Petani membersihkan permukaan panel surya di area lahan tumpang sari miliknya di Kelurahan Karanganyar, Indramayu, Jawa Barat. Energi Baru dan Terbarukan (EBT), termasuk energi tenaga surya, tiap tahun selalu masuk dalam program pemerintah tetapi realisasi pembangunannya sangat lambat.

A   A   A   Pengaturan Font

» Jika sampai impor EBT khususnya energi surya maka sama dengan mengabaikan kekayaan energi nasional yang melimpah.

» RUPTL PLN menunjukkan PLN terus membangun PLTU batu bara, sementara EBT berjalan lambat.

SINGAPURA - Pemerintah Indonesia baru-baru ini telah menyetujui jaringan listrik energi baru terbarukan (EBT) jalur bawah laut antarbenua pertama di dunia, yang membentang dari Australia ke Singapura. Dengan persetujuan resmi yang melibatkan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di dunia dan baterai terbesar di dunia serta kabel bawah laut terpanjang di dunia maka proyek ambisius Sun Cable tersebut selangkah lagi terwujud.

Proyek tenaga surya skala besar itu bertujuan untuk memasok hingga 15 persen kebutuhan listrik Singapura dengan mengirimkan daya melalui kabel sepanjang 4.200 kilometer dari Darwin di Northern Territory Australia mulai 2027 mendatang.

Sun Cable mengatakan pemerintah Indonesia telah menyepakati jalur melalui kepulauannya untuk kabel high voltage direct current (HVDC), serta memberikan izin untuk melakukan survei bawah laut di perairan Indonesia untuk memetakan jalur bawah laut ke Singapura. Sebagai gantinya, Sun Cable telah berkomitmen untuk menginvestasikan 2,5 miliar dollar AS di Indonesia sebagai bagian dari proyek, yang dikenal sebagai PowerLink Australia-Asia.

The Straits Times melaporkan Sun Cable telah menjanjikan sekitar satu miliar dollar AS dalam bentuk investasi langsung untuk pengadaan peralatan dan layanan, dengan tambahan 1,5 miliar dollar AS dalam pengeluaran operasional selama umur proyek, seperti membuat pangkalan perbaikan laut.

Tenaga surya akan dihasilkan oleh salah satu pembangkit listrik tenaga surya terbesar di dunia, Powell Creek Solar Precinct yang terletak 800 kilometer selatan Darwin. Proyek potensial diperkirakan menelan biaya 21,7 miliar dollar AS itu diperkirakan akan menghasilkan listrik antara 17 dan 20 gigawatt-peak (GWp), beberapa di antaranya akan disimpan di lokasi yang ditargetkan sebagai baterai terbesar di dunia pada 36 hingga 42 gigawatt-jam.

Baterai yang lebih kecil direncanakan akan dibangun di Darwin dan Singapura, dengan tujuan memasok daya yang konsisten siang dan malam. Konstruksi diharapkan akan dimulai pada 2024 dengan pasokan listrik pertama ke Darwin mulai 2026 dan pasokan pertama ke Singapura pada 2027. Operasi komersial penuh ditargetkan pada akhir 2028.

Otoritas Pasar Energi Singapura (EMA) sendiri mengatakan bahwa diskusi tentang proposal Sun Cable untuk memasok listrik dari Australia ke Singapura sedang berlangsung. EMA menekankan bahwa proposal tersebut harus layak secara teknis dan ekonomis, dan mampu menyediakan pasokan listrik yang kompetitif, aman, dan andal ke Singapura.

Singapura saat ini sangat bergantung pada gas untuk pembangkit listrik, terutama pipa gas dari Indonesia dan semakin banyak pada impor gas alam cair (LNG).

"Transisi energi yang signifikan sedang berlangsung di Indo-Pasifik dan pangsa energi yang dihasilkan oleh listrik tumbuh dengan cepat. Di Asia Tenggara, permintaan energi tumbuh rata-rata 6 persen per tahun dan diperkirakan akan tumbuh 60 persen pada 2040," kata Sun Cable.

Australia sendiri memiliki sumber daya surya per kapita tertinggi di G20 dan tertinggi kedua di dunia. "Ada peluang unik untuk mengekspor energi terbarukan dalam jumlah besar, mendukung kebutuhan energi regional dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi," tutur Sun Cable.

