Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 02 Sep 2017, 05:00 WIB

Illah Sailah

Foto: Koran Jakarta/Wahyu AP

Kementerian menunjuk 14 Kopertis untuk mengawasi, mengendalikan, dan membina. Untuk Kopertis III ada di wilayah DKI Jakarta. Semua yang izinnya diberikan dengan alamat di DKI Jakarta itu masuk Kopertis Wilayah III. Walaupun saat ini banyak kampus yang dulunya hanya di Jakarta, sekarang punya cabang di Bekasi, Depok, Tangerang Selatan, dan lain-lain yang berbatasan dengan Jakarta.

Untuk seluruh Indonesia, ada 4.500 perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Untuk negerinya berjumlah 126 di bawah Kemenristekdikti dan di bawah kementerian lain. Dari 333 itu yang bentuknya universitas hanya 57, institut ada 10, politeknik 10, selebihnya adalah akademi dan sekolah tinggi, terutama di bidang kesehatan dan teknologi informatika serta komputer.

Untuk mengetahui apa saja yang akan dan telah dilakukan Kopertis Wilayah III dalam mengawasi, mengendalikan, dan membina 333 perguruan tinggi swasta di Jakarta, wartawan Koran Jakarta, Suradi dan Frans Ekodhanto, berkesempatan mewawancarai Koordinator Kopertis Wilayah III, Illah SaIllah, di kantornya, Jakarta, baru-baru ini. Berikut petikan selengkapnya.

Bentuk-bentuk pengawasan seperti apa yang dilakukan Kopertis Wilayah III?

Kami menggunakan data yang terhimpun di data wherehouse atau pangkalan data pendidikan tinggi yang bisa dilihat di Forlap. ristekdikti.go.id. Semua perguruan tinggi se-Indonesia ada di sana, termasuk perguruan tinggi yang ada di Kopertis Wilayah III. Dari sana, kami bisa kelompokan, dan akan terlihat apakah dosennya memenuhi persyaratan atau tidak. Setiap program studi minimum harus memiliki enam dosen, akan tetapi banyak yang masih belum.

Kemudian, kami lihat rasio antara dosen dan mahasiswa, itu rasionya ada yang 1:45 itu kalau IPS. Ada juga 1:60, 1:100. Nah, itu yang harus kami awasi, kenapa bisa demikian? Kalau demikian, artinya tidak sehat. Untuk IPA 1:30, apalagi kedokteran 1:10 untuk sarjananya, di profesinya harus 1:5.

Dengan kata lain, kami mengawasi dari rasio, kecukupan dosen, kualifikasi dosen. Dari kualifikasi dosen itu, masih banyak yang sarjana, tapi mengajar di sarjana. Sejak tahun 2005, Undangundang No14 tentang Guru dan Dosen, tidak boleh lagi sarjana mengajar di sarjana, tapi diberi waktu 10 tahun, maka jatuhlah di Desember 2015. Pada 1 Januari 2016, kami harus mengeliminasi 2.745 dosen yang bergelar sarjana.

Pengawasan melibatkan masyarakat?

Ada pengawasan dari masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang memberitahukan lewat berbagai media, seperti pesan singkat (SMS) bahwa di suatu universitas ada yang memberikan pembelajaran di daerah lain. Setelah diperiksa, ternyata yang di daerah lain tersebut tidak memiliki izin alias tidak legal.

Kami menegurnya. Namun, kalau masih ada lagi maka harus ditutup. Itu dilakukan karena dia sudah tidak taat asas, tidak punya lahan, tidak punya gedung sudah sekian tahun, yang seharusnya sudah mandiri, akan tetapi belum juga, apalagi dosennya kurang, berarti harus dikasih tindakan.

Kami juga memonitor dan mengevaluasi. Bentuknya kunjungan ke perguruan tinggi, dengan demikian kami mengetahui apakah perguruan tinggi tersebut memiliki masalah atau tidak. Untuk pengendaliannya, kalau dia sudah terlalu banyak tidak memenuhi standarnya maka kami minta pakta integritas.

