Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pemanasan Global I PLN Diam-Diam Membangun 23 PLTU Batu Bara Baru

Investor Bakal Tagih Komitmen RI Kurangi Emisi

Foto : Sumber: Koran Jakarta dari berbagai sumber
A   A   A   Pengaturan Font

» Penjualan green bond tidak akan diminati investor global jika komitmen mengurangi emisi karbon tidak dilaksanakan.

» Pemerintah mestinya berpihak ke pemanfaatan energi dalam negeri, bukan justru berupaya melakukan impor.

JAKARTA - Dalam pertemuan negara-negara kelompok 20 ekonomi terbesar dunia (G20) di Roma Italia hampir semua pemimpin negara berkomitmen untuk berupaya mengatasi ancaman pemanasan global (global warming). Komitmen juga disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang hadir langsung dalam pertemuan tersebut.

Menanggapi komitmen para pemimpin global itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi mengatakan komitmen yang disampaikan para pemimpin negara itu diharapkan bisa diwujudkan dalam kebijakan di negaranya masing-masing.

"Komitmen Indonesia bagus, tapi harus nyata. Jangan banyak janji tapi keputusan di PLN bertentangan sekali dengan janji Indonesia. Bertentangan sekali antara ucapan dan tindakan," kata Badiul.

Menurut Badiul dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 yang sudah disetujui, porsi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) ke depan mencapai 51,6 persen, sedangkan energi fosil 48,4 persen.

Padahal, PLN sendiri menargetkan mencapai bauran energi EBT pada 2025 sebesar 23 persen dan pada 2020 lalu baru terealisasi 11,51 persen.

"PLN masih terus bangun PLTU batu bara mulai tahun ini sampai tahun depan. Ini buktinya kita bohong kepada dunia. Bagaimana dengan target EBT yang 23 persen. Semua sudah diumumkan tetapi tidak ada tindak lanjut. PLN malah menunjukkan Indonesia menambah emisi karbon," kata Badiul.

Jika hanya menunjukkan potensi EBT saja tetapi diam-diam PLN akan bangun 23 PLTU batu bara (data Global Energy Monitor), maka dampaknya pada rencana Pemerintah menerbitkan green bond bisa tidak diminati investor karena hanya namanya yang hijau.

"Karena itu, pembangunan 23 PLTU batu bara harus dibatalkan sekalipun sudah ada perjanjian kontrak. Setiap perjanjian pasti ada pasal force majeure. Ancaman pemanasan global akibat emisi karbon yang akan membawa bencana dunia, itu force majeure", katanya.

Padahal green bond menurut Badiul, investor bersedia menerima bunga lebih rendah karena dananya dimanfaatkan untuk mengurangi emisi karbon. Kalau tidak sejalan dengan upaya pengurangan emisi dalam negeri, penjualan bond akan meminta kupon yang lebih tinggi, terutama institusi global yang punya kebijakan sangat keras. Mereka tidak boleh berinvestasi di instrumen yang digunakan untuk membangun energi kotor.

Selain itu, kalau komitmen yang disampaikan tidak sesuai dengan realitas, maka Indonesia akan dinilai tidak patuh sehingga produk merk Indonesia tidak akan laku dijual. Hal seperti itu tidak boleh diremehkan karena merugikan.

Mereka benar-benar sangat khawatir dengan bahaya perubahan iklim yang mengancam dunia. Bukan seperti Indonesia khususnya di DKI Jakarta yang sudah terbukti permukaaan tanah turun, namun tidak dipedulikan.

"Bagaimana mau pikirin dunia. Gubernur DKI Jakarta Cuma mendorong bikin lubang resapan, padahal itu tidak membantu karena semua jalur hijau sudah dibangun mall, seperti di Taman Ria Senayan yang sebelumnya jadi daerah resapan kini dibangun mall," katanya.

Ekspor EBT

Di tengah krisis energi termasuk Singapura, para pejabat Pemerintahan kata Badiul banyak menyampaikan pernyataan membual kalau itu peluang bagi Indonesia mengekspor Energi Baru Terbarukan (EBT) ke Singapura. "Dalam negeri saja tidak kita lakukan bagaimana kita ekspor. Memang Singapura bodoh. Apa bisa kasih harga seperti Australia yang harganya disubsidi?, tanyanya.

Kabel EBT Australia ke Singapura yang melintasi perairan Indonesia katanya bisa jadi hanya sasaran antara, padahal sasaran utamanya adalah Indonesia yang populasinya 270 juta jiwa. Bisa saja suatu saat Indonesia juga beli energi ke Australia.

Sebelumnya, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti mengatakan kalau itu dilakukan maka sangat ironi dan sulit diterima dengan akal sehat. Sebab RI masih punya potensi energi surya yang melimpah. "Jika sampai impor tenaga surya dilakukan ini kebangetan. Kenapa, karena Indonesia punya sumber energi tenaga surya yang melimpah, bahkan lebih besar dari Australia," kata Esther.

Direktur Eksekutif Energi Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean dalam kesempatan terpisah menolak jika pemerintah sampai berencana mengimpor tenaga surya. Sebab, hampir semua daerah di Indonesia kaya dengan energi surya. "Jika sampai impor, kita mengabaikan kekayaan energi nasional yang melimpah ini," tegas Ferdinand.

Hal yang perlu dilakukan adalah lebih serius melakukan transformasi energi terutama ke EBT dan mulai meninggalkan pembangunan pembangkit listrik tenaga diesel yang berbasis energi kotor khususnya batu bara.

"Pemerintah mestinya berpihak ke pemanfaatan energi dalam negeri. Bukan justru impor. Sebab kalau tidak, kapan sumber EBT kita yang melimpah ini termanfaatkan. Jangan impor hal yang kita bisa tanam dan bangun sendiri , misalnya impor microchip," pungkas Ferdinand.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top