Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 24 Jul 2023, 10:36 WIB

Indonesia Sudah Lama Punya Pengadilan HAM, Bagaimana Kabarnya?

Presiden Joko Widodo (kiri) meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong, Pidie, Provinsi Aceh, Selasa (27/6/2023).

Foto: ANTARA/Biro Pers Sekretariat Presiden/Laily Rachev

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Pemerintah meluncurkan kick off Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat pada 27 Juni 2023. Langkah ini diambil atas rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (Tim PPHAM), yang diketuai oleh Profesor Makarim Wibisono, pakar hukum HAM sekaligus eks duta besar RI.

Hingga kini, setidaknya ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang masih mangkrak. Padahal, mungkin tidak banyak yang tahu, Indonesia memiliki Pengadilan HAM sendiri yang mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lembaga ini sudah berdiri sejak lebih dari 20 tahun silam.

Pengadilan HAM Indonesia pernah menjadi 'primadona' perbincangan akademisi pada kurun tahun 2000-an. Setelah itu, seakan tertidur tak terdengar kembali rimbanya.

Pengadilan HAM Indonesia dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM). Menurut ketentuannya, Pengadilan HAM merupakan bagian dari Peradilan Umum.

Indonesia saat ini memiliki empat Pengadilan HAM permanen yang berada di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Makassar, dan PN Medan. Selain itu, juga pernah dibentuk dua Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus pelanggaran sebelum tahun 2000.

Ketika ramai diberitakan tentang mekanisme nonyudisial terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu, para aktivis HAM kembali "mencolek" keberadaan Pengadilan HAM ini. Amnesty International Indonesia, misalnya, masih vokal mendorong dilangsungkannya peradilan melalui Pengadilan HAM.

Jika kita punya Pengadilan HAM, mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial?

Sempitnya yurisdiksi

Setelah dibentuk pada tahun 2000, kritik terbesar bagi Pengadilan HAM adalah bahwa kompetensi kasus yang diadili terlalu sempit.

Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki pernah mengkritik bahwa menunggu Pengadilan HAM menyelesaikan kasus pelanggaran di Indonesia hanyalah "harapan semu", karena terlalu tinggi dan sempitnya level kejahatan yang dapat diadili Pengadilan HAM.

Ini karena yurisdiksi Pengadilan HAM hanya mencakup kejahatan genosida dan kemanusiaan - tipikal kejahatan yang hanya terjadi pada kondisi konflik bersenjata, atau minimal situasi internal disturbance (gangguan keamanan tingkat tinggi) semata. Sederhananya, kasus yang diadili oleh Pengadilan HAM hanya akan terjadi jika Indonesia sedang mengalami kekacauan keamanan.

Terbukti, Pengadilan HAM, baik ad hoc maupun permanen, sedikitnya baru menyelesaikan empat kasus saja sejak dibentuk. Dua pengadilan HAM ad hoc pernah mengadili kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Sementara Pengadilan HAM Permanen pernah menangani dua kasus, yaitu kasus Abepura dan Paniai di Provinsi Papua. Keduanya terjadi setelah tahun 2000.

Padahal, setidaknya ada 15 kasus pelanggaran HAM yang telah diproses Kejaksaan dan seharusnya masuk menjadi kompetensi Pengadilan HAM. Artinya, ada 11 kasus yang menunggu untuk diselesaikan.

Pengadilan sandiwara

Pengadilan HAM juga banyak mendapat kritik dari kelompok pembela HAM karena dianggap sebagai "pengadilan sandiwara" dan penuh rekayasa. Nyaris semua kasus yang ditangani Pengadilan HAM hanya dianggap sandiwara semata dan cenderung memberikan kekebalan hukum pada aparat negara yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM.

Dalam kasus Abepura dan Paniai, Pengadilan HAM memvonis bebas para terdakwa yang merupakan personil TNI dan Polri.

Kasus Abepura merupakan kasus pelanggaran HAM pertama yang diselesaikan oleh Pengadilan HAM permanen. Peristiwa ini terjadi pada 7 Desember 2000. Bermula ketika sejumlah massa tak dikenal menyerang Markas Polsek Abepura yang mengakibatkan satu orang polisi meninggal dunia. Merespons penyerangan itu, pihak kepolisian melakukan pengejaran dan penahanan terhadap sejumlah orang yang diduga terlibat.

