Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Ironi Musibah di "Bali Baru"

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Akhir liburan Lebaran diwarnai berita duka musibah tenggelamnya Kapal Motor (KM) Sinar Bangun (SB) di Danau Toba. Kapal tenggelam saat berlayar dari Pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir, menuju Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Musibah itu sangat memprihatinkan di tengah usaha keras pemerintah menata destinasi-destinasi wisata, termasuk Danau Toba. Musibah sangat ironis karena pemerintah telah menjadikan Danau Toba sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata berskala global. Namun, kecelakaan SB menunjukkan sarana dan prasarana pariwisata Danau Toba keropos dan sarat masalah.

Infrastruktur transportasi yang terdiri dari dermaga dan kapal angkutan buruk dan sangat riskan kecelakaan. Kelayakan kapal dan lemahnya pengawasan pelabuhan atau dermaga terlihat dari tidak adanya manifes penumpang kapal penyeberangan. Mestinya, setiap penumpang kapal selalu dicatat identitas dan tanda pengenalnya sebelum menyeberang. Hal ini sesuai dengan regulasi moda angkutan.

Kondisi kelebihan kapasitas penumpang dan barang sudah berlangsung lama, namun dibiarkan saja oleh pihak berwajib. Kapal motor usaha rakyat yang konstruksinya dari kayu mengangkut penumpang reguler dan para wisatawan bercampur dengan sepeda motor dan barang dagangan. Semuanya tanpa terlebih dulu ditimbang, tetapi langsung dimasukkan begitu saja dalam lambung kapal.

Cara menyusun muatan kapal juga kurang mempertimbangkan keseimbangan dan titik berat, sehingga kapal mudah oleng dan terguling jika terkena gelombang dan angin besar. Sebagian besar kapal yang beroperasi di Danau Toba tergolong usaha pelayaran rakyat. Mestinya, pemerintah memberi insentif dan bantuan teknis untuk menjamin keselamatan perjalanan kapal.

Begitupun kondisi dermaga di kawasan Danau Toba mesti diawasi secara ketat untuk mencegah kecelakaan. Apalagi saat ini kawasan Danau Toba sudah menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN) untuk pengembangan ekononi wilayah serta dibentuknya Badan Otorita Danau Toba (BODT).

Pemerintah melalui Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Pariwisata Arief Yahya selama ini sangat getol menjadikan kawasan Danau Toba masuk 10 destinasi unggulan dan dijuluki "Bali Baru." Kawasan Danau Toba dijadikan KEK untuk mempermudah pengurusan regulasi yang selama ini jadi kendala dalam menggenjot pertumbuhan industri pariwisata.

Di mana, Perpres No 49/2016 menyebutkan, BODT bertugas menyusun master plan pengembangan kawasan Danau Toba, mempercepat koordinasi pelaksanaan master plan, dan mengelola pariwisata di lahan yang terintegrasi.

Ganggu Target

Pembangunan infrastruktur dan promosi pariwisata mestinya juga terkait dengan pengadaan moda transportasi. Kasus SB merupakan musibah pariwisata yang sangat memilukan.

Apalagi kawasan Danau Toba termasuk satu dari 10 andalan destinasi wisata nasional. Sehingga program kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara dan 270 juta wisatawan Nusantara pada 2019 bisa terganggu dengan kasus tersebut. Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN jangan mengabaikan infrastruktur penyeberangan kecil.

Selama ini, BUMN yang bergerak di bidang usaha penyeberangan seperti PT ASDP terlalu fokus pada penyeberangan besar. Padahal jumlah penyeberangan kecil sangat banyak, namun kondisinya memprihatinkan dan kurang perhatian. Kondisi penyeberangan kecil kebanyakan dioperasikan pelayaran rakyat.

Saat ini tercatat jumlah armada penyeberangan resmi sekitar 230 unit. Sedangkan armada yang tidak resmi, yakni armada rakyat, jumlahnya jauh lebih besar, namun kondisinya sangat riskan. Dalam kasus di Danau Toba armada penyeberangan resmi hanya 2 kapal jenis fery. Sedang kapal penyeberangan rakyat puluhan.

