Indonesia Tetap Tidak Mengakui Klaim Tiongkok di LTS
Kementerian Luar Negeri Indonesia - Indonesia menegaskan kembali posisinya bahwa klaim (Tiongkok) tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional.
Foto: antaraJAKARTA – Pemerintah Indonesia, pada Senin (11/11), menegaskan sikap tetap tidak mengakui klaim Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan (LTS), meskipun telah menandatangani perjanjian pembangunan maritim bersama dengan Beijing, di mana beberapa analis memperingatkan bahwa perjanjian tersebut berisiko mengorbankan hak kedaulatan negara.
Seperti dikutip dari The Straits Times, Beijing telah lama berselisih dengan negara- negara tetangganya di Asia Tenggara atas wilayah di Laut Tiongkok Selatan, yang diklaim kedaulatannya hampir seluruhnya melalui “sembilan garis putus-putus” pada petanya yang memotong zona ekonomi eksklusif (ZEE) beberapa negara.
Perjanjian bersama dengan Tiongkok di jalur perairan strategis tersebut selama bertahuntahun bersifat sensitif, dengan beberapa negara penggugat khawatir untuk mengadakan kesepakatan yang mereka khawatirkan dapat ditafsirkan sebagai legitimasi klaim besar Beijing.
Sebuah pengadilan arbitrase pada tahun 2016 mengatakan klaim Tiongkok, yang didasarkan pada peta lamanya, tidak memiliki dasar hukum internasional, sebuah keputusan yang ditolak Tiongkok untuk diakui. Pernyataan bersama yang dikeluarkan pada akhir pekan selama kunjungan Presiden Indonesia Prabowo Subianto ke Beijing menyebutkan kedua negara telah “mencapai kesepahaman bersama yang penting tentang pengembangan bersama di area-area dengan klaim yang tumpang tindih”.
Kementerian Luar Negeri Indonesia telah berulang kali mengeklaim bahwa negara tersebut adalah negara non-penggugat di Laut Tiongkok Selatan dan tidak memiliki yurisdiksi yang tumpang tindih dengan Tiongkok. Pada 11 November, Kementerian mengatakan posisinya tidak berubah, dan perjanjian itu tidak akan berdampak pada hak kedaulatannya. “Indonesia menegaskan kembali posisinya bahwa klaim (Tiongkok) tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional. Kemitraan tersebut tidak memengaruhi kedaulatan, hak kedaulatan, atau yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara,” katanya.
Garis Bentuk U
Kementerian Luar Negeri Tiongkok pun tidak segera menanggapi permintaan komentar atas pernyataan Indonesia. Garis berbentuk U milik Tiongkok, berdasarkan peta lamanya, mulai dilepas di pantai Vietnam tengah dan berlanjut ke perairan di lepas pantai Kepulauan Natuna di Indonesia, lebih dari 1.000 kilometer di selatan Pulau Hainan milik Tiongkok. Garis tersebut melintasi ZEE Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, dan dipatroli oleh armada penjaga pantai Tiongkok, yang dituduh oleh negara-negara tetangganya melakukan agresi dan mencoba mengganggu aktivitas energi dan perikanan.
Tiongkok biasanya mengatakan bahwa kapal-kapalnya mencegah penyerbuan ke wilayahnya. Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan perjanjian ekonomi di bidang maritim dengan Tiongkok mencakup perikanan dan konservasi ikan, dan diharapkan menjadi model untuk menjaga perdamaian dan persahabatan. Namun, beberapa analis Indonesia mengatakan penandatanganan perjanjian semacam itu dapat menimbulkan dampak dan ditafsirkan sebagai perubahan sikap.
“Jika kita merujuk pada pernyataan bersama resmi, itu berarti kita mengakui adanya klaim yang tumpang tindih,” kata analis maritim, Aristyo Rizka Darmawan, seraya menambahkan hal itu dapat membahayakan hak kedaulatan Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya di ZEE-nya. Indonesia mungkin menandatangani perjanjian tersebut dengan tujuan untuk meningkatkan hubungan ekonomi.
Klaus Heinrich Raditio, seorang dosen politik Tiongkok, mengatakan bahwa Indonesia tidak pernah memiliki klaim yang tumpang tindih sejak awal dan memasukkan klausul tersebut dalam pernyataan adalah “tidak tepat”. “Pernyataan bersama ini membahayakan kepentingan nasional kita,” katanya, seraya menambahkan bahwa hal itu masih dapat dinegosiasikan ulang.
Berita Trending
- 1 Pemerintah Sosialisasikan Hasil COP29 Sembari Meluncurkan RBC-4
- 2 Regulasi Baru, Australia Wajibkan Perusahaan Teknologi Bayar Media Atas Konten Berita
- 3 RI Harus Antisipasi Tren Penguatan Dollar dan Perubahan Kebijakan Perdagangan AS
- 4 Segera diajukan ke Presiden, Penyederhanaan Regulasi Pupuk Subsidi Masuk Tahap Final
- 5 Jika Alih Fungsi Lahan Pertanian Tak Disetop, Indonesia Berisiko Krisis Pangan