Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Sektor Pangan I Perampokan Devisa Impor Pangan Miskinkan 60 Persen Penduduk Indonesia

Industri Sekunder dan Teknologi Pangan Umbi-Umbian Kunci Kemandirian Pangan

Foto : ANTARA /FAUZAN
A   A   A   Pengaturan Font

» Tarif impor Thailand atas terigu 40 persen sementara Indonesia 0 persen. Mocaf malah dikenakan PPN 11 persen, di mana keadilan pajak yang disebutkan Menkeu?

» Produk lokal perlu diberi insentif sebagai bentuk dukungan pemerintah membangun subtitusi impor.

JAKARTA - Pemerintah didesak segera mengevaluasi kebijakan tata niaga impor dengan mengenakan tarif bea masuk pada produk-produk pangan impor yang mengancam produk-produk petani dalam negeri.

Selain membatasi impor, pemerintah juga diimbau untuk membangun industri sekunder dan teknologi pangan umbi-umbian yang bisa menyerap produk petani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bahkan, kalau produksi surplus sangat memungkinkan untuk diekspor.

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan dua kebijakan yang lebih berpihak pada produk lokal tersebut merupakan kunci untuk mencapai kemandirian pangan nasional.

"Kalau pemerintah ingin mendorong konsumsi masyarakat agar lebih banyak menggunakan produk lokal, seperti tepung mocaf, maka tarif impor gandum harus dinaikkan, jangan malah 0 persen. Sebaliknya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk mocaf sebesar 11 persen seharusnya dihapus untuk menciptakan keadilan pajak seperti disampaikan Menteri Keuangan," kata Esther.

Indonesia, jelasnya, sudah saatnya mengurangi kebergantungan terhadap produk impor gandum dan lebih memberi tempat mocaf. Apalagi, tepung mocaf bisa menggantikan tepung terigu dan gandum. Bahkan, tepung mocaf lebih baik karena gluten free.

"Lebih baik mendorong masyarakat agar lebih banyak menggunakan tepung mocaf dengan cara memberi tax incentive pada tepung mocaf dan mengurangi impor terigu dan gandum dengan cara mengenakan tarif bea masuk lebih tinggi," tuturnya.

Pemerintah, jelasnya, harus berani mengambil kebijakan itu sekalipun harus berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar yang bergantung pada bahan baku terigu dan gandum.

Substitusi Impor

Sementara itu, Pengamat Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan pemerintah harus mengenakan bea masuk terhadap impor terigu bila ingin menyukseskan program substitusi impor.

Sebaliknya, komoditas subtitusi impor seperti mocaf justru harus didukung dengan meniadakan atau mengurangi PPN.

"Impor terigu kita sekitar 11 sampai 12 juta ton dan setiap tahun terus naik jumlahnya. Padahal, makna dari ketahanan pangan bukan dicukupi dari impor, tapi harus dari subtitusi agar kita bisa menuju ke kemandirian dan kedaulatan pangan," kata Zainal.

Kalau memang pemerintah bertekad menyukseskan subtitusi impor maka impor terigu harus dikurangi dengan cara mengenakan bea masuk. Justru komoditas seperti mocaf yang harus didukung dengan tidak mengenakan atau memangkas PPN.

"Menteri Keuangan harus bersikap adil dalam mengenakan pajak. Jangan impor dibebaskan bea masuk, tapi produk lokal malah dikenakan pajak," katanya.

Produk lokal, jelasnya, justru perlu diberi insentif sebagai bentuk dukungan dan investasi pemerintah untuk membangun subtitusi impor. Investasi ke sektor pertanian sangat dibutuhkan untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi yang terbukti jadi sektor yang tumbuh positif saat pandemi.

"Investasi pangan ini mutlak karena sifatnya adalah kebutuhan dasar. Kalau difokuskan pada subtitusi impor maka secara perlahan dapat menggantikan produk impor," tegasnya.

Zainal menambahkan, pemerintah juga perlu meningkatkan upaya diversifikasi tanaman pangan dan diversifikasi konsumsi pangan, mengingat Indonesia sangat kaya akan ragam hayati.

"Upaya-upaya tersebut adalah kunci untuk mencapai kedaulatan pangan karena tidak ada satu pun negara maju yang meninggalkan pangan," pungkasnya.

Sebelumnya, Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia (Inagri), Ahmad Yakub, mengatakan kebijakan impor bahan pangan akan terus memiskinkan sekitar 20 juta petani di Indonesia. Sebab, dengan impor harga produksi mereka terus merosot sehingga pendapatan mereka yang hanya sekitar 1,25 juta rupiah sulit meningkat. Apalagi rumah tangga petani terdiri dari empat orang.

Sementara itu, devisa yang dirampok untuk impor bahan pangan seperti terigu yang mencapai 37 triliun rupiah per tahun, kalau dialokasikan untuk membeli produk pertanian dalam negeri maka bisa meningkatkan pendapatan para petani.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top