Rencana pembangunan jaringan EBT bawah laut yang melintasi perairan Indonesia itu oleh sebagian kalangan dikhawatirkan akan menggoda pemerintah yang akhirnya juga mengimpor energi yang sama dari Australia.

Tolak Impor

Menanggapi kemungkinan tersebut, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan kalau itu dilakukan maka sangat ironi dan sulit diterima dengan akal sehat. Sebab, RI punya potensi energi surya yang melimpah. Sepanjang tahun matahari bersinar di seluruh wilayah Indonesia.

"Jika sampai impor tenaga surya dilakukan, ini kebangetan. Kenapa, karena Indonesia punya sumber energi tenaga surya yang melimpah, bahkan lebih besar dari Australia," kata Esther.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Energi Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean, menolak jika pemerintah sampai berencana mengimpor tenaga surya. Sebab, hampir semua daerah di Indonesia kaya dengan energi surya.

"Jika sampai impor, kita mengabaikan kekayaan energi nasional yang melimpah ini," tegas Ferdinand.

Hal yang perlu dilakukan adalah lebih serius melakukan transformasi energi terutama ke EBT dan mulai meninggalkan pembangunan pembangkit listrik tenaga diesel yang berbasis energi kotor khususnya batu bara.

"Pemerintah mestinya berpihak ke pemanfaatan energi dalam negeri. Bukan justru impor. Sebab kalau tidak, kapan sumber EBT kita yang melimpah ini termanfaatkan," pungkas Ferdinand.

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi mengatakan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 yang sudah disetujui, porsi pengembangan EBT ke depan mencapai 51,6 persen, sedangkan energi fosil 48,4 persen.

Padahal, PLN sendiri menargetkan mencapai bauran energi EBT pada 2025 sebesar 23 persen dan pada 2020 lalu baru terealisasi 11,51 persen.

"PLN masih terus bangun PLTU batu bara mulai tahun ini sampai tahun depan. Ini buktinya kita bohong kepada dunia. Bagaimana dengan target EBT yang 23 persen. Semua sudah diumumkan tetapi tidak ada tindak lanjut. PLN malah menunjukkan bukti bahwa Indonesia menambah emisi karbon," kata Badiul.

Jika hanya menunjukkan potensi EBT saja tanpa realisasi pembangunan dan di sisi lain PLTU batu bara jalan terus maka yang akan terjadi emisi karbon lebih cepat dari EBT. "Padahal Indonesia sudah berjanji bauran EBT 23 persen, mana buktinya. Coba tunjukan dimulai dari mana barangnya. Padahal kita sudah berjanji menurunkan emisi karbon, tetapi kenyataanya justru menambah. Kalau begini terus sampai 2050 tidak akan tercapai. Jangan sampai pemerintah sekarang merasa itu bukan urusannya, dan merasa itu nanti urusan pemerintah mendatang," kata Badiul.

Menurutnya, EBT selalu masuk dalam program, tapi pembangunannya lamban. Sedangkan batu bara terus dibangun. Contoh pembangunan EBT 250 MW di Bali sudah lama direncanakan tetapi tidak ada kemajuan.

Selain lambannya pembangunan EBT, dia juga menyoroti beban pajak karbon yang sangat rendah, tapi malah dibebankan ke konsumen yang tidak bersalah, sedangkan pelaku tidak dikenakan.

"Ini tidak benar kalau konsumen yang bayar. Karbon tax dikenakan kepada semua objek yang diimpor dari masyarakat, tidak kurang dari 25 dollar dan 115 dollar pada pajak barang. Sedangkan produsen kita tidak dikenakan pajak. Misalnya kita beli motor, itu ada karbon tax. Harga sudah termasuk karbon tax. Tapi, si pembuat polutan kenapa dia dibebaskan, tarif tiga dollar AS itu sama saja dengan tidak bayar pajak. Ekspor-impor kita akan defisit. Setiap karbon yang kita impor, kita dikenakan pajak sebesar 25 dollar AS per ton, sedangkan kita ekspor keluar hanya mengenakan pajak karbon tiga dollar AS per ton, berarti defisit 22 dollar AS per ton," tutupnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top