Dalam pengejaran dan penahanan yang dilakukan polisi itulah diyakini telah terjadi kejahatan kemanusiaan, mengakibatkan setidaknya dua mahasiswa Papua tewas dan puluhan warga sipil luka-luka.

Saat itu, Pengadilan HAM menjadi harapan banyak masyarakat, terutama para korban dan keluarga korban peristiwa Abepura. Namun, majelis hakim Pengadilan HAM pada tahun 2005 justru memutus bahwa dua terdakwa yang merupakan personel aktif Polri tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.

Putusan bebas ini membuat publik pesimis bahwa eksistensi Pengadilan HAM akan membawa kemajuan bagi penegakkan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM. Sebaliknya, kasus ini justru menegaskan impunitas aparat keamanan terhadap institusi peradilan.

Sementara itu, peristiwa Paniai terjadi pada Desember 2014. Saat itu, warga sipil sedang melakukan aksi protes terkait pengeroyokan oleh aparat TNI terhadap sekelompok pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai. Namun, pasukan militer malah menembaki warga sipil di sana. Empat pelajar tewas di tempat, satu tewas setelah sempat dirawat di rumah sakit, dan belasan orang lainnya luka-luka.

Pada 2022, majelis hakim Pengadilan HAM di Makassar memvonis bebas terdakwa tunggal yang seorang pensiunan TNI. Putusan ini dikecam banyak kelompok masyarakat sipil. Proses persidangan dianggap tidak berkualitas, penuh kejanggalan, dan seakan memang sejak awal dimaksudkan untuk gagal (intended to fail).

Carut marut konsep sejak pembentukannya

Patut dicurigai lemahnya taring lembaga Pengadilan HAM sudah "terdesain" sejak pertama dibentuk. Dengan kentalnya pelibatan TNI dan Polri dalam perumusannya, UU Pengadilan HAM justru berpotensi memberikan impunitas hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat, khususnya yang dilakukan oleh kedua lembaga negara tersebut.

Jika demikian, pantas saja kemauan politik (political will) untuk menuntaskan penanganan kasus pelanggaran HAM oleh negara selama ini sangat lemah.

Ketika pertama dibahas, konsep Pengadilan HAM digadang-gadang bertujuan untuk menangani tuntutan warga negara yang tidak terpenuhi hak-haknya. Namun, hasil pembahasan justru menyatakan bahwa lembaga ini hanya mengadili dua bentuk kejahatan semata, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kedua kompetensi ini sangat mirip dengan kompetensi yang dimiliki oleh Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang dapat mengadili empat jenis kejahatan: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.

Ketika UU Pengadilan HAM masih dalam tahap pembahasan pada 1999, dunia internasional tengah mendesak Indonesia untuk mengadopsi dan mengakui yurisdiksi ICC guna menangani kasus pasca-disintegrasi Timor Timur.

Pun pada akhirnya, Indonesia menolak mengakui yurisdiksi ICC dan memilih membentuk Pengadilan HAM nasionalnya sendiri yang memiliki yurisdiksi yang mirip.

Padahal dua kompetensi tersebut telah dikritik sejak dalam pembahasan awal. Dalam catatan Pemandangan Umum Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, dikhawatirkan "pada masa yang akan datang bisa jadi Pengadilan HAM tidak akan dapat bekerja secara efektif, karena langkanya perkara".

Kritik-kritik ini akhirnya menjadi kenyataan.

Hari ini, kita semakin jarang mendengar kiprah Pengadilan HAM. Sayangnya, hal ini tidak bisa serta-merta kita artikan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi semakin sedikit, karena yang terjadi adalah sebaliknya.

Label pengadilan sandiwara pun masih tersemat. Jika masalah-masalah ini tak segera dituntaskan, bukan tidak mungkin penanganan kasus melalui Pengadilan HAM akan semakin ditinggalkan. Akibatnya, harapan untuk memenuhi rasa keadilan para korban pelanggaran HAM akan semakin menjadi mimpi belaka.The Conversation

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, Pengajar di Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.