Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Skala Perekonomian - Banyak Rumah Tangga dalam 20 Tahun Terakhir Gagal Naik Kelas

Indonesia Berpotensi Besar Sulit Keluar dari "Middle Income Trap"

Foto : KORAN JAKARTA / ONES, BPS
A   A   A   Pengaturan Font

Siapa pun pemimpin berikutnya harus berani membuat belanja negara betul-betul produktif menstimulasi pertumbuhan.

JAKARTA - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) dalam white paper (buku putih) yang mereka tulis mengingatkan Indonesia sangat berpotensi besar sulit keluar dari jebakan kelompok negara berpendapatan menengah atau middle income trap.

Hal itu terlihat pada berbagai indikator yang menunjukkan Indonesia tidak beranjak seperti negara-negara lain yang menuju ke level negara berpendapatan tinggi, seperti Tiongkok, Malaysia, Korea Selatan, Thailand, dan Brasil saat masuk dalam kelompok "Upper Middle Income" saat ini.

Dekan FEB UI, Teguh Dartanto, di Depok, Senin (30/10), mengaku gundah melihat data panel rumah tangga selama 20 tahun menunjukkan banyak rumah tangga di Indonesia terjebak di kelas menengah dan gagal naik kelas.

"Saya rasa kita juga harus berpikir kritis, mimpi bukan sekadar mimpi. Kalau kita ingin mewujudkan mimpi, perlu bekerja keras agar mimpi Indonesia Emas 2045 ini bisa tercapai. Dan kami akan melanjutkan white paper ini menjadi sebuah analisis yang lebih mendalam dan komprehensif," kata Teguh.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala LPEM UI, Chaikal Nuryakin, mengatakan kondisi pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam dua dekade terakhir tidak pernah di atas 5 persen. Begitu pula pertumbuhan kredit per tahun juga tidak pernah lebih dari 15 persen. Partisipasi kerja perempuan pun mentok di angka 54 persen.

Selain itu, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tidak pernah melampaui 11 persen. Bahkan hanya 9,9 persen dalam satu dekade terakhir. Kontribusi industri pun terus menurun dan hanya sekitar 18 persen terhadap PDB. Hal itu disertai kemiskinan ekstrem yang persisten di tingkat 1,7 persen.

"Jadi, isu-isu pembangunan saat ini dan ke depan harus dipetakan. Tentu saja kami juga menawarkan reformulasi kebijakan yang optimal untuk jangka pendek dan pencapaian jangka panjang," kata Chaikal.

Ekonom Celios, Nailul Huda, yang diminta pendapatnya mengatakan Indonesia sangat mungkin terjebak dalam negara berpendapatan kelas menengah melihat kinerja perekonomian yang tidak menggembirakan. Mulai dari pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 persen, hingga pengumpulan pajak yang di bawah 10 persen terhadap PDB.

"Kinerja industri pun tidak optimal yang menyebabkan tenaga kerja kita banyak yang terserap sektor informal. Makanya share sektor informal ke seluruh sektor tenaga kerja melonjak di mana pekerja sektor informal rentan karena tidak ada perlindungan kerja maupun sosial," papar Huda.

Menghadapi kondisi tersebut, Huda mengatakan perlu dilakukan sejumlah hal dan yang paling utama adalah reindustrialisasi.

"Bangun lebih banyak kawasan ekonomi terintegrasi, tetapi tanpa mengorbankan lingkungan," katanya.

Kawasan industri itu harus terintegrasi dengan bahan baku, infrastruktur distribusi, dan fasilitas perdagangan lainnya.

Kedua, dengan membangun industri unggulan alternatif yang menimbulkan multiplier effect tinggi dalam hal penyerapan tenaga kerja formal.

Belanja Produktif

Dari Yogyakarta, pengamat ekonomi dari Universitas Islam Indonesia (UII), Soeharto, mengatakan ekonomi bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia menghadapi tantangan yang sangat pelik. Indonesia membutuhkan pemerintahan yang berani tidak popular.

Siapa pun pemimpin berikutnya, menurut Soeharto, perlu memiliki keberanian untuk membuat belanja negara betul-betul produktif untuk menstimulasi pertumbuhan bukan sekadar subsidi yang menguap meskipun dalam jumlah tertentu tetap perlu.

"Itu juga memerlukan kesiapan birokrasi dan aparatur sipil secara struktural apalagi secara kultural kan juga masih jauh dari ideal. Kata kuncinya perlu kebijakan yang berani dan kuat terkait ini optimalisasi belanja negara dan juga hilirisasi sebagai kunci," papar Soeharto.

Keberadaan white paper diharapkan menjadi navigasi bagi pemerintah dalam mewujudkan aspirasi pembangunan untuk mewujudkan kemajuan dan kesejahteraaan yang adil, makmur, resilien, dan berkelanjutan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top