Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Imunitas Berlebihan Parlemen

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Fery Chofa

Revisi Undang-Undang MD3 yang baru saja disahkan menjadi UU No 2 Tahun 2018 memang fenomenal dan kontroversial. Beberapa substansi materi semakin menjauhkan DPR dari rakyat. Ada revisi struktur organisasi yang hanya bagi-bagi kursi pimpinan, pemberian sanksi bagi pihak-pihak yang tidak melaksanakan rekomendasi DPR, pemanggilan paksa dan penyanderaan pihak-pihak yang tidak bersedia menghadiri panggilan DPR, hingga imunitas anggota DPR. Ada baiknya membanding teori dan praktis imunitas parlemen di berbagai negara.

Dalam konteks sejarah, imunitas parlemen tidak dapat dilepaskan dari ide kebebasan berbicara dan berekspresi anggota parlemen dari tekanan eksekutif yang sangat dominan dan otoriter dalam kekuasaan. Tidak terkecuali ketika konfrontasi antara kekuasaan legislatif di Inggris yang diwakili House of Commons yang berjuang membatasi intervensi kekuasaan eksekutif Raja dan House of Lords yang absolut pada penghujung abad 14. Ada juga saat Revolusi Prancis 1789 yang melindungi dan mencegah anggota parlemen dari upaya kriminalisasi, kecuali secara nyata terbukti berbuat pidana.

Sudah menjadi pemahaman bersama, esensi imunitas parlemen untuk melindungi legislative dari pengaruh atau tekanan pihak lain. Para wakil rakyat tersebut memerlukan privilese untuk bebas berpendapat dan berdebat di parlemen dan melaksanakan mandat representatif secara independen dalam menyuarakan aspirasi publik. Mereka tidak perlu dihantui ketakutan akan dituntut dengan motif politik ataupun bentuk gangguan lainnya dalam aktivitas.

Bentuk imunitas parlemen antaran lain non-accountability/non-liability yang merupakan hak untuk tidak dapat dituntut secara hukum atas pernyataan dan suara dalam persidangan parlemen maupun saat menjalankan mandat parlemen. Hak ini sering dikonotasikan dengan jaminan kebebasan berbicara dan berpendapat. Kemudian, ada inviolability, hak imunitas anggota parlemen untuk tidak dipidana, tanpa izin kelembagaan mulai dari penangkapan, penahanan, dan penuntutan di pengadilan. Ini selama yang bersangkutan menjalankan masa jabatan dengan beberapa pengecualian seperti tertangkap tangan, pembunuhan, dan tindak pidana yang membahayakan negara.

Meskipun jamak menjadi hak konstitusional di banyak negara karena dianggap masih mumpuni sebagai instrumen penjamin berfungsinya demokrasi dan mekanisme checks and balances antarlembaga kekuasaan negara, pelembagaan hak imunitas tersebut dalam kajian teori hukum, sering mengundang kritik sebagai sesuatu yang dianggap usang. Dia juga dipandang anakronistik dan sejatinya bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental hukum. Ini khususnya hak persamaan kedudukan di hadapan hukum.

Maka, di banyak negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat penggunaan hak imunitas tersebut telah dibatasi bentuk, prosedur maupun substansinya. Imunitas non-liability pada umumnya hanya dapat digunakan untuk pernyataan, pertanyaan, atau pendapat dalam rapat/persidangan parlemen saja. Ini tidak berlaku untuk tindakan administratif seperti indisipliner dan pergantian antarwaktu.

Sementara itu, imunitas inviolability sendiri telah lama ditinggalkan seperti Belanda, Irlandia, dan Inggris yang notabene merupakan prototipe parlemen modern dunia. Politisi sayap kanan Belanda, Geert Wilders pernah didakwa karena propaganda politiknya yang anti-Islam pada tahun 2008. Konstitusi Jerman bahkan tidak melindungi anggota Bundestag yang pernyataannya, di parlemen sekalipun, dianggap mencemarkan nama baik seseorang.

Indonesia

Imunitas parlemen Indonesia dimiliki seluruh lembaga yang menjalankan fungsi legislatif sebagaimana yang diatur UU MD3 mulai dari DPRD, DPD, DPR, dan MPR. Mereka tidak dapat dituntut pidana dan perdata karena karena pernyataan, pertanyaan, atau pendapat lisan maupun tulisan berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas. Ini tidak hanya di dalam rapat/persidangan, bahkan juga di luar rapat/persidangan! Lebih jauh lagi, perlindungan tersebut juga sangat personal karena tidak dapat dikenakan tindakan administratif berupa pergantian antarwaktu.

Imunitas tersebut dirasa sangat berlebihan dan terlalu luas memberi privilege karena bisa dijadikan tameng ketika mereka tampil di ruang publik melalui tulisan di media massa, debat publik, talk show, dan kampanye pemilihan umum. Istimewanya, anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam maupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena menjalankan hak konstitusional DPR atau anggota DPR.

Bagaimana sekiranya dalam pelaksanaan hak tersebut muncul ucapan, perkataan ataupun gestur anggota DPR yang merendahkan, menghina dan melecehkan harkat dan martabat warga negara dan lembaga negara lainnya yang haknya secara konstitusional juga dilindungi? Sepertinya UU MD3 memberikan peluang pengabaian etika bagi penyelenggara negara. Indikasinya mulai sering terlihat belakangan seperti umpatan Arteria Dahlan pada Kementerian Agama.

Seterusnya melalui UU MD3 yang baru sangat patut dipertanyakan dan dicurigai motif serta niat baik DPR dalam merumuskan ketentuan baru, di antaranya penghapusan ketentuan Ayat (5) Pasal 224 terkait pemanggilan dan permintaaan keterangan bersyarat terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan 4 (empat) ayat di atasnya. Penghapusan ayat tersebut meniadakan sama sekali upaya hukum terhadap pernyataan, pendapat, sikap anggota DPR di dalam maupun di luar rapat DPR.

Kemudian, penggantian dan perubahan ketentuan Pasal 245 terkait perlunya izin tertulis presiden atas pertimbangan Majelis Kehormatan Dewan terhadap pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR. Ini sehubungan dengan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang DPR merupakan pasal hampa yang tidak memiliki makna, meskipun ada pengecualian terhadap pidana tertangkap tangan, pidana berat, maupun tindak pidana khusus.

Di samping prosedur berlapis, syarat izin presiden memunculkan potensi risiko hubungan kelembagaan presiden dan DPR. Bahkan ini bisa jadi alat penekan DPR terhadap pengawasan kebijakan pemerintah. Makna kata "pelaksanaan tugas dan wewenang" pun akan menjadi alasan sempurna bagi DPR untuk menciptakan kekebalan hukum yang mendekati absolut!

Mengangkat DPR sebagai lembaga representasi yang terhormat adalah keharusan. Namun bukanlah dengan jalan membentengi diri dengan imunitas hukum berlebihan yang mengingkari nilai-nilai persamaan kedudukan di depan hukum serta hakikat negara hukum itu sendiri.


Penulis Alumnus Maastricht University

Komentar

Komentar
()

Top