Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ini Bahaya Toxic Relationship dan Cara Mengakhirinya

Foto : Istimewa

Relasi toxic justru menghambat kesehatan mental dan memandekkan pertumbuhan pribadi seseorang.

A   A   A   Pengaturan Font

Toxic relationship adalah relasi yang penuh tekanan, kekerasan, serta berdampak negatif atas kesehatan mental orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sayangnya, relasi toxic bisa saja terjadi pada siapa pun. Apa saja bahayanya? Simak ulasan berikut ini.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Margaretha, mengatakan bahwa salah satu faktor penting dalam kesehatan mental manusia adalah relasi sosial. Relasi sehat akan memberikan perasaan sejahtera dan pertumbuhan pribadi. Sebaliknya, relasi toxic justru menghambat kesehatan mental dan memandekkan pertumbuhan pribadi seseorang.

"Orang yang memiliki relasi sosial yang baik dengan keluarga, teman, dan rekan kerja akan lebih sehat mental. Relasi positif dalam hidup seseorang sifatnya membangun kebahagiaan. Sedangkan, seseorang yang berada dalam lingkaran relasi toxic akan menjadi lebih rentan mengalami stres dan persoalan psikologis," katanya.

Hambat pengembangan diri

Relasi toxic juga akan menghambat pengembangan diri. "Relasi toxic bisa terjadi di lingkungan kerja. Orang bisa bekerja di dalam lingkungan yang tidak memberikan dukungan pengembangan diri, karena hubungan antar person di dalamnya berisi iri, saling sikut, dan menjelekkan satu sama lain. Akhirnya, orang yang berada di dalamnya tidak memiliki semangat untuk berkembang," terangnya.

Relasi toxic juga bisa menjadikan orang menjadi pribadi yang apatis. Padahal salah satu indikator sehat mental adalah menjadi orang yang mampu berkontribusi aktif pada masyarakat. "Jika berada dalam relasi toxic, seseorang sudah kewalahan dengan masalah hidupnya. Sehingga, akhirnya akan cenderung berfokus pada dirinya sendiri serta tidak mampu menunjukkan kepedulian yang tulus pada orang lain di sekitarnya. Orang yang hanya fokus pada diri sendiri akan sulit mencapai kesehatan mental yang sesungguhnya." jelasnya.

Cara mengakhiri

Lebih lanjut, Margaretha mengungkapkan, ada beberapa cara untuk mengakhiri relasi toxic. Pertama, individu perlu memiliki harga diri yang positif. Kita memahami bahwa setiap manusia adalah unik dan berharga. Orang yang menghargai dirinya tidak akan membiarkan dirinya mengalami tekanan dan dampak negatif relasi toxic secara terus-menerus. Sebaliknya, orang yang memiliki harga diri negatif cenderung merasa tidak berdaya atau kesulitan mengakhiri relasi toxic.

Seringkali manusia tidak bisa menghindari situasi toxic relationship. Sebab, situasi ini dapat terjadi dalam hubungan antar rekan kerja, atasan, pasangan, hingga anggota keluarga. "Kita sebaiknya menyadari apakah relasi yang saya miliki ini bernuansa toxic. Sehingga, kita bisa merumuskan apa yang harus kita lakukan atau bagaimana keluar dari situasi negatif ini," ungkapnya.

Kedua, dukungan pada korban relasi toxic dari orang-orang di sekelilingnya serta masyarakat juga tidak kalah penting. Dukungan utamanya bertujuan agar mereka menumbuhkan harga dirinya kembali serta berdaya untuk mengakhiri aspek negatif hubungannya. Bantuan tenaga terlatih juga perlu untuk memberikan dukungan profesional.

"Jika perlu, profesional seperti psikolog, konselor, pekerja sosial, bisa bekerja sebagai helper untuk memberikan masukan tentang pengelolaan masalah relasi. Termasuk cara menghadapi relasi toxic. Penanganannya harus sesuai dengan konteksnya. Misalkan, relasi toxic tergolong KDRT, maka helper akan memberikan konsultasi tentang menghentikan kekerasan serta cara-cara menjaga keselamatan diri. Bahkan juga bisa dibahas apakah perlu melapor pada polisi ataukah perpisahan/bercerai perlu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan kekerasan," ucapnya.

Ketiga, rehabilitasi. Korban akan membutuhkan pemulihan setelah berhasil mengakhiri hubungan toxic. Biasanya, pengalaman berada dalam relasi toxic telah memberikan berdampak buruk bagi kesehatan mental manusia, seperti stres, depresi, atau munculnya persoalan perilaku.

"Para korban butuh pemulihan dan pendampingan konseling berkelanjutan. Tujuannya agar mereka lebih aman, tenang, dan percaya diri membangun hidup yang selanjutnya," pungkasnya.


Redaktur : Selocahyo Basoeki Utomo S
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top