Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Era Moneter Ketat - Pelaku Usaha Mesti Antisipasi Kenaikan Bunga yang Drastis

Imbangi The Fed, BI Perlu Naikkan Bunga Acuan Lagi

Foto : koran jakarta /ones
A   A   A   Pengaturan Font

>>Kenaikan FFR bakal menjadi sentimen utama yang berpotensi melemahkan rupiah.

>>Kenaikan bunga AS hingga empat kali tahun ini sempat mengejutkan pelaku pasar.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) perlu menaikkan suku bunga acuan lagi, dari level 4,75 persen saat ini.

Hal ini bertujuan untuk mengimbangi kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Funds Rate atau FFR, yang diprediksi akan dilakukan empat kali sepanjang tahun ini,

dan tiga kali lagi tahun depan. Pekan lalu, Bank Sentral AS atau The Fed untuk kedua kalinya dalam tahun ini menaikkan FFR menjadi di kisaran 1,75-2,00 persen.

Oleh karena itu, kenaikan bunga acuan, BI-7 Day Reverse Repo Rate, diperlukan guna menjaga agar spread dengan FFR tidak makin menyempit sehingga akan memicu pelarian modal (capital outflow) dan tekanan depresiasi terhadap rupiah.

Menanggapi hal itu, ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengemukakan selain menaikkan BI-7 Day Repo Rate, BI sebaiknya juga segera memperkuat koordinasi dengan pemerintah.

"Selain menaikkan bunga acuan 25 bps (basis poin) di bulan Juli atau Agustus, BI juga perlu melakukan koordinasi kebijakan dengan pemerintah," ujar Bhima, di Jakarta, Minggu (17/6).

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga mesti lebih fokus memacu kinerja ekspor non-migas dan menekan defisit perdagangan agar cadangan devisa meningkat.

Selanjutnya, pemerintah juga perlu mendorong penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) denominasi rupiah untuk meningkatkan permintaan rupiah.

"Efek lain dari penerbitan SBN termasuk global bond juga memperbesar porsi cadangan devisa dalam jangka pendek," kata Bhima.

Dia menambahkan dalam jangka panjang BI dan pemerintah mesti menyusun regulasi untuk memperketat pengawasan devisa ekspor agar benar-benar disimpan di dalam negeri.

Sesuai perkiraan, The Fed, pekan lalu, menaikkan FFR sebesar 25 bps ke kisaran 1,75-2,00 persen. Namun ada sedikit kejutan, yaitu kemungkinan The Fed akan menambah dosis pengetatan moneter.

Awalnya, pelaku pasar percaya The Fed akan menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018. Namun melihat perkembangan di rapat Federal Open Market Committee (FOMC), kemungkinan untuk empat kali kenaikan semakin besar, ditambah tiga kali lagi kenaikan pada tahun depan.

Pelaku pasar pun dikabarkan agak gugup menghadapi kebijakan itu, karena kenaikan empat kali di luar kalkulasi investor. Bila benar The Fed akan menambah dosis pengetatan moneter, maka hal itu sebenarnya wajar.

Sebab, perekonomian AS semakin menggeliat sehingga berpotensi menimbulkan tekanan inflasi. Untuk meredam inflasi memang dibutuhkan kenaikan suku bunga acuan.

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Perkasa Roeslani, meyakini suku bunga acuan BI hingga akhir tahun dapat menyentuh level 5,25 persen.

Menurut dia, pelaku usaha sudah bisa membaca arah kebijakan moneter ini, sehingga kenaikan suku bunga yang drastis sudah masuk ke dalam perencanaan industri.

Menurut Rosan, BI pasti akan terus responsif dengan perkembangan global, khususnya kebijakan Bank Sentral AS yang diyakini masih akan menaikkan suku bunganya beberapa kali lagi.

Tren Kenaikan

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengungkapkan bunga acuan AS sudah berada dalam tren kenaikan. Oleh karena itu, akan diikuti dengan kenaikkan suku bunga di dalam negeri.

"Saya rasa perkembangan suku bunga kita kemungkinannya naik. Karena suku bunga di AS itu naik. Jadi kita di Indonesia sebagai negara yang perekonomiannya terbuka, kenaikan bunga AS tak bisa dihindari," kaya Halim, Sabtu (16/6).

Sebelumnya, ekonom Samuel Sekuritas Indonesia, Ahmad Mikail, menyatakan pada dasarnya kenaikan suku bunga acuan AS bakal menjadi sentimen utama yang berpotensi melemahkan rupiah setelah libur Lebaran berakhir nanti.

Apalagi, kenaikan tersebut juga berdampak pada naiknya nilai Credit Default Swap (CDS) atau persepsi risiko investasi Indonesia dan emerging market lainnya.

"Efek kenaikan Fed Fund Rate cukup besar bagi rupiah karena sekitar 40 persen utang Indonesia berdenominasi dollar AS," ungkap Ahmad. ahm/SB/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top