Nasional Luar Negeri Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona Genvoice Kupas Splash Wisata Perspektif Edisi Weekend Foto Video Infografis
Stabilitas Moneter

Investor Masih "Wait and See" terhadap Data Ekonomi Penting

Foto : ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA

Petugas melayani penukaran uang rupiah di Bank BSI, Jakarta, Senin (30/10). Mata uang rupiah menguat 48 poin atau 0,30 persen menjadi 15.890 rupiah per dollar AS

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Penguatan rupiah dipengaruhi sikap investor yang masih wait and see terhadap rentetan data ekonomi penting dan pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada pekan ini. Pada penutupan perdagangan Senin (30/10), mata uang rupiah menguat 48 poin atau 0,30 persen menjadi 15.890 rupiah per dollar AS dari penutupan sebelumnya sebesar 15.938 rupiah per dollar AS.

Seperti dikutip dari Antara, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, pada Senin, turut menguat ke posisi 15.916 rupiah per dollar AS dari sebelumnya 15.941 rupiah per dollar AS.

"Penguatan rupiah dan mata uang regional dan Asia memang agak khusus. Dollar AS masih cukup stabil. Investor cenderung wait and see menantikan serentetan data ekonomi penting dan pertemuan bank sentral utama dunia, terutama FOMC," kata analis pasar mata uang, Lukman Leong, ketika dihubungi, di Jakarta (30/10).

Melihat sentimen domestik, data pada Rabu (1/11) diperkirakan menunjukkan kenaikan laju inflasi Indonesia baik secara year on year (YoY) maupun month to month (MoM). YoY diprediksi meningkat dari 2,28 persen menjadi 2,6 persen, sedangkan tingkat inflasi MoM naik 0,27 persen dari sebelumnya 0,19 persen.

"Kenaikan pada inflasi di Indonesia memicu harapan apabila Bank Indonesia (BI) bisa kembali menaikkan suku bunga," ucap Lukman.

Pengendalian Inflasi

Menurut pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, pengendalian inflasi dan penguatan kondisi ketenagakerjaan akan menjadi topik pembicaraan dalam pertemuan FOMC.

Inflasi masih menjadi fokus karena melenceng jauh dari target 2 persen, dan para pejabat AS bakal mempertanyakan apakah kebijakan saat ini masih cukup mendorong inflasi turun atau perlu kebijakan baru.

Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin sore, ditutup melemah di tengah penguatan mayoritas bursa saham kawasan Asia.

IHSG ditutup melemah 22,90 poin atau 0,34 persen ke posisi 6.735,89. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 3,57 poin atau 0,40 persen ke posisi 889,34.

"Bursa Asia bergerak mixed akibat aksi investor yang cenderung wait and see untuk berinvestasi pasar saham. Para investor lebih memilih aset yang bersifat safe haven seperti emas karena peperangan antara Israel dan Hamas semakin memanas terutama adanya rencana dari Israel untuk mengepung Gaza dalam tahap kedua," sebut Tim Riset Pilarmas Investindo Sekuritas dalam kajiannya.

Selain itu, pasar juga sedang menantikan berbagai rilis data ekonomi di berbagai negara.

Dari Amerika Serikat (AS), angka ketenagakerjaan akan dirilis pada Jumat dan diperkirakan menunjukkan payrolls AS masih meningkat sebesar 188.000 pada Oktober 2023 setelah kenaikan besar pada September 2023, namun pertumbuhan tahunan pendapatan rata-rata masih terlihat melambat menjadi 4,0 persen dari 4,2 persen.

Proyeksi ini tentunya semakin memberikan peluang bagi the Fed untuk mempertahankan suku bunga pada 5,25-5,5 persen pada November. Sementara itu, Bank of England juga diperkirakan akan tetap menahan kebijakannya minggu ini, dengan pasar memperkirakan sekitar 70 persen kemungkinan Bank of England akan melakukan pengetatan sepenuhnya.

Dibuka melemah, IHSG betah di teritori negatif sampai penutupan sesi pertama perdagangan saham. Pada sesi kedua, IHSG masih betah di zona merah hingga penutupan perdagangan saham.

Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, dua sektor meningkat yaitu dipimpin sektor infrastruktur sebesar 3,22 persen, diikuti sektor industri sebesar 0,13 persen.

Sedangkan sembilan sektor turun yaitu sektor kesehatan turun paling dalam yaitu minus 2,35 persen, diikuti sektor barang konsumen nonprimer dan sektor energi yang masing-masing minus 1,89 persen dan minus 1,76 persen.

Saham-saham yang mengalami penguatan terbesar, yaitu MBTO, PTSN, CUAN, IMPC, dan BREN. Sedangkan saham-saham yang mengalami pelemahan terbesar, yakni NSSS, PRIM, WINS, OASA, dan FILM.

Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 1.308.645 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 20,37 miliar lembar saham senilai 10, 29 triliun rupiah. Sebanyak 175 saham naik, 376 saham menurun, dan 201 tidak bergerak nilainya.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top