Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pemerintah

Indonesia Harus Mengerem Penerbitan Surat Utang Baru

Foto : Sumber: Kementerian Keuangan – Litbang KJ/and - KJ

ESTHER SRI ASTUTI Pengamat Ekonomi Undip - Kalau anggaran pemerintah berkurang maka probabilitasnya pertumbuhan ekonomi lebih rendah dan perekonomian lesu.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Penerbitan surat utang baru harus direm. Utang harus direm, baik utang dari luar negeri maupun utang dalam negeri karena rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sudah sekitar 40 persen.

"Perlu kita waspadai karena makin besar rasio utang kita maka semakin sempit ruang fiskal pemerintah Indonesia. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terpaksa mengalokasikan anggaran untuk bayar cicilan utang dan bunganya," kata pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, kepada Koran Jakarta, Selasa (27/6).

Sementara alokasi anggaran untuk pembangunan jadi berkurang, padahal pengeluaran anggaran pemerintah akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. "Kalau anggaran pemerintah berkurang maka probabilitasnya pertumbuhan ekonomi lebih rendah dan perekonomian lesu," ucapnya.

Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah Redjalam, mengatakan pemerintah melakukan utang untuk menutup defisit APBN. Semua sudah tertuang dalam APBN yang disepakati oleh pemerintah dan DPR. Pemerintah melaksanakan apa yang sudah tertuang dalam APBN.

"Kita tidak bisa meminta pemerintah mengurangi utang, tapi di sisi lain juga meminta pemerintah terus memberikan subsidi dan bantuan bantuan sosial," tandas Piter.

Seperti dikutip dari Antara, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang mencapai 150,4 triliun rupiah per Mei 2023. Pada Mei 2022, Kemenkeu mencatat realisasi pembiayaan utang sebesar 91,2 triliun rupiah.

"Realisasi sampai Mei pembiayaan utang mencapai 150,4 triliun rupiah. Ini kalau dibandingkan tahun lalu masih mengalami kenaikan 64,9 persen," kata Menkeu, Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Juni 2023 yang dipantau secara daring, di Jakarta, Senin (26/6).

Penerbitan Utang Tinggi

Menkeu menjelaskan penerbitan utang yang tinggi hingga Mei 2023 sejalan dengan strategi pengelolaan dan timing pembiayaan tahun ini.

Kendati demikian, nilai realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang per Mei 2023 baru mencapai 21,6 persen dari target dalam APBN sebesar 696,3 triliun rupiah. Rendahnya realisasi pembiayaan itu disebabkan oleh pendapatan negara yang tetap tumbuh pesat hingga Mei 2023.

"Karena kita memang dalam situasi di mana penerimaan cukup kuat dan surplus anggaran menyebabkan kita semua melakukan berbagai restrategi untuk penurunan issuance utang kita," kata Sri Mulyani.

Secara rinci, penerbitan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) mencapai 144,5 triliun rupiah, tumbuh 92 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dan setara dengan 20,3 persen dari target APBN.

Pertumbuhan tersebut ditopang oleh kontribusi penerbitan Samurai Bond sebesar 104,8 miliar yen Jepang atau setara dengan 760 juta dollar AS. Dari total penerbitan Samurai Bond tersebut, terdapat surat utang yang berorientasi aksi iklim, yakni blue bond sebesar 20,7 miliar yen Jepang.

Bendahara Negara itu menjelaskan masyarakat investment fund di seluruh dunia menunjukkan kecenderungan minat terhadap penerbitan surat utang yang bertema lingkungan, baik blue bond, green bond, atau SDG's bond. "Karena ini memang menjadi tren global dari sisi pembiayaan. Jadi, Indonesia sudah dalam posisi yang cukup baik dalam memanfaatkan appetite global," ujar Menkeu.

Adapun realisasi pembiayaan lewat pinjaman hingga Mei 2023 tercatat sebesar 5,9 triliun rupiah. Nilai tersebut terkontraksi sebesar 63,2 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar 16 triliun rupiah.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top