Biasanya kami beri waktu enam bulan untuk memenuhi persyaratan yang dia tidak memenuhi standar. Misalkan dia sedikit yang tak memenuhi standarnya, tidak perlu pakta integritas, tapi kami berikan warning (rapot merah) untuk diperbaiki. Setelah itu, kami minta mereka datang kembali atau kami yang mendatangi atau menghubungi melalui telepon. Jadi, monitoring itu bentuknya bermacam-macam.

Apa saja syarat yang sering tidak dipenuhi dari perguruan tinggi tersebut?

Yang sering tidak memenuhi standar adalah jumlah dosen dan kualifikasinya. Bisa jadi, untuk sekarang ini untuk mencari dosen susah karena harus S-2 dan harus relevan. Misalkan, gelar S-2-nya magister agama, tapi dia mengajarnya tentang teknik komputer. Walaupun dia punya talenta itu, tapi dia tidak proven untuk itu, kecuali dia memiliki sertifikat dari lembaga lain yang menyatakan bahwa dia ahli di bidang komputer.

Dengan kata lain, walaupun gelar S-2 di bidangnya, akan tetapi punya sertifikasi provesi atau kompetensi atau punya pengalaman kerja. Untuk hal itu ada caranya, dengan rekoknisi pembelajaran lampau, kami bisa mengakui pengalaman dia. Artinya, kami di pemerintah itu punya tingkatan. Tinggal kami melihat pengalaman kerja, apakah dia sampai pada tingkatan tersebut.

Kalau di teknik, banyak yang tidak memiliki alat kalau praktik. Cukup secara jumlah dan kualitas serta mempunyai capaian pembelajaran di bidang atau tingkatan tertentu. Mereka itu tidak memiliki publikasi di jurnal ilmiah yang terakreditasi, baik nasional maupun internasional.

Apa akibatnya kalau mereka tidak memenuhi standar atau tidak terakreditasi?

Mereka akan susah. Akan tetapi, kalau dia punya dosen, ruangan, sarana, dan sebagainya, memenuhi standar minimal, meski dia tidak punya banyak penelitian atau jurnal ilmiah, mungkin terakreditasi, tapi hanya memenuhi standar minimal.

Jika ada universitas itu harus ditutup karena tidak memenuhi syarat, apa solusinya?

Benar, masyarakat yang jadi korban. Apalagi jika pembelajarannya tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku. Misalkan,banyak yang dipadatpadatkan, itu jelas tidak baik. Masyarakat harus tahu aturan yang sebenarnya. Yang paling bagus lagi kalau masyarakat itu masuk ke lamannya Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Di sana akan terlihat perguruan tinggi mana, akreditasinya apa. Akreditasi itu jaminan kualitas dari lembaga eksternal.

Kalau kasusnya demikian, maka kami akan melindungi masyarakat yang datang, karena dia datang untuk meminta informasi. Yang pertama saya lakukan adalah mengundang pimpinan perguruan tinggi untuk menceritakan bagaimana pembelajarannya. Tak jarang ada yang tidak terawasi. Contohnya, rektornya di Jakarta Pusat, kelasnya ada di Jakarta Timur. Kami minta mereka memaparkan. Kami memiliki cara untuk memperlihatkan bagaimana jadwal perkuliahan itu. Dari sana akan kelihatan. Jadi, perguruan tinggi itu saya anjurkan menggunakan sistem informasi dengan cara online. Maka tidak ada lagi cerita telat memberikan nilai, daftar hadir tidak direkap, dan sebagainya.

Progresnya sekarang bagaimana?

Kalau sekarang kami punya sistemnya. Dari pangkalan data, kami bisa membaca data yang ada di perguruan tinggi, yang sesuai dengan keperluan ini. Apa pun yang ada di perguruan tinggi, kami bisa baca dan ketahui. Artinya, kemajuan Iptek banyak membantu. Perguruan tinggi swasta harus menyesuaikan, yaitu membangun sistem informasinya di dalam kampus dengan baik.

Presiden sempat menyinggung, kenapa jurusan atau fakultas di perguruan tinggi tidak berkembang, sementara ilmu-ilmunya berkembang?

