Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Energi Bersih - Pada 2021-2030, Investasi EBT di Asia Pasifik Ditaksir 2,4 Triliun Dollar AS

Investasi EBT Asia Pasific Meningkat

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kerja sama banyak stakeholder terkait menjadi kunci utama pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di Tanah Air. Jalan tengah dibutuhkan agar investasi EBT tidak merugikan sektor tertentu sehingga target untuk menurunkan efek gas rumah kaca (GRK) tak terganggu.

Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence, Sunarsip, menyebutkan investasi EBT di Asia Pasific pada 2021-2030 diperkirakan naik dua kali lipat dibanding periode 2011-2020. Mengutip pandangan Wood Mackenzie, investasi pembangkit EBT di Asia Pasific dari sekarang hingga 2030 mencapai sebesar 2,4 triiliun dollar AS.

Sebagai perbandingan, pada periode 2011-2020, investasi EBT mencapai 1,3 trilliun dollar AS atau sekitar 50 persen dari total investasi pembangkit. Dari jumlah itu, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mendominasinya.

"Asean membutuhkan sekitar 14 billion dollar AS per tahun untuk investasi wind (PLTB) dan solar (PLTS) hingga 2040," ujar Sunarsip dalam diskusi EBT, di Jakarta, Kamis (19/8).

Dia mengakui, khusus di Indonesia, realisasi capaian pengembangan EBT masih jauh dari target. Padahal pada saat bersamaan, pemerintah memiliki target ambisius di bidang EBT sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2030. Karena itu, diperlukan regulasi dan dorongan bagi terwujudnya aliansi yang sinergis di antara para pelaku usaha di bisnis EBT ditingkat mikrokorporasi.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, menegaskan pemerintah berkomitmen mengatasi perubahan iklim dengan menjaga kenaikan temperatur bumi pada 1,5 derajat Celsius, tidak melebihi 2 derajat Celsius, dan UU No 16 Tahun 2016, dengan meratifikasi pengurangan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 29 persen dari upaya nasional dan 41 persen dari dukungan internasional.

Atas dasar itu, terang dia, Indonesia perlu terobosan strategi untuk pemulihan ekonomi, dengan skenario sebelum pandemi mensyaratkan pertumbuhan ekonomi 5,7 persen per tahun untuk menjadi negara maju pada 2036, tetapi pascapandemi pencapaian pertumbuhan 6 persen baru akan membawa Indonesia menjadi negara maju (lepas dari middle income trap) pada 2043.

Dia menegaskan strategi transisi energi rendah karbon dilakukan dengan mempercepat pengembangan EBT dengan kendaraan listrik dan hidrogen serta pengembangan smartgrid serta smart energy dengan konservasi energi. "Itu sesuai dengan SDGs 7 (sustainable develpment Goals 7)," ucap Satya.

Jalan Tengah

Terkait rencana revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap, Guru Besar ITS (Institut Teknologi Sepuluh November), Mukhtasor, berpandangan jika selisih harga listrik PLTS atap dibayar oleh APBN itu akan membebani.

Kalau asumsinya negara mampu, APBN harus dialokasikan untuk investasi EBT. "Khusus PLTS atap, saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan menjadi model gotong royong sebagai bangsa," ujarnya.

Negara melalui pemerintah, menurut Mukhtasor, mengambil peran kepemimpinan dan terdepan dalam transisi energi dengan mengintegrasikannya lewat transisi industri nasional di bidang EBT di dalam negeri. "Saya tidak ingin solusinya parsial yang akan memberatkan negara. solusinya komprehensif dengan cara rantai pasok diperkuat karena sudah ada, tinggal nanti business to business," ungkap dia.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top