Data menunjukkan, jumlah kapal penyeberangan nasional resmi masih sangat kurang. Hingga kini persentase kapal penyeberangan resmi terdiri dari 45 persen milik ASDP, 53 persen swasta, dan 2 persen kerja sama operasi BUMN-Swasta. Para pengusaha angkutan penyeberangan kesulitan modal untuk peremajaan kapal. Akibatnya, sebagian besar kapal sudah beroperasi di atas 10 tahun.

Selain itu, juga kurangnya partisipasi pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan operasi ASDP, terutama pelayanan transportasi perintis. Dari segi jenis kapal penyeberangan dapat digolongkan menjadi tiga. Pertama, lintas permintaan tinggi, yakni yang memerlukan pelayanan lebih dari 6 trip perhari dan menggunakan kapal berukuran 300-500 Gross Ton (GT).

Kedua, lintas permintaan sedang, yaitu 2-6 trip perhari, menggunakan kapal berukuran 300-500 GT. Ketiga, lintas permintaan rendah, kurang dari 2 trip perhari dengan kapal 300-500 GT. Kasus Danau Toba masuk golongan kedua. BDOT perlu pengadaaan kapal dengan kapasitas sekitar 300 GT. Selain itu, perlu pembenahan unit dermaga penyeberangan dan aspek kompatibilitas dermaga.

Tidak boleh terjadi lagi musibah SB yang mengangkut penumpang dan wisatawan malah tenggelam. Pemerintah daerah sekitar Danau Toba kurang antisipasi terkait potensi ancaman bencana. Jumlah pengunjung destinasi pariwisata membeludak saat libur Lebaran, namun kurang disertai persiapan dan antisipasi oleh pengelola destinasi agar tidak terjadi kecelakaan dan hal-hal buruk lainnya.

Saat ramai wisatawan pada hari-hari libur sebaiknya ada antisipasi kemungkinan terjadi bencana. Ini penting karena banyak destinasi pariwisata secara geografis terletak pada kawasan yang rentan bencana alam. Dibutuhkan pola manajemen risiko bencana sektor pariwisata yang andal. Pola itu bisa dimanfaatkan badan kebencanaan tingkat lokal maupun nasional serta para pelaku pariwisata daerah menyusun rencana aksi dalam rangka mitigasi bencana.

Langkah Kementerian Pariwisata dan pemerintah daerah yang membuat paket wisata perairan terpadu seperti Danau Toba akan sia-sia, tanpa tersedia kapal wisata yang aman, nyaman, dan kapasitasnya memadai. Perlu menambah kapal baru berukuran sedang untuk mewujudkan destinasi wisata yang terintegrasi.

Baca Juga :
Piutang BLBI

Wisata perairan membutuhkan moda transportasi sesuai dengan regulasi International Maritime Organization (IMO). Organisasi ini secara umum mengatur keamanan angkutan kapal, pencegahan polusi, serta persyaratan, pelatihan dan pendidikan awak kapal. Hingga kini kapal-kapal Indonesia banyak tidak mampu memenuhi ketentuan IMO.

Bahkan mereka banyak melanggar regulasi. Otorita dan pemerintah daerah perlu segera menyusun destination management organisation yang baik. Keniscayaan bagi pemerintah daerah menyiapkan infrastruktur transporatsi terbaik. Di dalamnya termasuk eksistensi kedokteran wisata. Laut dan danau menjadi objek wisata yang perkembangannya paling pesat beberapa tahun terakhir di industri pariwisata dunia.

Tingginya permintaan wisata perairan harusnya memacu pemerintah membenahi infrastruktur. Kita perlu belajar dari Malaysia yang 40 persen pendapatan domestik brutonya dari wisata perairan. Maladewa sudah 100 persen PDB. Sedangkan Indonesia baru memperoleh 10 persen, padahal negara kita memiliki sangat banyak destinasi wisata perairan yang sangat eksotik.

Nabila Annuria, Penulis Lulusan Sainstek Universitas Airlangga

Komentar

Komentar
()

Top