Yang mengusulkan untuk tambah jurusan atau fakultas atau yang lainnya itu masyarakat, kecuali perguruan tinggi negeri, itu bisa penugasan. Contohnya, nano teknologi, maka universitas negeri tertentu ditunjuk untuk mengembangkan nano teknologi, kemudian program studi itu dibuat. Atau kalau bioteknologinya sudah bagus maka kampus negeri tertentu ditunjuk untuk mengembangkan atau menambah program studi tersebut.

Kalau yang swasta itu berdasarkan usulan masyarakat. Pemerintah tidak bisa mendikte apa pun kepada masyarakat. Pemerintah bisa mengumumkan bahwa ke depan kita harus mengembangkan apa. Oleh karena itu, program studi tertentu harus dibuka. Sekarang pemerintah sudah memberikan informasi itu kepada masyarakat perguruan tinggi dengan cara membuka program studi vokasi. Untuk hal itu, menteri sudah melakukan. Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti selau mengatakan kami "menggelar karpet merah" untuk pembukaan vokasi karena lulusannya mudah diserap di lapangan kerja. Mereka memiliki bekal keterampilan yang jauh lebih tinggi.

Kenapa untuk vokasi teknik jarang dibuka?

Modalnya besar. Kami berharap ada kolaborasi. Industri perlu apa maka dicari politeknik manufaktur untuk membuat program studi tertentu. Peralatan dan berbagai macamnya didukung industri supaya nanti lulusannya bisa diserap industri. Untuk pendidikan vokasi, kami sangat mendukung.

Menurut Anda, arah pendidikan kita sekarang ini sudah benar?

Di UUD 1945, kita harus mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan mencerdaskan bangsa. Sikap yang kami ajarkan, sikap yang di-insert-kan atau ditempelkan di berbagai macam kegiatan pembelajaran. Setiap perguruan tinggi wajib memenuhi standar kompetensi lulusan, namun sikap dan perilaku itu sudah dituliskan, bertaqwa kepada Tuhan Maha Esa, cinta Tanah Air, peduli pada yang lain, mentaati hukum, dan sebagainya. Itu sudah ada.

Tinggal sekarang bagaimana membelajarkan sikap dan perilaku ini, bukan sebagai mata kuliah, melainkan dilakukan dalam suatu pembiasaan di kampus. Pendidikannya formal yang berkaitan dengan karakter untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, kalau seorang guru besar membuang sampah sembarangan maka dia tidak cerdas, sekalipun dia sudah guru besar.

Untuk pengendalian dan pembinaan, seperti apa yang dilakukan Kopertis Wilayah III?

Pengendalian itu kami dapatkan informasi dari hasil pengawasan kami. Misalkan, kalau dari pengawasan terlalu banyak melanggarnya maka kami minta untuk melakukan pakta integritas untuk satu tahun atau enam bulan memperbaiki. Kalau dia hanya sedikit saja maka kami berikan solusi-solusi.

Dalam pembinaan, kami ada program yang reguler. Misalnya, tentang proses belajar mengajar yang diberikan dosen. Sedangkan kami di Indonesia, tidak ada sekolah dosen. Yang ada sekolah guru. Maka kami buatkan training, bagaimana menyiapkan silabus, merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi mahasiswa, mengevaluasi program studi dan kurikulum, merekonstruksi kurikulum sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Untuk kendalanya, tidak semua perguruan tinggi bisa dengan treatment pembinaan, karena kami punya keterbatasan dana. Kalau kami minta mereka membayar, pasti mau, tapi kami bukan kapasitas untuk itu. Jadi, di tempat lain, ada yang namanya Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) yang kami beri ruang untuk berdiskusi di kantor ini. Kopertis dananya sangat terbatas untuk menjangkau 333 perguruan tinggi. Jadi selalu bergiliran.

Bagaimana dengan SDM di Kopertis Wilayah III?

Untuk SDM, kami sangat terbatas. Kami meminta para pakar di perguruan tinggi membantu Kopertis Wilayah III, yaitu memberikan pelatihan, pembinaan, dan lain-lainnya. Ke depan, kami mau membentuk pakar mutu yang bisa membantu kami menafsirkan data yang kami miliki.

N-3

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.