Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 27 Sep 2024, 17:50 WIB

Indonesia Sulit Keluar dari Middle Income Trap Selama Pemerintah Masih Talangi Utang BLBI

Foto: Istimewa

JAKARTA - Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Maruf menanggapi pernyataan Bank Dunia terkait perlunya keajaiban bagi Indonesia untuk keluar dari middle income trap. Ia menilai salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah utang.

"Bunga utang saja sudah sulit dikejar, apalagi membayar pokok utangnya. Saat ini, utang Indonesia sudah mencapai lebih dari 500 miliar dollar AS dan hanya untuk membayar bunganya saja, pemerintah harus kembali berutang," kata Maruf.

"Utang dipakai untuk konsumsi dan membayar utang, bukan untuk pengembangan sektor produktif seperti pertanian atau pangan," tambahnya.

Lebih lanjut, kata dia, pemerintah malah menalangi utang perampok Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai kini tidak ditagih, bahkan mereka dijadikan kroni. Menurutnya, hasil devisa yang didapat para kroni itu malah dibawa lari ke luar negeri.

Maruf pun menyoroti soal Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang tidak menggunakan hak tagih, padahal ada MRNIA dan MSAA. Ia mengatakan, selama ini wacana yang dibangun seolah-olah itu biaya krisis perbankan.

"Pelanggaran pidana dengan MRNIA dan MSAA tidak ditagih," ucapnya.

Sementara itu, industri dalam negeri dibiarkan sehingga tidak bisa bersaing dengan Tiongkok untuk mendapat devisa.

"Kita banggakan Shopee dan Tokopedia, padahal itu sumber habisnya devisa Indonesia, karena barang yang mereka jual dari luar negeri semua, terutama Tiongkok," katanya.

Ia menilai, Indonesia bukan tidak bisa keluar dari middle income trap, melainkan tidak memiliki keinginan. Menurut dia, solusi Bank Dunia 3I (investasi, infusi, dan inovasi) dinilai tidak relevan karena Indonesia berbeda dengan Korea Selatan yang saat krisis juga menjadi pasien Bank Dunia.

"Obat Bank Dunia pun tidak ada gunanya. Kita bukan sekutu AS. Korea, Taiwan, Jepang, Singapura itu sekutu AS, sekutu strategis. Kita hanya konsumen," tuturnya.

Maruf juga menuturkan, Indonesia tidak bisa seperti sekarang ini yang terus bergantung pada negara luar untuk memenuhi pangan. Terlebih, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia.

"Impor pangan itu basisnya dollar AS. Untuk membeli gandum, kedelai, susu, dan daging sapi semuanya impor, semuanya menggunakan dollar AS. Kalau pendapatan kita rupiah, tapi kebutuhan makan kita dalam dollar, bagaimana kita bisa lepas dari perangkap kemiskinan," paparnya.

"Bank Dunia benar memang perlu keajaiban bagi Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah. Hal itu terjadi karena semua industri dalam negeri dimatikan demi rent seeking. Praktik seperti itu membuat industri lokal sulit bersaing, karena kepentingan pribadi atau kelompok lebih diutamakan daripada pengembangan industri dalam negeri. Ini adalah salah satu penyebab utama mengapa ekonomi Indonesia sulit beranjak dari status menengah," lanjutnya.

Sebelumnya, Bank Dunia mengeluarkan pernyataan kalau Indonesia butuh keajaiban untuk menjadi negara dengan perekonomian berpendapatan tinggi pada tahun 2045 atau hanya beberapa dekade ke depan, bukan abad.

Dilansir dari The Star, pemerintah merencanakan mencapai target tersebut tepat pada peringatan seratus tahun Kemerdekaan Indonesia. Untuk mencapai itu diperlukan pertumbuhan produk domestik bruto tahunan sebesar enam hingga tujuh persen selama 20 tahun ke depan.

"Agar negara-negara berpendapatan menengah bisa memiliki pendapatan tinggi dalam beberapa dekade, bukan abad, diperlukan sebuah keajaiban," kata Kepala Ekonom Grup Bank Dunia, Indermit Gill, dalam sebuah seminar bertajuk Pembangunan Ekonomi Asean dan Perangkap Pendapatan Menengah, di Jakarta, awal pekan ini.

Redaktur:

Penulis: Rivaldi Dani Rahmadi

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.